Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 14 Juli 2017

TAJUK RENCANA: Tetaplah di Jalur Konstitusi (Kompas)

Langkah Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang merevisi UU Ormas telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

Substansi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2/2017 itu mempermudah pemerintah memberikan sanksi administrasi terhadap ormas yang dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Sanksi administrasi itu berupa pencabutan surat keterangan terdaftar dan pencabutan status badan hukum didahului dengan peringatan tertulis.

Kebebasan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran dijamin oleh konstitusi. Namun, Pasal 28 UUD 1945 menyatakan, kebebasan berserikat dan berkumpul itu ditetapkan dengan undang-undang. Undang-undang akan mengatur kebebasan berserikat itu sesuai dengan kesepakatan pemerintah dan DPR.

Dalam negara demokrasi, perbedaan pendapat biasa. Jumlah ormas terdaftar sebanyak 344.039, yang beraktivitas di Indonesia. Di antara ormas itu, menurut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, ada ormas yang melakukan aktivitas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Bahkan, mulai terdengar suara untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain.

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama mendukung penerbitan perppu tersebut. Ketua PB NU Robikin Emhas melihat langkah pemerintah sudah tepat, konstitusional, dan aspiratif. Pandangan berbeda disampaikan Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang mengatakan perppu diktator itu harus ditolak. Sementara Sekjen Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani mendukung penerbitan Perppu No 2/2017.

Perbedaan pandangan itu akan dibawa melalui mekanisme konstitusional. Setelah Perppu No 2/2017 diundangkan, pemerintah bisa mengambil langkah terhadap ormas yang ditengarai bertentangan dengan Pancasila atau bertentangan dengan UU Ormas. Langkah cepat pemerintah akan memberikan sinyal positif bahwa perppu yang diterbitkan dalam "kegentingan memaksa" itu efektif.

Berbarengan dengan itu, pemerintah harus segera mengirimkan Perppu No 2/2017 ke DPR. DPR akan bersikap menerima atau menolak perppu. Jika DPR menerima, Perppu No 2/2017 itu akan menjadi undang-undang. Jika DPR menolak, perppu itu akan menjadi batal. Biarlah DPR mengkaji apakah aspek "kegentingan memaksa" terpenuhi atau tidak. Tafsir "kegentingan memaksa" adalah tafsir subyektif pemerintah yang akan diuji DPR. Perppu itu juga bisa diuji di Mahkamah Konstitusi. Itulah mekanisme konstitusional yang disediakan konstitusi.

Bukan kali ini saja perppu diterbitkan. Presiden sudah pernah menerbitkan perppu karena penerbitan perppu merupakan kewenangan konstitusional presiden. Terakhir, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu No 1/2017 tentang Informasi Perpajakan, yang belum dibahas DPR.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Tetaplah di Jalur Konstitusi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger