Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 20 Juli 2017

ARTIKEL OPINI: Saatnya Sebar Pusat Kekuasaan (BUN YAMIN RAMTO)

Gagasan pemindahan pusat pemerintahan ke luar Pulau Jawa merupakan angin segar bagi kita dalam merealisasikan wawasan Nusantara secara lebih konkret.

Ini adalah upaya nyata untuk menyelamatkan Pulau Jawa dari beban yang teramat berat dan langkah strategis dalam upaya menciptakan pemerataan penduduk (demografi/SDM), pengelolaan sumber daya alam (SDA), serta pertumbuhan wilayah, pemerataan ekonomi, pemerataan pertumbuhan sosial budaya, dan keadilan. Juga mempertebal rasa cinta Tanah Air bagi rakyat Indonesia serta tetap berdasarkan catatan sejarah bangsa.

Selama ini, Pulau Jawa—terutama Jakarta—selain menjadi pusat pemerintahan dan kekuasaan negara, juga merupakan pusat perdagangan, pendidikan, kebudayaan, dan pariwisata. Kita semua sudah merasakan, lantaran pusat-pusat kekuasaan negara bertumpuk-tumpuk, Pulau Jawa harus menanggung begitu banyak beban, terutama urbanisasi, yang sesungguhnya sudah melampaui batas daya dukung kemampuan Pulau Jawa sendiri.

Di sisi lain, karena pemusatan kekuasaan negara bertumpuk di Jakarta, yang terletak di bagian bawah wilayah RI, maka daya dorong perkembangan (bahkan perhatian) hanya menyebar di Jawa dan sekitarnya. Karena itulah, disparitas Jawa dan luar Jawa—terutama dalam perekonomian, kesejahteraan, dan pemerataan penduduk—sampai hari ini masih jadi persoalan krusial. Begitu juga bidang pertahanan dan keamanan. Pemusatan kekuasaan negara yang berada di Jawa telah mendorong menumpuknya pusat kendali pertahanan dan keamanan di Pulau Jawa. Hingga pengendalian pengamanan seluruh wilayah RI masih menjadi persoalan yang terus-menerus harus ditingkatkan.

Dipecah secara merata

Kita bisa mengambil inspirasi dari Afrika Selatan dalam memindahkan pusat-pusat kekuasaan negara. Afsel "memecah" lokasi pusat kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) di tiga tempat/kota berbeda, yang posisinya—dengan garis khayal horizontal—nyaris berada di tengah-tengah wilayah Afsel.

Pusat eksekutif ditempatkan di kota Pretoria, sekitar 58 kilometer dari Johannesburg. Di kota inilah adanya Istana Presiden, kantor-kantor menteri/lembaga-lembaga negara, serta kantor-kantor kedutaan besar negara-negara sahabat. Pada masa lalu, kota Johannesburg pernah menjadi ibu kota Afsel, selain pusat perdagangan dan pusat lembaga internasional. Pusat legislatif ditempatkan di Cafe Town, kota pelabuhan besar yang ada di sisi barat Afsel. Sementara pusat yudikatif ditempatkan di kota Bloemfontein. Kota ini memiliki sejarah penting dalam penegakan hukum dan keadilan di Afsel. Di kota inilah dulu, saat pecah Perang Boer, pasukan Britania Raya membangun kamp konsentrasi untuk "memenjarakan" wanita dan anak-anak Boer. Sekitar 28.000 wanita dan anak-anak Boer meninggal di kamp ini. Sebagai kenang-kenangan dan peringatan akan pahitnya Perang Boer, dibangunlah Tugu Peringatan Wanita Nasional.

Langkah "memecah" pusat kekuasaan negara yang dilakukan Afsel terbukti mampu mendorong pertumbuhan wilayah, pemerataan di bidang ekonomi, keadilan, dan mempertebal kecintaan kepada Tanah Air karena di dalamnya terkandung unsur-unsur sejarah. Kita dapat mengambil inspirasi dari Afsel, dengan menyegarkan kembali cara pandang kita terhadap doktrin wawasan Nusantara. Kita sudah menyepakati, unsur-unsur statis (geografi/wilayah, demografi, dan sumber daya alam) harus dikelola sebaik-baiknya agar rakyat dapat menikmati kekayaan sumber daya alam RI secara adil dan merata. Begitu juga unsur- unsur dinamis (ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan hankam) harus dikembangkan dengan berpedoman pada prinsip-prinsip dasar—antara lain—keadilan.

Maka, tidaklah menyimpang dari wawasan Nusantara apabila pusat-pusat aktivitas kekuasaan RI dipecah secara merata di empat pulau besar (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua), pada posisi di tengah-tengah wilayah RI, sebagai representasi dari keadilan. Tengah-tengah RI terletak garis (horizontal) 4o LU-12o LS dari garis khatulistiwa serta antara 96o-140BT. Kota-kota terdekat dari tengah-tengah RI dan memiliki infrastruktur dasar yang memadai layak memperoleh kehormatan menjadi pusat kekuasaan RI.

Di manakah pusat-pusat kekuasaan negara akan ditempatkan? Saya kira, lokasi paling tepat untuk pemindahan pusat eksekutif adalah di Pulau Sumatera, yaitu di kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Secara historis, Bukittinggi pernah jadi ibu kota RI tatkala Sjafroedin Prawiranegara menerima mandat dari Presiden dan Wakil Presiden RI Soekarno-Hatta untuk menjadi ketua (setingkat presiden) Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) karena Soekarno-Hatta ditangkap Belanda dalam Agresi Militer II pada 19 Desember 1948. Bukittinggi juga pernah menjadi ibu kota Provinsi Sumatera Barat dan Sumatera Tengah serta tempat kelahiran para pendiri RI, di antaranya Mohammad Hatta dan Assaat, yang masing-masing adalah proklamator RI dan Penjabat Presiden RI (27 Desember 1949-15 Agustus 1950). Saat ini Bukittinggi telah tumbuh menjadi kota besar dengan infrastruktur yang baik dan terhindar dari kemungkinan bencana alam (banjir, gempa bumi, dan tsunami).

Sementara tempat yang tepat bagi legislatif (DPR, DPD) dan konstitutif (MPR) adalah di Kalimantan, yaitu di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Lembaga legislatif dan konstitutif ini bersifat perwakilan sehingga sangat tepat jika letaknya di tengah-tengah Kepulauan Nusantara. Secara historis pun Bung Karno pernah mengangankan Palangkaraya menjadi ibu kota RI. Sekaranglah saatnya kita mewujudkan cita-cita Bapak Bangsa Indonesia tersebut. Saat ini Palangkaraya telah tumbuh jadi kota besar dengan berbagai fasilitas modern dan sudah memiliki bandara internasional. Palangkaraya juga kini sudah terkoneksi via jalan darat ke Banjarmasin (Kalsel) setelah dibangun Jembatan Barito yang diresmikan Presiden Soeharto pada 24 April 1997.

Bagi tempat pusat yudikatif (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi), bisa di Sulawesi. Ada tersedia tiga kota yang relatif dekat dengan tengah-tengah RI, yaitu Makassar, Mamuju, dan Palu. Dari ketiganya, kota paling dekat dengan garis tengah RI adalah Mamuju. Meski tidak sepopuler kota untuk eksekutif dan legislatif, Mamuju kini telah berkembang dengan sangat baik dan sudah memiliki infrastruktur dasar yang memadai. Kota ini memadai sebagai pusat yudikatif karena "rombongan" lembaga ini tidaklah sebesar eksekutif dan legislatif. Kehadiran pusat yudikatif bisa dipastikan akan turut mendorong perkembangan kota ini lebih baik dan lebih semarak. Jarak lokasi yudikatif ini pun relatif tidak terlalu jauh dari legislatif (Palangkaraya).

Satu lagi signifikasi kekuasaan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Alangkah baiknya apabila BPK di tempatkan di bagian timur RI. Ada dua pilihan yang terbaik, yaitu Ambon (Maluku) dan Sorong (Papua Barat). Keduanya juga telah tumbuh jadi kota dengan infrastruktur dasar yang memadai. Namun, dengan pertimbangan kedekatan dengan tengah-tengah dan pemerataan pusat pemerintahan, kota Sorong lebih tepat menjadi lokasi baru BPK. Sorong pun merupakan bagian dari wilayah yang dulu bernama Irian Jaya, yang menyimpan sejarah heroik perjuangan bangsa Indonesia dalam merebutnya kembali dari genggaman penjajah Belanda.

Sementara Bank Indonesia, sebagai signifikasi kekuasaan negara di bidang moneter, sebaiknya tetap di Jakarta.

Indonesia tak cuma Jawa

Banyak keuntungan yang kita peroleh dari pemecahan dan pemindahan pusat-pusat kekuasaan negara ini. Di antaranya: (1) persebaran penduduk akan terdorong lebih merata; (2) percepatan pengurangan (atau bahkan penghilangan) disparitas Jawa dan luar Jawa; (3) percepatan peningkatan kualitas pendidikan dan intelektualitas; dan (4) mempertebal rasa cinta Tanah Air karena pusat kekuasaan tidak lagi hanya di Jakarta, tetapi juga disebarkan ke empat pulau besar RI.

Pemindahan pusat-pusat pemerintahan ke tengah-tengah empat pulau besar RI ini akan berkonsekuensi pemindahan pula pusat pertahanan keamanan. Pertahanan dan keamanan RI akan lebih kuat karena dilakukan dari tengah-tengah wilayah RI.

Bagaimana dengan Jawa? Pulau Jawa—terus ke timur hingga Nusa Tenggara Timur—hendaknya ditajamkan sebagai pusat pendidikan, kebudayaan, dan pariwisata. Selama ini, tiga peran itu sudah disandang Pulau Jawa, tetapi jadi tekanan yang berlebihan karena juga menjadi pusat (segala) kekuasaan negara. Dengan dipindahkannya pusat-pusat kekuasaan negara, tekanan atas pulau Jawa—terutama karena urbanisasi yang disebabkan faktor pekerjaan atau pindah dinas—akan berkurang dan Jawa, khususnya kota Jakarta, dapat dilestarikan dan diperindah sebagaimana contohnya kota Johannesburg di Afsel yang memiliki jumlah penduduk hampir sama dengan Jakarta.

Tentu saja pemindahan ini tidak bisa dilakukan serta-merta. Banyak fasilitas yang harus dibangun, terutama kantor-kantor dan gedung-gedung untuk kedubes negara-negara sahabat. Ini dapat dilakukan secara bertahap. Namun, yang terpenting, di atas semua itu, penyebaran pusat-pusat pemerintahan ini akan menguatkan nasionalisme dan kecintaan terhadap Tanah Air. Bahwa NKRI bukan hanya Jakarta atau Pulau Jawa. NKRI adalah milik segenap bangsa Indonesia dan itu direalisasikan secara riil.

BUN YAMIN RAMTO

ALUMNUS LEMHANNAS KRA XIV/1981; GURU BESAR KEBIJAKAN PUBLIK UNIVERSITAS PADJADJARAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Saatnya Sebar Pusat Kekuasaan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger