Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 22 Juli 2017

ARTIKEL OPINI: Kebijakan Perikanan (YOSE RIZAL DAMURI)

Pada 11 Juli 2017 diperkirakan terdapat sekitar 10.000 nelayan melakukan aksi unjuk rasa di Istana Negara, Jakarta. Mereka mengeluhkan dampak dari kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan selama ini yang ternyata dianggap merugikan mereka.

Hal ini cukup menarik perhatian karena selama ini kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), khususnya pada masa Menteri Susi Pudjiastuti, dianggap menguntungkan perekonomian Indonesia, terlebih lagi untuk nelayan. Kebijakan untuk menghadapi illegal, unreported, and unregulated (IUU)fishing, misalnya, menuai banyak pujian karena dianggap mempertahankan kedaulatan negara.

Para pemerhati lingkungan juga memberi perhatian penuh atas upaya Menteri Kelautan dan Perikanan menjaga kelestarian lingkungan melalui pelarangan beberapa alat tangkap ikan.

Namun, dampak lain dari kebijakan KKP yang sebenarnya cukup signifikan masih jarang dibahas oleh media. Pada awal 2015 diperkirakan terdapat delapan perusahaan pengolahan perikanan di Bitung yang tidak dapat melanjutkan operasinya. Pada awal tahun ini diperkirakan juga terdapat 15 pabrik pembuatan surimi yang terancam tutup operasi. Hal ini disebabkan kurangnya pasokan bahan baku yang secara langsung terkena imbas dari kebijakan KKP.

Kebijakan pelarangan alat tangkap

Salah satu kebijakan yang berpengaruh langsung terhadap nelayan adalah pelarangan beberapa alat tangkap. Tujuan pembuatan regulasi ini adalah untuk menjaga kelestarian lingkungan laut dan sumber daya ikan serta mengatur kembali peralatan tangkap ikan apa saja yang diperbolehkan atau dilarang di suatu wilayah Indonesia.

Kebijakan pelarangan cantrang adalah salah satu hal yang menjadi kontroversi akhir-akhir ini, terutama mengingat banyaknya nelayan di Jawa yang menggunakan alat ini.

Pelarangan cantrang sebenarnya sudah cukup lama diwacanakan dan disosialisasikan sejak tahun 2000-an. Alasannya adalah karena sifatnya yang dianggap berpotensi merusak ekosistem bawah laut, mengingat sifatnya yang menarik jaring dari dasar laut hingga ke kapal. Selain itu, 49-54 persen hasil dari tangkapan cantrang merupakan tangkapan sampingan yang didominasi oleh ikan yang tidak memiliki nilai ekonomis tinggi.

Pemerintah sudah memberikan bantuan alat tangkap pengganti, seperti jaring insang dan pancing ulur. Akan tetapi, nelayan merasa kecewa karena alat pengganti kurang efektif dibandingkan dengan hasil tangkapan dari cantrang serta kesulitan untuk beralih ke alat tangkap lain. Apalagi pelarangan cantrang diberlakukan di seluruh wilayah Indonesia, tanpa melihat kondisi perikanan ataupun keterampilan dari nelayan di wilayah tersebut.

Setiap alat tangkap ikan memiliki potensi untuk merusak lingkungan laut, tergantung dari cara pemakaian dan di wilayah mana digunakannya. Karena itu, pelarangan secara menyeluruh alat tangkap cantrang di wilayah Indonesia sangatlah tidak tepat. Sebelum melakukan pelarangan, pemerintah perlu melakukan kajian terkait penggunaan cantrang sehingga dapat menentukan lebih tepat di wilayah mana alat tersebut memang mengancam kelestarian perikanan.

Penting juga dikaji secara mendalam bagaimana penggunaan cantrang secara lebih baik dan menjaga kelestarian. Larangan tersebut perlu diterapkan secara lebih fleksibel dan memperhatikan nasib nelayan. Kalaupun perlu untuk melarang dan mengganti alat tangkap, pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan nelayan.

Penggunaan kapal

Kebijakan lain yang juga sangat memengaruhi nelayan dan industri perikanan adalah larangan kegiatan alih muat barang (transshipment) di tengah laut. Meskipun tujuannya adalah untuk mencegah kegiatan IIU fishing, ini telah memengaruhi lama waktu nelayan dapat berada di tengah laut. Arthatiani (2015) menyebutkan bahwa waktu operasional untuk kapal tangkap tuna bisa mencapai delapan bulan hingga satu tahun.

Artinya, pemindahan hasil tangkap dari kapal nelayan tangkap ke kapal pengumpul sangat diperlukan agar produknya dapat dijual secara segar. Pelarangan membuat nelayan harus segera kembali ke pangkalan dan menjual hasil tangkapnya dalam waktu yang lebih singkat, atau menanggung risiko kerusakan. Bahkan, jika fasilitas pendinginan yang baik tersedia di kapal, kualitas dan harga hasil tangkap masih tetap akan menurun. Ini tentunya akan membuat produksi menjadi turun dan biaya pelayaran dan penangkapan menjadi bertambah.

Kondisi ini juga diperparah dengan pencabutan sementara perizinan untuk kapal nelayan yang diproduksi di luar negeri. Akibatnya sangat merugikan industri pengolahan perikanan karena membuat pasokan ikan terhadap industri perikanan menjadi berkurang. Kebanyakan kapal yang mereka miliki untuk melakukan kegiatan tangkap ikan diproduksi di luar negeri. Terlebih lagi, kapal buatan asing ini biasanya adalah kapal dengan muatan besar. Meskipun kebijakan tersebut telah dicabut, industri pengolahan perikanan belum dapat bangkit kembali karena kerugian yang telah mereka rasakan.

Dampak ekonomi

Statistik menunjukkan bahwa produksi perikanan tangkap tetap meningkat sekitar 2 persen per tahun selama periode 2014-2017. Ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut tidak menurunkan produksi. Akan tetapi, angka ini lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya yang dapat mencapai peningkatan sekitar 5 persen.

Ekspor perikanan Indonesia juga mengalami penurunan, baik dari sisi nilai maupun jumlah. Nilai ekspor di tahun 2015, misalnya, mengalami penurunan 14,9 persen dari tahun sebelumnya. Jika kita lihat data wilayah, juga terlihat penurunan yang sangat tajam di banyak wilayah, seperti Sulawesi Utara yang turun hingga 12 persen.

Pelajaran yang bisa diambil adalah bahwa kebijakan perikanan memiliki banyak dimensi. Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini sangat menekankan aspek lingkungan dan IIUfishing, yang memang diperlukan. Namun, kebijakan tersebut membawa dampak terhadap perekonomian, kehidupan nelayan, dan juga industri perikanan. Oleh karena itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan harus mulai memperhatikan berbagai permintaan dan keluhan dari berbagai pihak yang dirugikan.

Kebijakan pelarangan memang sangat mudah untuk dilakukan, tetapi tugas dari pemerintah adalah memberikan fasilitasi untuk aktivitas masyarakat. Kebijakan yang baik harus dapat menangkap kepentingan berbagai pihak secara seimbang, bukan hanya pada satu sisi ataupun hanya memuaskan persepsi publik belaka.

YOSE RIZAL DAMURI

Kepala Departemen Ekonomi CSIS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Kebijakan Perikanan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger