Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 24 Juli 2017

ARTIKEL OPINI: Macron dan Harapan Baru Perancis (RIZAL MALLARANGENG)

Emmanuel Macron kini politisi terpenting Perancis setelah Charles de Gaulle.

Jika Perang Dunia II melahirkan Le Grand General, prahara politik pasca-Brexit serta perubahan besar yang kini sedang terjadi di Eropa dan AS memunculkan Macron sebagai tokoh pembawa harapan baru.

De Gaulle adalah pahlawan perang, penulis brilian, dengan kepribadian karismatik. Macron anak muda 39 tahun yang tumbuh dari universitas elite di bawah bimbingan filsuf kenamaan Perancis, Paul Ricouer. Dari dunia filsafat dia kemudian menjadi manajer investasi di bank milik keluarga Rothschild dan setelah itu memegang posisi menteri ekonomi di bawah pemerintahan sosialis Presiden Hollande.

Dalam pilpres, dengan telak dia menaklukkan Marine Le Pen, kandidat ultrakonservatif. Setelah itu, dalam pemilu legislatif, ia memimpin partai yang masih hijau,Le Republique en Marche!, meraih kemenangan langka di Perancis dengan menguasai mayoritas kursi parlemen, lebih dari 60 persen. Partainya, yang banyak berisi kaum muda berlatar belakang nonpolitisi, merontokkan dominasi partai-partai lama yang selama ini mengendalikan pemerintahan. Oleh banyak kalangan, kejutan ini disebut gempa bumi politik.

Karena keberhasilan beruntun ini, Macron kini memegang kendali hampir sepenuhnya dari perjalanan Perancis ke depan. Dia telah membuktikan diri sebagai pendobrak dengan intuisi kampanye yang tajam. Sekarang, sebagai presiden dengan dukungan penuh parlemen, dia harus memerintah serta membangun, mengembalikan kepercayaan diri publik Perancis yang dua dekade terakhir tenggelam dalam kekecewaan berantai akibat kegagalan pemerintahan sebelumnya.

Inggris dan Jerman telah melahirkan pemimpin transformatif —Margaret Thatcher dan Gerhard Schroder—yang membalikkan nasib negerinya dariimmobilisme ekonomi. Perancis juga membutuhkan pemimpin seperti ini dan Emmanuel Macron barangkali adalah peluang terakhir dalam situasi yang ada sekarang.

Jalan yang terjal

Tantangan yang dihadapinya tak mudah. Dalam soal ekonomi, Perancis menanggung beban sangat berat. Di antara negara maju, tradisi dirigisme paling berakar di negeri ini. Pengeluaran pemerintah kini mencapai 57 persen total produksi nasional, tertinggi di Eropa, bahkan melebihi negara-negara Skandinavia yang selama ini dikenal sebagai welfare states di garis terdepan.

Aturan ketenagakerjaan sangat kaku melindungi pekerja yang sudah mapan, dengan mengorbankan anak muda pencari kerja—itu sebabnya pengangguran di Perancis mencapai 25 persen tahun lalu (mendekati malaise!) di kalangan pemuda 21-25 tahun. Semua ini dan banyak hal lain merupakan rantai besi yang mengekang kreativitas warga Perancis untuk bersaing dengan negeri maju lainnya.

Untuk mengubah semua itu, Macron menawarkan gagasan tepat. Di permukaan, dia kelihatan mencomot ide dari kanan dan kiri, mengikuti suasana hati post-politics—istilah Prof Chantal Mouffe, teoretisi politik terkemuka Eropa. Akan tetapi, pada esensinya program yang sedang dia perjuangkan berada dalam lingkup kebijakan pro-pasar dan pro-globalisasi. Dalam konteks Perancis, kebijakan ini seperti angin segar yang bertiup di kamar yang pengap.

Tantangan lain yang dihadapi Macron adalah masalah imigrasi. Isu ini rumit serta eksplosif karena percampuran antara kelompok manusia dalam jumlah banyak dan dalam waktu singkat memang lebih dilematis daripada sekadar masalah perdagangan barang atau jasa. Kerumitan ini berlipat ganda karena di dalamnya terkandung unsur perbedaan agama dan etnik sekaligus.

Rencana kebijakan Macron cukup mengena dan arif. Karena sudah terlalu berbau ultrakanan, dia menghindari penggunaan kata "nasionalisme". Sebagai gantinya, dipakai istilah "patriotisme" untuk membuka kesempatan bagi siapa saja menjadi loyal dan pembela kepentingan Perancis. Barangkali dengan ini dia akan melangkah melampaui rumitnya politik identitas yang selalu menjadi faktor penghambat dalam menyelesaikan isu imigrasi dan pembauran penduduk.

Tantangan lain yang tak kurang pentingnya berhubungan dengan politik internasional, khususnya nasib Uni Eropa (UE), dan lebih khusus lagi hubungan Franco-Jerman sebagai pilarnya. Setelah Brexit, dan setelah krisis ekonomi Yunani dua tahun lalu, UE kelihatan goyah. Semakin lama, kelemahan struktural institusi supranasional inisemakin menciptakan banyak masalah.

Sejarah pembentukan UE sebenarnya lebih terkait niat untuk mencegah berulangnya malapetaka di masa depan. Negarawan seperti Konrad Adenauer dan Jean Monnet ingin menghindari pengalaman tragis negeri mereka yang terkapar oleh dua perang dunia. Namun, para pemimpin Eropa jadi lebih ambisius ingin melampaui zaman dengan "melebur" beberapa elemen negara-bangsa. Ambisi ini barangkali mulia, tetapi dalam pengelolaan pemerintahan, khususnya dalam memberikan respons terhadap berbagai persoalan sosio-ekonomi dalam dunia yang kian bergerak cepat, struktur UE telah menjadi beban dan sumber masalah.

Terhadap semua itu, Macron mengajukan gagasan yang bisa menjadi pedang bermata dua. Dia ingin mendorong pendalaman integrasi, antara lain dengan membentuk badan fiskal bersama untuk mendampingi unifikasi moneter yang telah berjalan lebih dari satu dekade. Kalau berhasil, ini mungkin akan memberikan koherensi pada UE. Namun, hal itu juga menambah lagi satu lembaga super-birokrasi yang sebenarnya sudah sangat tak populer. Kalau gagal, the nation-states will strike back dan situasi yang ada pasti menjadi lebih runyam.

Singkatnya, Macron harus lebih hati-hati melangkah. Kuncinya terletak pada hubungan Franco-Jerman yang konstruktif serta pada chemistry dan kerja sama antara Macron dan Angela Merkel, pemimpin Jerman yang selama ini menjadi pembela gigih integrasi Eropa. Tanda-tanda yang ada tampaknya positif dan karena itulah majalah terkemuka The Economist menyebut bahwa Eropa sekarang ini memasuki sebuah zaman yang layak disebut sebagai The Age of Merkron.

Harapan

Eropa yang sehat dan bergairah akan menguntungkan semua, apalagi dalam situasi politik dunia tak pasti sekarang, khususnya dengan langkah-langkah Trump yang kian kontroversial. AS sedang demam panas dan Eropa mungkin bisa jadi pengimbang yang efektif.

Khusus bagi Perancis, jika Macron berhasil, negeri kelahiran Voltaire dan Montesquieu ini akan jadi mercusuar sekali lagi: kali ini bukan dengan revolusi, melainkan justru dengan membuktikan bahwa sistem demokrasi, betapapun tak sempurna, tetap mampu menghasilkan perubahan progresif dalam zaman yang berubah cepat pada awal abad ke-21. Nama Macron akan tercatat dalam riwayat kepahlawanan Perancis, disejajarkan dengan Le Grand Général.

Kalau dia gagal, politisi seperti Le Pen akan kembali lagi dengan kekuatan penuh lima tahun kemudian, seperti Napoleon dalam reinkarnasi ultrakonservatif yang menunggu di ujung prahara. Jika ini terjadi, kebenaran epigram pasca-Revolusi Perancis akan berulang kembali: plus Ça change, plus c'est la mÊme chose, semakin berubah, semakin semua sama saja. Di ujung kegagalan ini barangkali hanya akan ada kecemasan, apatisme, dan kekecewaan mendalam.

RIZAL MALLARANGENG,

Pendiri Freedom Institute
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul "Macron dan Harapan Baru Perancis".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger