Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 24 Juli 2017

ARTIKEL OPINI: Diplomasi Kartografis di Laut Natuna (I MADE ANDI ARSANA)

Pemerintah Indonesia, melalui Kemenko Kemaritiman, telah mengeluarkan Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia terbaru.

Indonesia memang secara berkala mengeluarkan Peta NKRI. Yang istimewa dari Peta NKRI 2017 adanya usulan penamaan ruang laut yang tadinya dikenal sebagai bagian dari Laut China Selatan (LCS) menjadi Laut Natuna Utara (LNU). Indonesia rupanya menggunakan kartografi sebagai ilmu dan seni pembuatan peta sebagai alat diplomasi.

Mengapa ini jadi pusat perhatian media? China bahkan langsung melayangkan protes. Pemberian nama secara sepihak terhadap kawasan laut tertentu bukan hal baru. Di peta-peta Indonesia 1980-an atau 1990-an, laut di sebelah selatan Jawa disebut Samudra Indonesia, padahal secara internasional itu dikenal dengan Samudra Hindia. Filipina juga menyebut LCS sebagai West Philippine Sea dalam peta nasional mereka.

Secara internasional, penamaan atau toponimi setiap ruang laut di muka bumi sudah disepakati. Dalam hal ini, ruang laut di utara Kepulauan Natuna itu dikenal dengan LCS. Ini ada dalam dokumen S-23 International Hydrographic Organization (IHO). S-23 termutakhir adalah yang disepakati pada 1953. Hal kedua yang harus juga dipahami bahwa penamaan suatu ruang laut itu tak terkait kepemilikannya. Laut Jawa jelas bukan hanya milik Jawa. Selat Lombok juga tidak eksklusif milik Lombok.

Bisakah suatu negara memberi nama berbeda pada ruang laut yang sudah memiliki nama tertentu? Untuk kepentingan nasional tentu bisa, apalagi itu hanya untuk kepentingan dalam negeri. Selain itu, setiap negara tentu memiliki nama geografis wilayah darat dan laut sesuai dengan bahasa yang digunakan, yang kemungkinan besar berbeda dengan yang disepakati komunitas internasional.

Sebagai contoh, kawasan Laut Sulawesi di sebelah timur Kalimantan dikenal dengan Celebes Sea oleh masyarakat internasional. Kita juga mengenal sebuah pulau secara keseluruhan dengan nama Kalimantan, padahal dunia internasional menyebutnya Borneo. Dalam konteks berbeda, penamaan ruang laut secara sepihak bisa diterima dan dipahami, tetapi harus diingat ruang laut itu digunakan masyarakat internasional sehingga kesepakatan nama jadi penting. Itulah alasannya mengapa dunia menyepakati nama geografis ruang laut dan memasukkannya dalam dokumen formal semacam S-23 IHO.

Penamaan ruang laut di utara Kepulauan Natuna sebagai LNU menimbulkan kehebohan, pertama, karena ruang laut itu sudah punya nama, yaitu LCS. Kedua, karena statusnya yang oleh sebagian pihak dianggap masih dalam sengketa. Menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), ada beberapa negara yang berhak atas ruang laut di LCS dan hak itu menimbulkan tumpang tindih. Konfigurasi geografisnya memang tak memungkinkan setiap negara untuk mendapatkan semua haknya tanpa adanya tumpang tindih satu sama lain. Ini hal biasa dan langkah selanjutnya adalah melakukan pembagian ruang laut melalui delimitasi batas maritim.

Untuk dasar laut (landas kontinen), urusannya sudah selesai. Batas maritim sudah ditetapkan antara Indonesia dan Malaysia (1969) serta antara Indonesia dan Vietnam (2003). Dengan demikian, ruang dasar laut yang jadi kewenangan Indonesia di kawasan itu sudah jelas, tidak ada sengketa. Yang selanjutnya perlu dirundingkan adalah ruang air lautnya (Zona Ekonomi Eksklusif/ZEE). Meski batas ZEE belum disepakati dengan Malaysia dan Vietnam, Indonesia telah menyatakan garis batas secara sepihak yang didasarkan pada UNCLOS. Indonesia yakin bahwa posisinya benar secara legal.

Yang membuat rumit, China memiliki klaim sendiri di kawasan itu dan klaim itu tak berdasarkan UNCLOS. China mengklaim hampir keseluruhan ruang laut di kawasan itu dan tumpang tindih dengan hak ruang laut sejumlah negara di sana, termasuk Indonesia. Melalui putusan arbitrase internasional, 2016, klaim China itu sebenarnya sudah dinyatakan tidak sah, tetapi China rupanya tak mengindahkan putusan tersebut.

Putusan arbitrase itu "menguatkan" posisi Indonesia dan menegaskan memang Indonesia tak punya urusan batas maritim dengan China. Di sisi lain, China tetap meyakini hak ruang lautnya di kawasan tersebut. Dengan kata lain, menurut Indonesia tak ada tumpang tindih ruang laut antara Indonesia dan China, sementara China berpandangan berbeda.

Indonesia tentu menyadari bahwa deklarasi LNU ini tidak serta-merta berdampak legal pada kesepakatan dunia. Meski demikian, langkah ini adalah sebuah pesan politis yang tegas bahwa Indonesia menguatkan hak berdaulatnya atas ruang laut di sebelah utara Natuna.

I MADE ANDI ARSANA

, DOSEN TEKNIK GEODESI UGM DAN PENELITI ASPEK GEOSPASIAL HUKUM LAUT

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Diplomasi Kartografis di Laut Natuna".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger