Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 21 Juli 2017

ARTIKEL OPINI: Setelah Sang Ketua Tersangka (MOCH NURHASIM)

Kabar itu akhirnya datang juga meski tidak pada hari Jumat keramat seperti biasanya. Komisi Pemberantasan Korupsi dengan berani menetapkan Setya Novanto alias SN, Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, sebagai tersangka kasus KTP elektronik.

Sepak terjang SN dalam dunia politik memang cukup lihai. Walaupun sejumlah kasus pernah membelitnya, SN selalu lolos. Kasus "Papa Minta Saham" bahkan tidak berpengaruh sedikit pun terhadap karier politiknya. Setelah mundur sebagai Ketua DPR, Setya Novanto justru berhasil menjadi Ketua Umum Golkar di tengah berbagai isu yang tidak sedap terhadap dirinya. Seperti yang telah disaksikan oleh publik secara luas, akhirnya SN kembali menjadi Ketua DPR setelah menggusur Ade Komaruddin yang dulu menggantikannya.

Tampaknya karier politiknya akan bernasib sama dengan para politisi yang tersandung kasus korupsi. Bagaimana dengan Golkar setelah sang ketua ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK? Banyak pihak bertanya-tanya: akankah nasib Golkar diujung tanduk, suara elektoralnya akan terjun bebas, atau sebaliknya—sebagai partai—Golkar akan tetap eksis dan tetap menjadi kekuatan politik yang disegani?

Tameng oligarki "korporasi"

Menjawab pertanyaan itu, bukanlah hal yang mudah. Referensi literasi politik sebelumnya menunjukkan bahwa sejumlah kasus korupsi yang melanda petinggi partai—seperti dalam kasus Partai Demokrat, PKS, dan PPP—beban moral dan politik yang dialami oleh partai tidaklah ringan. Secara moral, beban yang harus ditanggung oleh partai yang ketuanya terjerat kasus korupsi berdampak secara internal dan eksternal.

Dalam kasus Partai Demokrat, misalnya, Demokrat mengalami penurunan elektabilitas yang cukup signifikan dari 21 persen (Pemilu 2009) menjadi 13 persen (Pemilu 2014). Setelah Anas Urbaningrum, yang kala itu adalah Ketua Partai Demokrat, ditetapkan sebagai tersangka, Demokrat mengalami proses konsolidasi internal di tengah krisis yang mereka alami.

PPP dan PKS juga mengalami kasus yang hampir mirip. PPP dan PKS menerima imbas yang tidak ringan, di mana kedua partai itu mengalami stagnasi elektoral. PPP bahkan dilanda konflik yang berkepanjangan antara kubu Romy dan kubu Djan Faridz. Akibatnya, struktur partai mengalami pembelahan dari tingkat pusat hingga ke daerah.

Bagaimana dengan nasib Golkar?Golkar sebagai partai yang berusia tua—seperti PPP—beberapa kali lolos dari lubang jarum kehancuran. Kita masih ingat pada awal reformasi, Golkar tidak hanya dihujat, tetapi sejumlah kantornya bahkan "dibakar" oleh massa. Golkar akhirnya berubah menjadi "Golkar Baru" di bawah kepemimpinan Akbar Tandjung. Golkar selamat, bahkan menempati urutan kedua perolehan suara Pemilu 1999.

Golkar juga mengalami perpecahan internal karena sebagian tokoh-tokoh politik: kader Golkar mendirikan partai baru, seperti PKPI yang dipimpin Hartono, Hanura oleh Wiranto, dan Gerindra oleh Prabowo. Terakhir faksi Surya Paloh yang keluar dengan gerbongnya mendirikan Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Meski mengalami perpecahan dan sebagian kadernya keluar mendirikan partai baru, lagi-lagi eksistensi Golkar tetap terjaga meskipun elektabilitas elektoral Golkar terus tergerus.

Golkar juga berhasil keluar dari jebakan konflik dua kubu, antara kubu Agung Laksono dan Aburizal Bakrie. Adaptasi internal Golkar melahirkan kompromi kekuatan politik sesaat, tujuannya untuk menyelamatkan partai dengan terpilihnya SN sebagai ketua umum.

Kohesi internal Golkar menjadi salah satu faktor mengapa Golkar bisa selamat dari sejumlah prahara politik yang mengancamnya. Kohesi itu dipengaruhi oleh faktor-faktor kepentingan dalam tubuh Golkar dalam bentuk oligarki korporasi. Kohesi internal Golkar juga disebabkan oleh masih eksisnya sejumlah tokoh politik dalam menciptakan keseimbangan politik dalam tubuh Golkar. Meskipun tidak ada jaminan kehadiran tokoh-tokoh sentral Golkar, seperti Jusuf Kalla, Akbar Tandjung, dan Habibie, meredam kerusakan, pengaruh mereka tetap ada.

Oligarki, menurut International Encyclopedia of Social Sciences, sebagai bentuk pemerintahan di mana kekuasaan politik berada di tangan minoritas kecil. Oligarki berasal dari bahasa Yunani,oligarkhia (pemerintahan oleh yang sedikit), yang terdiri dari oligoi (sedikit) dan arkhein (memerintah) (Winters: 2011, 1-2). Dalam konteks Golkar era reformasi, bentuk oligarkinya lebih cocok disebut sebagai oligarki korporasi karena kekuasaan dijalankan atas basis kepentingan korporasi, akumulasi dari bergabungnya berbagai kekuatan orang dan modal untuk mengendalikan Golkar.

Tipe oligarki korporasi seperti itu berbeda dengan oligarki sultaniktik, oligarki panglima, oligarki penguasa kolektif, dan oligarki sipil, seperti disebut Jeffrey A Winters dalam bukunya tentang oligarki. Oligarki korporasi tumbuh dan berkembang dari dasar kepentingan politik yang sama, pemiliknya tersebar-sebar dari tingkat nasional hingga daerah dengan ciri oligarkinya masing-masing. Akumulasi dari sekian banyak kepentingan itu mengerucut dalam wujud konsensus politik bersama bahwa kader-kader Golkar butuh organisasi politik sebagai rumah bersama untuk melanggengkan kepentingannya masing-masing yang berbeda-beda tempat dan berbeda watak.

Kesadaran itulah yang terbentuk setelah lengsernya Soeharto sebagai patron politik Golkar yang paling utama. Pada era reformasi, tipe oligarki dalam tubuh Golkar relatif menyebar, berdasarkan ketokohan, modal, ide/gagasan, kekuasaan, dan orang-orang "kuat" di tingkat pusat dan di daerah. Tipe oligarki korporasi tercipta dalam struktur Partai Golkar, di mana kepengurusannya didasarkan pada adaptasi pelbagai kekuatan orang dan modal untuk menggerakkan partai.

Oligarki korporasi melahirkan kepentingan-kepentingan masing-masing dalam rumah besar Golkar. Mereka menyadari, tanpa rumah Golkar, karier politik dan kesempatan untuk menikmati kekuasaan bisa saja peluangnya tidak ada sama sekali. Pola itulah yang selama ini dapat menyelamatkan Golkar dari huru-hara politik yang melanda dan mengancam mereka.

Kompromi politik

Sejarah politik Indonesia masa lalu, khususnya pada era Orde Baru, memberi pelajaran literasi bahwa tokoh-tokoh politik Golkar saat ini adalah mereka yang tumbuh dari tetesan oligarki kekuasaan zaman Orde Baru. Mereka itu adalah yang memiliki kesempatan karier politik saat ini tumbuh dan besar dalam lingkungan oligarki seperti itu.

Watak dari para politisi yang lahir dari kekuasaan ialah kompromi politik demi tujuan-tujuan politik jangka panjang, melanggengkan kepentingannya di satu sisi, dan melanggengkan oligarki yang mereka bangun. Dalam tubuh Golkar pada era reformasi memang tumbuh kelompok-kelompok oligark (orang penting) yang tidak jinak. Dalam wujud kepartaian, hal itu bisa berupa faksi-faksi. Namun, faksi-faksi yang tumbuh dalam kasus Golkar selama ini, meminjam istilah Sartori, adalah bukan faksi ideologi, melainkan lebih pada faksi yang berbasis kekuasaan (faction base on their interest).

Ciri dari faksi politik demikian ialah watak kompromi politik, yang penting memperoleh keuntungan dan jatah kekuasaan. Pola itulah yang selama ini juga digunakan oleh Partai Golkar dalam menghindari konflik internal, dan menyelesaikan setiap masalah yang mengancam organisasi.

Oleh karena itu, bangunan struktur Partai Golkar yang fondasinya dikokohkan oleh oligarki korporasi akan memengaruhi arah politik Golkar setelah SN. Memang tidak tertutup kemungkinan lahirnya faksi-faksi politik yang mengusung isu integritas dan pembersihan partai.

Hanya faktor "X" yang mungkin akan mengantar Golkar setelah SN dijerat kasus korupsi dapat menimbulkan prahara politik. Faktor X itu ialah terjadinya perubahan berskala besar dalam tubuh Golkar yang berpotensi merusak bangunan struktur Golkar dan menggoyahkan atau mengancam kepentingan oligarki korporasi. Sebaliknya, apabila kepentingan korporasi dalam tubuh Golkar terkonsolidasi, Golkar tidak akan terlalu mengalami gangguan. Mengapa demikian? Karena sumber daya kepemimpinan Golkar tidak mengalami krisis seperti partai-partai lain walaupun secara kualitas bisa saja tidak ideal.

Dari pengalaman politik Golkar selama ini, kekuatan kepentingan politik yang berbasis kekuasaan pada orang dan kepentingan individu atau klan (kelompok) masih terlalu kuat untuk dilawan. Mereka akan bersatu untuk menyelamatkan partai dari kehancuran, dan secara logis dapat diterka bahwa kelompok inilah yang akan terus melanjutkan kepemimpinan SN melalui dua cara.

Cara yang pertama adalah trik kompromi politik sebagai tawaran untuk keberlangsungan partai. Solusi itu sudah terbukti pada Munas Luar Biasa Golkar di Nusa Dua, Bali, yang mengantarkan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar.

Trik berikutnya yang tidak kalah penting adalah tetap mencari "pelindung" dari kekuasaan. Cara itu secara tersirat sudah tampak terang dari sinyal para elite Golkar bahwa Golkar tetap mendukungpemerintahan Jokowi-Kalla.

MOCH NURHASIM

PENELITI PADA PUSAT PENELITIAN POLITIK-LIPI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Setelah Sang Ketua Tersangka".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger