Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 16 Juni 2017

TAJUK RENCANA: Soal Harga dari Aspek Sosial (Kompas)

Praktis sudah jadi pola, harga barang-barang cenderung naik menjelang bulan puasa. Harga yang sudah naik itu semakin tinggi lagi selama bulan puasa.

Bukan hanya pangan, melainkan juga ongkos angkutan darat, udara, dan laut ikut-ikutan naik. Kecenderungan serupa terlihat pula menjelang pengujung tahun dan perayaan Tahun Baru. Lazimnya, harga yang sudah melambung tinggi sulit sekali diturunkan.

Persoalan bertambah rumit karena kenaikan harga yang terkesan liar tidak atau kurang diimbangi oleh daya beli sebagian besar warga masyarakat yang memang cenderung tertekan. Atas pergolakan harga yang menjadi fenomena rutin dan kronis itu, timbul silang pendapat.

Banyak orang beranggapan, naik-turun harga diserahkan pada kekuatan pasar saja. Dinamika harga tergantung pada mekanisme pasokan dan permintaan. Lebih tinggi permintaan, sementara pasokan terbatas, harga akan melambung naik, dan sebaliknya.

Namun, belakangan ini muncul gugatan, pendekatan ekonomi, termasuk penentuan harga, yang dikendalikan oleh pasar semata akan menciptakan radikalisme pasar. Radikalisme pasar akan menciptakan mentalitas oportunis dan semangat aji mumpung untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya dari kalangan konsumen yang sedang terjepit oleh tuntutan kebutuhan yang meningkat.

Sensitivitas persoalan bertambah jika dibandingkan dengan harga di mancanegara. Harga daging di Indonesia, misalnya, rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan harga di banyak negara, termasuk negara maju. Jika radikalisme pasar yang ganas dan liar dibiarkan, bagaimana tinjauannya dalam perspektif sosial. Bukankah harta dan kepemilikan pada umumnya memiliki nilai aspek sosial?

Produsen, penjual, dan pedagang tentu saja harus mendapat untung, tetapi keuntungan yang berdasarkan perhitungan yang rasional, tanpa meninggalkan dimensi sosial dari kehidupan. Tidak sedikit orang asing mempertanyakan harga di Indonesia yang melonjak tajam dari tahun ke tahun. Bahkan, ada yang memberi ilustrasi bagaimana harga telur ayam di Jepang saat ini tidak jauh berbeda dengan harga 20 tahun lalu.

Tentu saja perubahan harga tidak terlepas dari persoalan inflasi dan dinamika ekonomi secara keseluruhan. Ilustrasi tentang harga telur sengaja diangkat, bagaimana harga telur sebagai salah satu sumber kalori tak banyak berubah meski daya beli masyarakat Jepang melambung tinggi.

Sudah menjadi kebiasaan di banyak negara, harga tidak dinaikkan, bahkan barang-barang sedikit diobral menjelang dan pada puncak hari-hari perayaan. Tidak larut dalam semangat oportunis yang mengabaikan prinsip kehidupan yang berdimensi sosial.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Soal Harga dari Aspek Sosial".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger