Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 25 Juli 2017

Irak Pasca-NIIS (SMITH ALHADAR)

Bertepatan dengan berdirinya Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) pada 29 Juni, Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi mengumumkan berakhirnya negara palsu itu setelah pasukan Irak merebut Masjid Jami Al-Nouri di kota Mosul, kota terbesar kedua setelah Baghdad dan merupakan ibu kota de facto NIIS di Irak.

Di Masjid Jami Al-Nouri-sebagai landmarkMosul-Abu Bakar al-Baghdadi mengumumkan berdirinya NIIS tiga tahun lalu. Sayang, masjid historis berusia 850 tahun yang terkenal dengan menara miring itu telah dihancurkan NIIS pada hari-hari terakhir kekalahannya.

Kendati perang pembebasan Mosul berjalan alot, lebih dari delapan bulan dengan korban sipil, militer, dan infrastruktur cukup besar, pujian patut diberikan kepada pasukan Irak, milisi Sunni, milisi Syiah, dan milisi Kurdi (Peshmerga), yang dengan bantuan pasukan koalisi pimpinan AS bahu-membahu mengatasi kelompok militan itu.

Namun, banyak masalah menanti untuk segera diselesaikan. Al-Baghdadi bersama sisa pengikutnya diduga berada di ujung barat Provinsi Anbar, di sepanjang perbatasan Irak-Suriah. Mereka, bersama sel-sel NIIS di sejumlah kota, masih mampu melancarkan teror. Dengan sendirinya, keamanan internal dan stabilitas Irak belum akan terwujud dalam waktu dekat.

Pemerintahan Baghdad yang didominasi kaum Syiah harus mengakomodasi aspirasi politik Sunni, membasmi korupsi, menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik. Tanpa mengatasi hal-hal ini serta pembenahan salah urus pemerintahan, NIIS dan kelompok-kelompok seideologi berpotensi muncul kembali.

Hal lain, pemerintah menghadapi kenyataan, ribuan keluarga NIIS termarjinalisasi. Masyarakat telah apriori terhadap mereka. Mereka kini hidup di pengungsian dan rumah mereka jadi sasaran perusakan masyarakat. Pemerintah bertanggung jawab mengembalikan ke habitat awal dan masyarakat diajak menerima mereka. Pemerintah juga harus menyediakan tempat penampungan memadai bagi 2 juta lebih pengungsi yang tak punya apa-apa lagi setelah terperangkap perang saudara pasca-invasi AS ke Irak pada 2003.

Bubarkan milisi

Pembubaran para milisi yang jadi proxynegara-negara tetangga juga perlu. Misalnya, milisi Syiah, Hashid al-Shaabi, yang dilatih dan dikendalikan Iran, yang ikut perang pembebasan kota-kota yang diduduki NIIS. Meski berjasa, mereka juga menciptakan horor di kota-kota Sunni.

Berikut adalah milisi Sunni yang dilatih militer Turki selain milisi suku-suku Arab Sunni yang dilatih AS. Semua terlibat perang pembebasan Mosul. AS dan Inggris diharapkan dapat menggunakan pengaruh mereka untuk membujuk Peshmerga menarik diri dari Mosul.

Pekerjaan rumah lain yang harus segera ditangani adalah pemulihan infrastruktur yang rusak selama perang. Tentu saja ini tidak mudah mengingat pemerintah sangat kekurangan dana.

Tak kurang pelik adalah memosisikan kembali Irak di panggung regional dan internasional. Di tingkat regional, negara-negara Arab mendesak Irak melepaskan diri dari pengaruh Iran dan kembali ke kubu Arab. Iran juga bersekutu dengan Tentara Mahdi pimpinan ulama muda Ayatullah Muqtada as-Sadr yang berpengaruh. Perang Iran-Irak (1980-1988) yang menelan ratusan ribu korban jiwa di pihak Iran dengan biaya ratusan miliar dollar AS menciptakan trauma bagi masyarakat Iran. Secara geostrategi, Irak sangat sensitif bagi Iran. Dari negara ini, musuh dapat menyerang dari sebelah barat atau membantu suku Kurdi Iran yang kini melawan Teheran.

Naiknya Donald Trump yang meletakkan Iran sebagai musuh besar AS juga berbahaya. Dalam konteks inilah kaum mullah akan berupaya agar sikap Baghdad bersahabat terhadap Teheran.

Ditariknya Irak ke kubu Arab tak bisa dipisahkan dari dinamika politik hubungan Iran-Arab belakangan ini. Penanaman pengaruh Iran di Irak, Suriah, Lebanon, Yaman, dan Palestina melalui proxy-nya telah menciptakan antipati Arab Teluk terhadap Teheran. Puncaknya adalah pemutusan hubungan diplomatik Iran- Arab Saudi pada Januari 2016 sebagai protes Iran atas eksekusi mati ulama Syiah Arab Saudi, Syeikh Nimr Baqir al-Nimr.

Di tingkat internasional, AS mendukung posisi Arab Teluk vis a vis Iran. Mereka juga menghendaki Baghdad melepaskan diri dari pengaruh Teheran. Demikian hasil pembicaraan Menteri Pertahanan AS James Mattis dengan PM Haider al-Abadi di Baghdad. Setelah Mattis pergi, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Adel al-Jubeir melakukan misi yang sama di Baghdad.

Sayang, Abadi tidak dapat mewujudkan harapan Arab dan AS. Yang bisa dilakukan Abadi adalah menjanjikan sikap netral terhadap Iran, Arab, dan AS. Sikap ini cukup bijaksana. Dengan begitu, pemerintahan Baghdad yang menghadapi banyak persoalan dapat berdamai dengan semua kekuatan dan Abadi dapat fokus membangun Irak kembali.

Yang mengkhawatirkan ialah apabila AS dan Arab tidak dapat menerima posisi netral Irak. Belakangan ini retorika anti-Iran cukup ramai disuarakan pejabat AS dan Arab Saudi.

Dalam krisis Qatar, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir mendesak Doha memutuskan hubungan diplomatik dengan Teheran yang akan mendorong Iran memperkuat posisinya di Irak. AS di bawah Presiden Donald Trump, yang telah tiga kali menjatuhkan sanksi terkait uji coba rudal balistik Iran dan tuduhan bahwa Teheran mensponsori terorisme dunia, akan bersikap konfrontatif terhadap Iran dengan melibatkan Irak.

Kalau demikian, Irak pasca-NIIS akan menghadapi segunung persoalan internal dan masih akan terseret dalam pusaran konflik Iran Vs AS-Arab.

SMITH ALHADAR

Penasihat ISMES; Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul "Irak Pasca-NIIS".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger