Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 17 Juli 2017

Makna Teror ke Polisi (AKH MUZAKKI)

Kekhusyukan shalat Isya itu tidak berlangsung lama. Hanya hitungan detik dari usainya shalat itu, terdengar teriakan keras seseorang dari saf paling belakang. "Allahu Akbar!" begitu teriak orang itu melafalkan takbir. Sejurus kemudian, dia pun mengeluarkan pisau dan menyerang seorang anggota Brimob yang berada tepat di saf depannya seraya mengeluarkan kata umpatan.

Berhamburanlah jemaah shalat Isya di masjid itu untuk menyelamatkan diri. Kejadian itu berlangsung begitu cepat pada Jumat petang tanggal 30 Juni 2017. Ironisnya, aksi teror tersebut terjadi di Masjid Falatehan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang jaraknya hanya 100 meter dari gedung kompleks Mabes Polri (Kompas, 1/7/).

Aksi teror yang menyasar personel kepolisian memang bukanlah kasus baru. Empat hari sebelum kejadian di Masjid Falatehan itu, penyerangan juga terjadi di Polda Sumatera Utara (25/6). Seorang anggota Polri tewas karena terpapar serentetan tusukan.

Bahkan, dalam catatan Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi), tak kurang dari 41 anggota Polri meninggal akibat serangan teroris sejak 2002. Sementara 81 anggota lainnya mengalami luka berat akibat serangan hebat teroris.

Sukses menuai dendam

Pertanyaannya, mengapa polisi menjadi sasaran aksi teror kalangan teroris? Ada sejumlah argumentasi yang penting dikemukakan untuk memahami serentetan teror kepada polisi.

Pertama, aksis teror kepada polisi merupakan serangan balik oleh kalangan teroris. Konteksnya, kalangan teroris sedang melakukan aksi balas dendam atas tindakan tegas yang diambil Polri dalam menangani tindak terorisme di negeri ini sejak 2002.

Keberhasilan Polri dalam melakukan penanganan atas tindak kejahatan terorisme memang jadi catatan besar dalam sejarah antiterorisme, baik domestik Indonesia maupun global. Diawali keberhasilan Polri dalam penanganan terhadap pelaku aksi Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan ratusan orang, cerita sukses Polri kemudian diikuti keberhasilan serupa dalam menangani aksi Bom Bali II pada 1 Oktober 2005 di tiga tempat: satu di Kuta dan dua di Jimbaran, yang menewaskan 23 orang dan melukai 196 lainnya. Cerita keberhasilan Polri dalam menyelesaikan aksi terorisme terus berlanjut hingga pada 10 Desember 2016 berhasil menggagalkan rencana peledakan bom di Istana Negara oleh Nur Solihin, Agus Supriyandi, dan Dian Yulia Novi.

Serangkaian cerita sukses Polri inilah yang menimbulkan dendam luar biasa di kalangan teroris kepada Polri. Apalagi, dendam yang mendalam ini beriringan dengan semakin diperkuatnya konsep jihad fardi (jihad individual) oleh mentor dan ideolog mereka. Jihad jenis ini dianggap alternatif penting karena jihadjama'i (jihad kolektif) dipandang memiliki keterbatasan akibat mekanisme keamanan yang semakin ketat oleh aparat Polri yang dibantu TNI. Maka, muncullah serangan individual oleh individu teroris ke personel Polri, seperti aksi penusukan di Masjid Falatehan, Kebayoran Baru.

Basis keyakinan

Kedua, serentetan aksi serangan teror kepada anggota Polri ini membuktikan bahwa terorisme tidak bisa dilawan hanya dengan pendekatan keamanan. Beririsan dengan pendekatan keamanan adalah tindakan hukum. Pendekatan keamanan yang disempurnakan dengan tindakan hukum memang sudah benar karena terorisme adalah bentuk kejahatan.

Akan tetapi, penting dicatat, terorisme terbangun di atas sebuah ideologi dan atau keyakinan dasar (faith). Tidak di atas kepentingan sesaat yang bersifat jangka pendek. Memang, mungkin saja ada kepentingan material, tetapi semua itu diderek oleh keyakinan dasar dimaksud.

Inilah yang membedakan terorisme dengan bentuk kejahatan lain, termasuk narkoba dan perampokan yang diikuti dengan unsur pemberatan. Ini pulalah yang menyebabkan terorisme disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Level luar biasanya bukan hanya kepada korban yang ditimbulkan yang cenderung masif, melainkan juga karakter pendorong kejahatan itu yang sangat khas dengan melibatkan ideologi dan atau keyakinan dasar sebagai basis aksi kejahatannya.

Salah satu doktrin penting dalam struktur ideologi dan atau keyakinan dasar dimaksud adalah konsep takfir(mengafirkan yang lain/yang berbeda). Dalam keyakinan itu, mereka yang tidak mendasarkan kebijakan pada apa yang mereka sebut sebagai hukum Allah disebut kafir. Konsekuensi dari takfir ini, mereka dalam kategori dimaksud dinyatakan halal darahnya, dan karena itu harus diperangi.

Apalagi, mereka menyempurnakan konsep takfir itu dengan konsep thaghut, di mana mereka memaknai thaghutdengan setan atau berhala, atau sesembahan sesat. Mereka memegangi secara kuat tafsir yang mereka kembangkan secara harfiah terhadap Al Quran Surat Al-Nisa (4) Ayat 76. Terjemahan ayat itu lebih kurang begini: "Dan, orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah; Dan, orang-orang kafir berperang di jalan thaghut;maka perangilah wali-wali setan itu."

Nah, bagi mereka, Polri adalah jelmaanthaghut itu. Karena, dalam pandangan mereka, Polri sebagai pemegang kuasa keamanan sosial alih-alih mendukung jihad versi mereka justru memerangi para pejuang jihad. Bahkan, Polri menangkapi hingga membunuh dan menewaskan mereka. Karena itu, mereka menganggap anggota Polri kafir. Maka, label berikutnya yang mereka kenakan kepada anggota Polri adalah thaghutyang halal dibunuh.

Basis keyakinan yang demikian ini tecermin kuat pada kasus penusukan anggota Brimob seusai melaksanakan shalat Isya di Masjid Falatehan, Kebayoran Baru. Seperti dilaporkan luas sejumlah media, seusai meneriakkan takbir, pelaku teror melalui aksi penusukan terhadap anggota Brimob di atas menyebut anggota Brimob sebagai kafir. Lalu, penusukan pun dilakukan setelah teriakan takbir dan penyebutan kafir dimaksud.

Opsi pengganti

Ketiga, pelaku aksi teror kepada anggota Polri berada dalam provokasi dan indoktrinasi yang hebat oleh mentor dan ideolog mereka. Provokasi dan indoktrinasi dimaksud diwujudkan melalui pesan singkat, sederhana, tetapi efektif. Salah satunya, termasuk yang belakangan juga dilakukan oleh pentolan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) Indonesia, Bahrun Naim, berisi begini: "Jika pintu hijrah tertutup, maka jihadlah di tempat Anda berada." Jika untuk pergi ke wilayah konflik, seperti Irak dan Suriah, tidak memungkinkan, melakukan tindak terorisme di daerah masing-masing di Indonesia adalah opsi pengganti.

Opsi pengganti itu sangat bersifat lokal dan kontekstual, bergantung pada perkembangan dan dinamika daerah masing-masing. Ketika yang mungkin mereka serang pada lokasi dan keberadaan yang paling dekat adalah personel Polri, maka di sinilah letak argumentasi mengapa anggota Polri menjadi sasaran balas dendam melalui serangan teror fisik oleh kalangan teroris.

Serangan kepada anggota Polri, dalam pandangan kalangan teroris, semakin memungkinkan dilakukan saat konsentrasi aparat Polri secara khusus dan publik secara umum pada ancaman terorisme terpecah oleh urusan lainnya. Lebaran Idul Fitri salah satunya, yang menuntut energi besar pihak keamanan.

Saat penekanan konsentrasi itu terbelah, energi pengamanan terhadap potensi serangan teror kelompok teroris pun terpecah. Di titik inilah teror kepada anggota Polri memastikan jalannya untuk terjadi. Para pelaku akan memilih kesempatan itu sebagai momentum penting untuk melakukan aksi balas dendam melalui serangan teror balik.

AKH MUZAKKI

Guru Besar serta Dekan FISIP dan FEBI UIN Sunan Ampel

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Makna Teror ke Polisi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger