Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 09 Mei 2017

TAJUK RENCANA: ”Tidak”, untuk Ekstremisme (Kompas)

Rakyat Perancis memilih Emmanuel Macron sebagai presiden 2017-2022. Pesan mereka jelas: "Tidak" untuk ekstremisme.

Macron meraih total suara 66,1 persen, hasil yang meyakinkan bagi seorang kandidat independen yang tidak didukung partai arus utama. Macron yang mewakili visi pro-Eropa, pro-integrasi, dan pro-keterbukaan berhasil meredam ambisi Marine Le Pen yang ekstremis, anti- Eropa, dan anti-imigran.

Pemilu Perancis ibaratnya "semifinal" pertandingan demokrasi versus ekstremisme, setelah partai perempat final dapat direbut melalui pemilu di Austria dan Belanda. Puncaknya adalah pemilu Jerman pada September mendatang. Perancis dan Jerman merupakan "jantung" Uni Eropa. Tanpa keberadaan salah satu dari mereka, blok Uni Eropa akan bubar.

Namun, poin terpenting selain tetap solidnya dukungan bagi Uni Eropa adalah semangat untuk melawan rasisme, ekstremisme, dan xenofobia. Mungkin lebih dari separuh suara yang diperoleh Macron bukan karena dukungan terhadap dirinya, melainkan lebih karena rakyat Perancis tak ingin sosok rasis menjadi pemimpin mereka. Dengan kata lain, rakyat Perancis masih mengedepankan nurani dan akal sehat untuk kepentingan bangsa yang memiliki slogan indah: liberte, egalite, fraternite(kebebasan, persamaan, dan persaudaraan).

Namun, tugas sangat berat menanti Macron di depan. Ia harus bersiap menghadapi pemilu legislatif pada Juni mendatang, sementara gerakan (kini partai) En Marche! yang didirikannya untuk menyatukan aliran kiri dan kanan baru genap berusia setahun. Tanpa memiliki dukungan yang cukup di parlemen, sulit bagi Macron untuk mewujudkan perubahan di Perancis seperti yang dijanjikan. Setidaknya ia perlu memiliki dukungan 289 dari 577 anggota majelis rendah.

Yang mungkin terjadi adalah ia melakukan koalisi pemerintahan dengan partai-partai arus utama, entah Partai Republik atau Partai Sosialis. Namun, "kebencian" rakyat Perancis terhadap kegagalan pemerintahan Francois Hollande (Sosialis) membuat Macron harus berhati-hati dalam menentukan langkah. Terlebih, isu pengangguran, imigran, dan terorisme, yang selama ini menjadi "jualan" kubu tengah dan kanan, merupakan isu yang dianggap paling krusial oleh rakyat.

Apakah ia akan cenderung lebih ke kiri atau ke tengah akan terlihat saat ia menunjuk perdana menteri pada Sabtu (13/5) di saat Hollande menyerahkan kekuasaannya. Namun, perjalanan politik Macron menunjukkan bahwa ia tak mudah menyerah. Kegigihan, keterbukaan, dan kecerdasan sosialnya—termasuk kemampuan untuk mendengarkan para pengkritiknya—bisa menjadi modal penting untuk memulai tugas beratnya di Istana Elysee.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Mei 2017, di halaman 6 dengan judul ""Tidak", untuk Ekstremisme".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger