Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 08 Juni 2017

Birokrasi dan Prosedur Peradilan (SUPARMAN MARZUKI)

Puluhan tahun lamanya praktik suap yang melibatkan oknum hakim dan atau petugas administrasi perkara berlangsung di pengadilan kita sehingga pengadilan  laksana lembaga lelang: siapa berani beli tinggi akan memenangi perkara.

Kata "pengadilan" menjadi seperti kata-kata kosong tak bermakna. Kalau saja boleh dan patut diganti namanya sesuai realitas, barangkali "lembaga menang kalah" cocok untuk mengganti nama pengadilan.

Penyakit kronis pengadilan umum itu menular pula ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang digadang-gadang sebagai contoh peradilan modern yang akuntabel. Tidak butuh waktu lama bagi MK untuk kehilangan kepercayaan dan mengikuti rumus beperkara di pengadilan umum, yaitu menang kalah.

Banyak faktor penyebab pengadilan menjadi demikian itu dan telah dikemukakan banyak orang. Tulisan ini akan menyorot aspek dari birokrasi dan prosedur dari peradilan umum yang luput dari perhatian.

Birokrasi dan prosedur

Birokrasi peradilan modern ditandai oleh cara beperkara berjenjang dari satu institusi ke institusi hukum lain, baik dalam satu institusi maupun antar-institusi hukum berbeda.

Dalam perkara pidana, misalnya, dimulai dari polisi dan atau jaksa atau KPK yang bekerja berdasarkan hukum acara dan aturan-aturan internal masing-masing, lalu bermuara ke pengadilan tingkat 1 (satu), tingkat 2 (dua) di pengadilan tinggi, tingkat 3 (tiga atau kasasi) di Mahkamah Agung (MA), bahkan mungkin akan berpuncak ke upaya hukum peninjauan kembali (PK).

Birokrasi peradilan, sebagaimana birokrasi kita pada umumnya, dilanda penyakit kronis yang relatif sama, yaitu (1) penyalahgunaan wewenang dan jabatan; (2) antikritik dan cenderung mempertahankan status quo; (3) korupsi, suap atau sogok; (4) boros; (5) arogan; (6) kurang koordinasi; (7) kurang kompeten, dan (8) lamban.

Birokrasi seperti itulah yang menjalankan administrasi peradilan kita selama puluhan tahun, yang jelas tidak sejalan dengan kebutuhan peradilan yang cepat, pasti, jujur, adil, dan akurat. Ditambah pula oleh birokrat peradilan (PNS) kita yang tidak dibekali pendidikan dan keterampilan khusus sebagai administrator peradilan.

Aspek lain adalah prosedur-prosedur administrasi perkara yang jamak diketahui berbelit-belit, mahal, tertutup, dan lama; yang sukar dijangkau oleh mereka yang tidak berpunya serta berdampak pada keterlambatan seseorang memperoleh kepastian hukum dan keadilan atas kasus yang ia hadapi (justice delayed is justice denied).

Dampak lebih buruk adalah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh oknum administrasi yang sebagian sudah menjadi kasus dan diputus di pengadilan, seperti (a) memperlambat atau mempercepat pengunggahan putusan ke direktori putusan; termasuk mempercepat atau memperlambat penyampaian salinan putusan ke terpidana, jaksa, penggugat atau tergugat; (b) menahan permohonan kasasi jaksa agar proses kasasi berlarut-larut; (c) membocorkan putusan kepada terpidana yang tidak ditahan atau kepada penasihat hukum sebelum secara resmi putusan disampaikan sehingga terpidana yang berniat menghindari eksekusi punya kesempatan melarikan diri.

Kemudian, (d) menahan atau melambat-lambatkan penyerahan ekstrak vonis kepada jaksa; (e) menahan putusan kasasi yang menguatkan atau meningkatkan vonis supaya tidak buru-buru disampaikan ke pengadilan dan jaksa penuntut umum agar eksekusi tertunda, serta dalam penundaan eksekusi itu terpidana bisa melakukan sesuatu; (f) menghubungi pihak-pihak untuk merundingkan proses dan atau putusan kasasi atau PK yang diajukan; (g) dalam perkara perdata, menahan putusan kasasi atau PK sehingga pihak yang dikalahkan punya waktu melakukan sesuatu terhadap obyek sengketa, misalnya meneruskan mengeksploitasi tambang, memetik hasil panen, menahan proses jual-beli yang tinggal menunggu salinan resmi putusan.

Khusus kasus MK yang terbaru, membocorkan permohonan pemohon kepada termohon.

Tiga hal

Sudah saatnya pemerintah, MA, MK, dan KY bersama Ombudsman RI melakukan tiga hal. Pertama, audit kinerja aparatur peradilan untuk mengetahui integritas dan kompetensi mereka. Kedua, audit menyeluruh terhadap birokrasi dan prosedur peradilan kita baik pada saat pra- peradilan, selama peradilan, dan setelah putusan peradilan untuk memastikan ada tidaknya malaadministrasi. Ketiga, mengkaji apakah model birokrasi dan prosedur yang telah dijalankan puluhan tahun itu cocok untuk peradilan dengan prinsip cepat, sederhana, dan biaya murah.

Jika memang hasil audit menunjukkan birokrasi dan prosedur peradilan kita tak sejalan dengan prinsip cepat, sederhana, dan biaya murah serta mengondisikan terjadi korupsi, harus dilakukan perubahan dengan merumuskan model birokrasi, prosedur, dan kebutuhan tenaga administrator peradilan yang bisa mencegah penyalahgunaan wewenang agar ada harapan pengadilan kita lebih baik dan kita punya alasan untuk optimistis.

SUPARMAN MARZUKI

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia; Ketua Komisi Yudisial RI 2013-2015; dan Senior Advisor di Assegaf Hamzah and Partners

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Birokrasi dan Prosedur Peradilan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger