Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 28 Juli 2017

ARTIKEL OPINI: Pemberhentian Ketua DPR (HIFDZIL ALIM)

Rapat pleno Partai Golkar memutuskan tidak menggelar musyawarah luar biasa setelah ketua umumnya ditetapkan sebagai tersangka korupsi pengadaan KTP elektronik.

Yang menarik, secara tersirat Partai Golkar menegaskan, Setya Novanto tak perlu mengundurkan diri sebagai ketua DPR. Alasannya, belum ada putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap yang dijatuhkan kepadanya.

Sebagian publik berpendapat, semestinya Setya Novanto mengundurkan diri karena tidak etis memimpin parlemen dengan status sebagai tersangka. Lagi pula, Setya Novanto memiliki pengalaman mengundurkan diri sebagai ketua DPR akibat skandal pencatutan nama Presiden Joko Widodo atau lebih dikenal dengan kasus "Papa Minta Saham". Bagaimana sebenarnya UU mengatur pemberhentian unsur pimpinan DPR?

Soal pemberhentian pimpinan DPR dapat dirunut dalam UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 87 UU No 17/2014 menentukan, pimpinan Dewan berhenti dari jabatannya karena satu dari tiga sebab. Pertama, meninggal dunia. Kedua, mengundurkan diri. Ketiga, diberhentikan. Sebab pertama dan kedua berasal dari inisiatif pimpinan bersangkutan. Sebab ketiga bermula dari inisiatif eksternal.

Hanya, ketentuan berikutnya dalam UU tidak banyak mengungkap pemberhentian karena inisiatif pribadi dari pimpinan, tetapi lebih banyak keterangan tentang sebab ketiga. Pemberhentian karena diberhentikan dipicu oleh satu dari tujuh hal.

Pertama, tidak menjalankan tugas sebagai anggota DPR tiga bulan berturut-turut tanpa keterangan. Kedua, melanggar sumpah jabatan atau kode etik berdasarkan hasil pemeriksaan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Ketiga, diputus bersalah oleh pengadilan (inkracht) karena melakukan pidana yang diancam penjara minimal lima tahun. Keempat, diusulkan partai. Kelima, keanggotaannya sebagai anggota DPR ditarik oleh partai. Keenam, melanggar larangan yang diatur di UU No 17/2014. Ketujuh, diberhentikan sebagai anggota partai berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Sepertinya ketujuh pemicu pemberhentian pimpinan DPR karena diberhentikan itu mengikutsertakan pihak lain dalam penentuannya. Misalnya, menentukan pimpinan yang suka bolos harus mengikutsertakan kesekjenan DPR. Memeriksa pelanggaran sumpah jabatan atau kode etik perlu menyelenggarakan sidang MKD. Putusan bersalah di majelis hakim harus di pengadilan. Diusulkan pemberhentian atau ditarik keanggotaannya serta diberhentikan sebagai anggota partai butuh peran partai.

Namun, ada satu pemicu yang ternyata diatur UU yang tak butuh pihak lain sebagai penentuannya, yakni melanggar larangan yang diatur dalam UU No 17/2014.Ketentuan itu diatur dalam pasal tersendiri. Pasal 236 membagi tiga jenis larangan bagi anggota DPR. Larangan rangkap jabatan, larangan melakukan pekerjaan yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, serta larangan melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Mati rasa

Berdasarkan Pasal 87 dan Pasal 236 UU No 17/2014, terdapat setidaknya dua tafsir atas pemberhentian pimpinan DPR. Pertama, jika pimpinan melanggar Pasal 87 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g, pemberhentiannya harus menunggu peran dan/atau putusan lembaga lain (misalnya, kesekjenan, MKD, pengadilan, atau partai politik). Kedua, apabila yang dilanggar adalah Pasal 87 ayat (2) huruf fjuncto Pasal 236 UU 17/2014, pemberhentian pimpinan DPR tidak membutuhkan lembaga lain.

Sayangnya, tafsir Pasal 87 ayat (2) huruf fjuncto Pasal 236 UU 17/2014 sangat sulit diterapkan karena terbentur Pasal 88 UU 17/2014 yang mengamanatkan tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan DPR agar diatur lebih lanjut dalam Peraturan DPR tentang Tata Tertib. Peraturan DPR yang dimaksud adalah Peraturan DPR No 1/2014. Dalam Pasal 40 huruf a Peraturan DPR No 1/2014 dinyatakan, "pimpinan DPR diberhentikan setelah mendapat keputusan dari MKD dan diumumkan dalam rapat paripurna DPR".

Dengan demikian, sulit meminta Setya Novanto menanggalkan jabatannya sebagai ketua DPR jika mengacu ke UU. Pasal 87, Pasal 88, dan Pasal 236 UU No 17/2014, baik secara langsung maupun tak langsung, menginginkan adanya tindakan lembaga lain terlebih dulu. Tanpa tindakan alternatif—entah keputusan partai, keputusan MKD, atau putusan pengadilan—demi hukum, Setya Novanto tidak dapat diberhentikan sebagai ketua DPR.

Kesempatan demi hukum yang dapat memaksa Setya Novanto meletakkan jabatan adalah penetapan status dia sebagai terdakwa (vide Pasal 87 ayat (5) UU 17/2014).

Fakta sulitnya UU mengakomodasi peletakan jabatan pimpinan legislatif yang menjadi tersangka korupsi harus diakui sebagai sebuah tantangan dalam membongkar korupsi. Hal itu urusan penegak hukum. Namun, sejatinya bukan di bagian ini masalahnya. Soal utamanya adalah mati rasanya harga diri pejabat.

Pada soal harga diri, jauh sekali membandingkan kondisi di negara ini dengan negara lain. Sebagai contoh, di Jepang Menteri Ekonomi Akira Amari, seorang perunding utama bisnis pemerintah, mengundurkan diri atas tuduhan suap yang diterima oleh stafnya (28/2/2016). Bayangkan, stafnya yang menerima suap, tetapi dirinya yang dengan tegas menyatakan mengambil tanggung jawab. Akari menilai dia telah lalai membina staf.

Bahkan, di Romania Wali Kota Bucharest Cristian Popescu Piedone mundur dari kursinya atas kebakaran yang terjadi di sebuah kelab malam. Jejak ini juga diikuti oleh Perdana Menteri Romania Victor Ponta (November 2015). Padahal, pengurusan kelab malam tidak masuk dalam tugas dan kewenangan wali kota, apalagi perdana menteri.

Akhirnya, ketika UU tidak menyediakan prosedur untuk pemberhentian pimpinan DPR yang terkena skandal korupsi KTP elektronik sebelum statusnya ditetapkan sebagai terdakwa, serta telah mati rasanya harga diri di sanubari pejabat, usaha yang tersedia hanyalah mendukung dan mendesak KPK supaya lekas memeriksa kasus korupsi KTP elektronik. Publik harus lebih bersabar untuk itu.

HIFDZIL ALIM,

PENELITI DI PUSAT KAJIAN ANTIKORUPSI FH UGM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul "Pemberhentian Ketua DPR".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger