Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 21 Juli 2017

Diaspora Indonesia//Keluhan Mahasiswa Pascasarjana//Barang Tak Sesuai (Surat Kepada Redaksi Kompas)

Diaspora Indonesia

Sebutan "diaspora Indonesia" untuk orang Indonesia yang tinggal di luar negeri, baik sementara maupun selamanya, kurang tepat. Diaspora, meski bisa dianggap sebagai kata generik, dikenal luas karena terkait dengan orang Yahudi yang diusir dari Palestina oleh penguasa Romawi pada abad ke-6 Sebelum Masehi.

Mereka pergi ke mana kaki membawanya, terlunta-lunta, tinggal dan hidup di berbagai negeri di Eropa, Afrika, dan Amerika. Dari generasi ke generasi banyak dari mereka yang berhasil dalam berbagai bidang hidup. Dengan berdirinya Israel pada 1948, banyak di antara mereka, sebagian besar dari Eropa Timur, memutuskan hijrah ke Israel, meninggalkan negeri tempat mereka telah tinggal dan hidup selama puluhan generasi. Sekarang tak lagi terdengar "diaspora" yang diasosiasikan dengan orang Yahudi.

Jadi, sebutan "diaspora" membawa asosiasi pikiran ke pengusiran, kesengsaraan (ghetto, holocaust, dan lain lain), kesintasan yang menimpa dan dialami suatu bangsa yang kebetulan homogen, baik ras maupun agamanya.

Dalam hal orang Indonesia, ketiga asosiasi pikiran tersebut dalam kadar berbeda dapat dikenakan kepada orang Indonesia yang terpaksa hidup di luar negeri akibat peristiwa politik 1965/1966. Namun, "diaspora Indonesia" macam ini barangkali tak ada lagi. Jadi sebaiknyadiaspora dalam "diaspora Indonesia" tak digunakan sebab mereka tinggal di negeri asing atas kemauan sendiri, bukan karena diusir. Barangkali "kelana Indonesia" atau "perantau Indonesia" bisa dipertimbangkan sebagai penggantinya.

Apa pun sebutannya, saya kira, menjadi harapan pemerintah dan masyarakat bahwa mereka yang tinggal di luar negeri untuk menghindari kejaran hukum tidak dikategorikan sebagai perantau Indonesia dan tidak perlu memperoleh perlindungan.

SOEGIO SOSROSOEMARTO

Jalan Kepodang I Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Banten

Keluhan Mahasiswa Pascasarjana

Saya mahasiswa pascasarjana Prodi Bahasa Indonesia Universitas Negeri Manado di Tondano. Saya telah ujian prakualifikasi pada 2010. Jadi, tinggal melaksanakan ujian komprehensif.

Masalahnya, saya sebagai penerima beasiswa disuruh membayar SPP lima semester awal secara penuh. Slip SPP itu dipegang bendahara. Setiap pencairan beasiswa (diberikan oleh asisten direktur II dan bendahara), kami dijanjikan akan diberi slipnya sebulan kemudian. Ternyata slip itu tidak diberikan sesuai dengan janji. Waktu saya mau urus slip SPP, bendahara sudah berganti. Oleh bendahara baru, saya disuruh mencari slip itu di kumpulan slip-slip di keranjang surat. Saya cuma menemukan satu.

Pada 2016, saya sampaikan masalah ini kepada Pelaksana Harian Rektor Unima Jamal Wiwoho yang adalah Irjen Kemenristekdikti. Beliau berkata, yang utama adalah pendidikan. Pembayaran bukan hal utama. Yang penting saya ujian dulu, pembayaran masalah terakhir.

Baru-baru ini saya mengurus keringanan pembayaran SPP kepada rektor. Namun, masalah saya ditangani kepala biro keuangan. Ternyata jumlah SPP yang harus saya bayar lebih besar daripada pegawai di program pascasarjana. Saya bingung. Minta keringanan malah jadi berat.

Berdasarkan catatan Kompas (4/3/2016 halaman 12), dalam rapat kerja Menristekdikti dan Komisi X DPR pada 3/3/2016 diputuskan batas akhir bagi dosen yang masih berpendidikan D-4 dan S-1 adalah akhir Desember 2017. Sebelum waktu habis, saya berharap masalah saya dapat terselesaikan. Saya mohon kiranya rektor berkenan membantu.

RICHARD TUWOLIU MANGANGUE

Pengajar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Manado di Tondano

Barang Tak Sesuai

Saya Bambang Sasongko, nomor pelanggan 616660 (tanpa konfirmasi) dari Easy Shopping. Saya mencoba beberapa kali membeli produk, tetapi tidak sesuai dengan yang saya dan keluarga bayangkan.

Kualitas barang jelek, bahkan yang dijual di pasaran jauh lebih murah. Karena itu, saya mencoba mengembalikan barang-barang yang sudah saya beli dan meminta pengembalian 100 persen atas uang yang sudah saya bayarkan.

Akan tetapi, sampai saya menulis surat ini, uang saya belum kembali. Padahal, ada janji 100 persen uang kembali. Tolong, jangan lagi mengirim brosur kepada saya.

BAMBANG SASONGKO

Lawanggede, Mertasinga Gunungjati, Cirebon, Jawa Barat

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger