Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 27 Juli 2017

ARTIKEL OPINI: Irak Setelah Pembebasan Mosul (A AGUS SRIYONO)

Pada 10 Juli 2017, Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi mengumumkan pembebasan kota Mosul dari cengkeraman kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah. Dari sudut pandang Pemerintah Irak, pembebasan kota terbesar kedua di Irak ini merupakan kemenangan simbolik Irak atas NIIS.

Selebrasi kemenangan dilakukan di sejumlah kota meski disertai catatan beberapa kota di Irak masih dikuasai NIIS, termasuk Hawija. Pertanyaannya, akankah perdamaian segera terwujud di Irak setelah Mosul dibebaskan secara militer?

Pembebasan Mosul oleh tentara Irak melalui pertempuran berdarah selama sembilan bulan terakhir menyisakan petaka luar biasa. Diperkirakan lebih dari 1.000 tentara Irak tewas dan 900.000 warga sipil mengungsi. Sebagian besar bangunan di Mosul hancur, termasuk Masjid Agung Al-Nuri, tempat Abu Bakar al-Baghdadi mendeklarasikan NIIS pada Juni 2014. Selain itu, sedikitnya enam wartawan asing tewas saat bertugas. Sungguh tragedi kemanusiaan yang perlu waktu bertahun-tahun untuk pemulihan.

Menurut estimasi, rehabilitasi Irak secara keseluruhan membutuhkan anggaran sedikitnya 100 miliar dollar AS. Bank Dunia, Jerman, dan sejumlah lembaga internasional sudah siap memberikan kontribusi. Perusahaan General Electric yang memenangi kontrak sedang merundingkan aspek finansial. Pertengahan Juli 2017, Koalisi Global 72 negara untuk membantu Irak mengadakan pertemuan di Washington DC guna menyusun rencana rekonstruksi jangka 10 tahunan. Namun, hasrat membangun kembali Irak tampaknya akan terkendala oleh situasi sosial-politik yang melingkupinya.

Konflik sektarian

Irak negara multisektarian. Rivalitas kesukuan ditambah friksi sektarian, terutama menyangkut kaum Syiah, Sunni, Kurdi, dan Yazidi, menjadi kendala utama dalam upaya membangun kembali Irak. Ketegangan antarsuku dan pertentangan mayoritas Syiah dengan minoritas Sunni belakangan cenderung meningkat. Berkembang persepsi di kalangan warga Sunni bahwa milisi Syiah dipersenjatai Pemerintah Irak atas bantuan AS dan Iran. Mereka menganggap dukungan Iran terhadap milisi Syiah sebagai perwujudanproxy war. Suasana ini jelas memperkeruh konstelasi politik di Irak.

Muncul pula kekhawatiran dalam komunitas Sunni, setelah kemenangan di Mosul, milisi Syiah akan berbalik menyerang kaum Sunni demi memperoleh kekuasaan. Memang, ada anggapan dari pihak Syiah bahwa komunitas Sunni selama ini memberikan dukungan kepada NIIS. Sementara di sisi lain, komunitas Kurdi-Irak bergegas menyusun strategi guna mewujudkan kemerdekaan melalui antara lain referendum yang direncanakan bulan September 2017.

Menghadapi situasi ini, tak ada jalan lain bagi Pemerintah Irak agar segera mewujudkan perdamaian dengan membangun kembali persaudaraan antarsuku, rekonsiliasi Syiah-Sunni-Kurdi-Yazidi, serta menciptakan pemerintahan yang inklusif. Dalam hal pemerintahan inklusif semestinya diakomodasi perwakilan dari kaum Kurdi, Sunni, Yazidi, dan suku-suku lain, seperti Assyrian, Turkmen, dan Shabak, secara proporsional. Jika Irak tak mampu menciptakan pemerintahan yang inklusif, niscaya perdamaian tidak dapat direalisasikan.

Dalam hal keberhasilan pembebasan Mosul itu sendiri, terdapat dua versi yang mengemuka di masyarakat. Pertama, Mosul dapat dibebaskan berkat dukungan tentara Kurdi-Irak "Peshmerga". Implikasinya, kaum Kurdi merasa memiliki andil dalam merebut Mosul. Lebih jauh, mereka akan menuntut hak politiknya.

Kedua, kemenangan militer atas Mosul tidak mungkin terjadi tanpa kesepakatan politik antara Sunni dan Syiah. Artinya, kaum Sunni memiliki kontribusi juga dalam membebaskan Mosul. Mereka membantah tuduhan kaum Syiah bahwa warga Sunni bersimpati kepada NIIS atas dasar anggapan NIIS merupakan protektor kaum Sunni dalam menghadapi kesewenang-wenangan Pemerintah Irak yang mayoritas Syiah. Memang, pada masa pemerintahan Perdana Menteri Nuri Kamal al-Maliki, banyak tuduhan adanya represi terhadap warga Sunni.

Dimensi internasional

Bagi Pemerintah Irak, selama ini aspirasi kaum Kurdistan untuk sebuah kemerdekaan bagaikan kerikil dalam sepatu: sebuah dilema politik yang sulit dicarikan jalan keluar. Otonomi khusus bagi warga Kurdi di Irak utara ternyata bukan solusi.

Kesulitan sama dalam hal tuntutan pembagian kekuasaan oleh minoritas Sunni. Oleh sebab itu, kemampuan mengelola perbedaan politik dengan komunitas Kurdi serta Sunni akan menentukan perdamaian Irak pada masa mendatang. Adapun kebijakan terhadap Yazidi serta suku-suku minoritas lain perlu lebih fokus pada penghormatan terhadap hak-hak kaum minoritas.

Dari segi dimensi internasional, tuntutan atas kemerdekaan bagi etnis Kurdi-Irak diperkirakan ditentang AS, Turki, dan Iran. Sejauh ini, AS berpandangan, belum saatnya memberikan dukungan kepada kemerdekaan suku Kurdi di Irak.

Sementara menurut Turki yang memiliki persoalan dengan Kurdi di dalam negerinya, kemerdekaan warga Kurdi di Irak utara dikhawatirkan jadi inspirasi bagi kemerdekaan Kurdi di Turki. Rupanya ada kesepakatan tak tertulis di antara Turki, Iran, Irak, dan Suriah untuk mencegah lahirnya negara Kurdi.

Dalam hal kebijakan, sejauh ini AS belum punya kebijakan jangka panjang atas masa depan Irak. Namun, jika mengacu kampanye tahun lalu, waktu itu calon presiden AS, Donald Trump, berkeinginan mengurangi anggaran belanja Kementerian Luar Negeri. Seandainya hal ini terjadi, dapat diperkirakan bantuan kepada Irak tidak akan signifikan dan hanya berjangka pendek. Satu hal yang perlu dipertimbangkan AS, apabila dukungan terhadap Irak melemah, hampir pasti Iran akan mengambil alih peranan dominan di Irak dan menjadikan Irak sebagai client state.

Terkait hubungan Irak-Suriah, sejumlah pengamat memercayai stabilitas Irak ke depan juga bergantung pada stabilitas di Suriah. Selama Suriah tidak stabil, hampir dipastikan Irak juga tidak akan stabil. Karena itu, perang saudara di sepanjang perbatasan Irak-Suriah harus segera diredam dan dalam waktu bersamaan, perdamaian di Suriah harus diwujudkan. Caranya antara lain membebaskan kota Raqqa di Suriah sebagaimana Mosul.

Dalam pidato pembebasan Mosul, Perdana Menteri Haider al-Abadi antara lain mengatakan, "Irak dewasa ini jauh lebih bersatu dibandingkan dengan waktu sebelumnya."

Tampaknya, pernyataan ini lebih merupakan harapan ketimbang kenyataan saat ini. Ke depan, Irak masih harus melewati jalan yang berliku dan terjal untuk menjadi sebuah negara yang aman dan damai.

A AGUS SRIYONO

Pemerhati Masalah-masalah Internasional

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Irak Setelah Pembebasan Mosul".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger