Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 13 Juli 2017

ARTIKEL OPINI: Memindahkan Ibu Kota (A TONY PRASETIANTONO)

Wacana untuk memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa kembali bergulir, bahkan kini lebih intens. Ini ide lama yang selalu abadi karena Jakarta memang kian menghadapi kompleksitas masalah yang berat dari sisi kependudukan. Jakarta sudah terlalu lelah untuk dihuni 10 juta penduduknya (malam hari) dan 15 juta manusia (siang hari). Dikombinasikan dengan wilayah-wilayah di sekitarnya, "Jakarta Raya" kini dihuni oleh 30 juta penduduk!

Selain kepadatan penduduk yang tidak berimbang dengan kemampuan penyediaan infrastruktur, Indonesia juga berkepentingan untuk memeratakan pembangunan ke luar Jakarta dan ke luar Jawa. Kedua alasan ini merupakan justifikasi yang amat kuat untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke suatu tempat di luar Jawa, dengan kemungkinan besar di Kalimantan yang letaknya di tengah-tengah Indonesia.

Variasi kasus ibu kota

Alasan pemindahan ini mirip dengan yang dulu dilakukan Brasil. Mereka memindahkan ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasilia, kota yang letaknya lebih di tengah-tengah negara dibandingkan Rio yang berada di pantai timur. Sejak pertama kali direncanakan pada 1956, ibu kota baru Brasil resmi berdiri pada 1960. Hanya perlu waktu empat tahun untuk pemindahan karena kedua kota berjarak relatif tak jauh (1.168 kilometer), berada di daratan yang sama, dan kompleksitas permasalahan saat itu belum terlalu besar.

Kasus ibu kota Malaysia berbeda. Untuk mengurangi kepadatan ibu kota, Malaysia membangun Putrajaya yang hanya berjarak 36 kilometer dari Kuala Lumpur, sebagai pusat perkantoran pemerintah federal. Jadi, ibu kota negara, tempat raja bermukim, serta parlemen tetap berada di Kuala Lumpur. Kuala Lumpur menjadi pusat bisnis, sedangkan Putrajaya menjadi pusat administrasi pemerintahan. Dengan kata lain, terjadi pengalihan beban ke kedua kota. Putrajaya mulai dibangun sejak 1990 dan mulai efektif digunakan pada 1999. Perlu waktu sembilan tahun meski jaraknya dekat. Hal ini mungkin mirip dengan ide pada era Presiden Soeharto untuk memindah ibu kota administrasi dari Jakarta ke Jonggol, Jawa Barat, yang berjarak 52 kilometer.

Kasus Australia lain lagi. Ibu kota Canberra didirikan pada 1908, sebagai hasil kompromi setelah dua kota terbesar berebut menjadi ibu kota: Sydney dan Melbourne. Akhirnya dipilih jalan tengah, dibuat kota baru di antara keduanya. Sayembara desain kota Canberra dimenangkan dua arsitek dari Chicago, AS, Walter Burley Griffin dan Marion Mahony Griffin. Desainnya sangat banyak terinspirasi oleh lanskap ibu kota AS, Washington DC.

Di tengah kota Canberra kini terdapat danau buatan bernama Danau Burley Griffin. Canberra berjarak 280 kilometer dari Sydney dan 660 kilometer dari Melbourne. Yang menarik, perdana menteri justru lebih sering tinggal di rumah dinasnya di Sydney yang ramai dan hangat daripada di Canberra yang sepi dan dingin.

Sementara Beijing, ibu kota China, adalah kota yang amat besar dan padat dengan penduduk 21 juta orang, tetapi masih kalah jumlahnya dibandingkan Shanghai, kota bisnisnya yang terbesar, dengan 24 juta orang. Kedua kota dihubungkan dengan kereta cepat sepanjang 1.318 kilometer atau hampir sembilan kali lipat jarak Jakarta-Bandung yang juga sedang membangun kereta cepat.

Pembangunan ekonomi China sebenarnya juga mengalami disparitas yang tajam antara wilayah pantai timur dengan wilayah tengah dan barat. Ekonom China paling top, Profesor Justin Yifu Lin (mantan Kepala Ekonom Bank Dunia), selalu berkata bahwa masalah ekonomi terbesar di China adalah disparitas pendapatan antara wilayah timur dengan barat dan tengah. Namun, sejauh ini Pemerintah China belum terpikir untuk memindah ibu kotanya ke bagian dalam (interior) tersebut.

Beragam kasus masalah kepadatan penduduk ibu kota itu mengindikasikan bahwa kasus Indonesia cukup unik, khas, dan tiada duanya. Jakarta memang berpenduduk banyak (10-15 juta) meski bukanlah yang terbesar di dunia dibandingkan ibu kota lain, seperti Karachi (23 juta) Beijing (21 juta), New Delhi (17 juta), Lagos (16 juta), Dhaka (15 juta), Istanbul (14 juta), Tokyo (13 juta), Moskwa (12 juta), Kairo, Kinshasa, dan Seoul (masing-masing 10 juta).

Beban fiskal

Meski tidak atau belum satu pun sejumlah ibu kota tersebut berencana pindah, tentu saja sah apabila Jakarta ingin dipindahkan karena tujuan utamanya adalah meredam densitas penduduk dan mengurangi disparitas ekonomi nasional. Namun, masalahnya adalah, apakah kita siap secara finansial? Apakah waktunya sudah tepat? Apakah persyaratannya bisa kita penuhi? Terlebih lagi kini pemerintah sedang giat membangun infrastruktur di mana-mana.

Masalah yang paling pelik saat ini adalah kondisi fiskal. Kombinasi antara ekspansi belanja infrastruktur dengan melesetnya target penerimaan pajak akan menyebabkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 akan mencapai 2,92 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Meski angka ini masih di bawah batas aman 3 persen, sesuai konsensus para ekonom top dunia mengenai defisit di negara berkembang yang melaju paling pesat (emerging markets) seperti Indonesia, defisit kita biasanya hanya 2,5 persen dan maksimal 2,7 persen. Artinya, defisit 2,92 persen merupakan angka yang secara psikologis sudah mulai memerlukan kehati-hatian ekstra untuk mengelolanya.

Secara konvensional, defisit biasanya diatasi dengan utang. Sejauh ini, rasio utang Indonesia terhadap PDB masih aman di level 28 persen. Sebagai perbandingan, beberapa negara berkembang lain adalah India dan Brasil (69 persen), China (49 persen), Meksiko (48 persen), Korea Selatan (38 persen), dan Turki (28 persen). Meski dari kriteria ini aman, kita harus tetap waspada, terlebih beban utang kita banyak yang berasal dari luar negeri dengan mata uang asing (dollar AS, yen, euro). Pada saat yang sama, cadangan devisa kita yang nyaris mencapai 125 miliar dollar AS kini sedang terkoreksi menjadi 123 miliar dollar AS. Masih cukup tinggi, tetapi kewaspadaan harus tetap tinggi.

Sebaiknya kita tetap fokus untuk mengejar ketertinggalan pembangunan infrastruktur. Pemerintahan Presiden Joko Widodo menganggarkan belanja infrastruktur Rp 300 triliun per tahun. Ini jumlah yang besar untuk ukuran APBN kita yang volumenya Rp 2.100 triliun. Namun, hal itu masih kurang jika kita gunakan ukuran ideal 5 persen terhadap PDB.

PDB kita saat ini di atas Rp 12.000 triliun, berarti belanja infrastruktur ideal sekitar Rp 600 triliun. Dengan kata lain, di luar belanja pemerintah, kita berharap Rp 300 triliun dari investasi swasta pada proyek-proyek infrastruktur. Harus diakui, hal ini berat direalisasikan dalam beberapa tahun ke depan.

Lalu, berapa biaya yang diperlukan untuk membangun ibu kota baru di luar Jawa? Belum ada gambaran angkanya. Namun, kita bisa mencari patokan dari Lippo Group yang kini sedang membangun kota metropolitan baru, Meikarta, di Cikarang, Jawa Barat, yang berjarak 45 kilometer dari Jakarta. Meikarta yang luasnya 2.200 hektar ini diklaim Lippo biaya pembangunannya Rp 278 triliun.

Dengan asumsi membangun kota serupa itu di Kalimantan lebih "menantang" dan mahal dibandingkan di Cikarang, ibu kota baru nanti ongkosnya setidaknya dua kali lipat atau Rp 500 triliun. Angka ini setara dengan 25 persen APBN setahun dan 4 persen PDB setahun. Ini sungguh sangat besar. Sebagai perbandingan, biaya pembangunan mass rapid transit (MRT) di Jakarta "hanya" sekitar Rp 30 triliun, bandara Kulonprogo di Yogyakarta Rp 10 triliun, Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta yang megah itu "cuma" Rp 7 triliun. Atau, jika dikonversikan untuk anggaran pemerintah untuk infrastruktur Indonesia, itu ekuivalen dengan hampir dua tahun anggaran!

Pemerintah kabarnya tidak akan membebankan biaya pembangunan ibu kota baru ini dari APBN, tetapi mengajukan skema pembiayaan oleh swasta. Ide yang fantastis. Namun, saya cukup skeptis terhadap proposal ini. Sebagai referensi, skema pembangunan kereta cepat oleh "swasta" (BUMN) Indonesia dan China berbiaya Rp 74 triliun saja terlihat gamang hingga saat ini. Tebersit keraguan besar terhadap kelayakan proyek ini karena saya belum menemukan ada proyek kereta cepat di luar negeri yang ekonomis pada jarak pendek 142 kilometer. Jadi, bagaimana mungkin kita membayangkan pembangunan ibu kota baru Rp 500 triliun, bahkan lebih, diongkosi swasta? Menurut saya, itu cukup absurd.

Fokus membangun infrastruktur

Akhirnya, segala energi kita sebaiknya difokuskan pada pembangunan infrastruktur saja, sebagaimana konsentrasi pemerintah saat ini. Pembangunan lintas Sumatera, kereta cepat skala menengah Jakarta-Surabaya, kereta api di Kalimantan dan Sulawesi, pembangunan jalan yang membongkar isolasi dan konektivitas di Papua, serta bendungan irigasi dalam jumlah banyak di pulau-pulau penghasil pangan adalah inisiatif yang sudah benar dikerjakan.

Jika proyek-proyek ini kelak berhasil, pemerataan distribusi pembangunan pun akan terwujud pula secara otomatis. Gelombang migrasi ke Jakarta (rural-urban migration) juga nantinya bisa diredam karena pusat pertumbuhan ekonomi kian menyebar di seluruh penjuru negeri, di luar Jakarta dan Jawa. Hendaknya laju pesat pembangunan infrastruktur yang kini tegah diimpit oleh tekanan fiskal ini tidak perlu terpecah konsentrasinya dengan menguras energi untuk memikirkan ibu kota baru yang berongkos mahal. Belanjakanlah energi kita yang terbatas ini secara efektif.

A TONY PRASETIANTONO

Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM serta Faculty Member Bank Indonesia Institute

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Memindahkan Ibu Kota".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger