Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 15 Agustus 2017

Agama yang Melindungi (A HELMY FAISHAL ZAINI)

Kembali kita harus menarik napas panjang. Kali ini bukan main-main, kekejian dan kebiadaban dipertontonkan dengan sangat nyata. Seseorang yang diduga mencuri amplifier mushala di Babelan, Bekasi, dibakar hidup-hidup oleh sekelompok orang. Ironis sekaligus menyedihkan.

Tindakan sewenang-wenang terhadap MA, korban yang diduga mencuriamplifier tersebut, merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan ditinjau dari segi apa pun. Sebagai negara hukum, selain kita diharuskan untuk menganut asas equality before the law, kita juga terlarang untuk berbuat semena-mena dan main hakim sendiri.

Tindakan pembakaran hidup-hidup tersebut pantas mendapatkan kecaman keras. Apa pun alasannya, tindakan tersebut tidak saja mencederai hukum, tetapi juga melukai kemanusiaan. Hanya masyarakat yang "sakit" yang tega melakukan tindakan yang luar biasa biadab sekaligus tidak berperadaban tersebut.

Soal hukum-menghukum ini, Abdul Qadir Audah (1998) dalam bukunya At-Tasyri' Al-Jina'i Al-Islamy mengatakan, agama memang mengajarkan ketika hendak menghukum aspek yang harus dipertimbangkan, salah satunya adalah agar menumbuhkan efek jera. Tujuan diadakannya hukuman adalah sebagai salah satu upaya membuat si pelaku menyesal dan tidak akan mengulangi perbuatannya. Namun, hal itu bukan berarti penumbuhan efek jera tersebut harus menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan. Tindakan membakar hidup-hidup jelas menyalahi ajaran agama dan melukai nurani kemanusiaan.

Pertanyaannya, apa gerangan yang menyebabkan masyarakat kita sedemikian brutal dan agresif? Mengapa belakangan masyarakat kita mudah tersulut emosi sehingga gegabah dalam melakukan tindakan-tindakan yang tidak dibenarkan? Jika mendapati pihak yang bersalah, mula-mula yang kita lakukan bukan meluruskan dan memperingatkannya, melainkan malah sebaliknya: menyalahkan dan bahkan menghukumnya. Inilah potret kebanyakan kita.

Persoalannya menjadi kian rumit ketika sebagian massa mencoba menghubung-hubungkan tindakan amuk tersebut dengan semangat "revivalisme" agama. Isu pun bergeser dari sekadar kasus pencurian yang sifatnya horizontal, jadi kasus "penistaan" rumah Tuhan (mushala) yang sifatnya vertikal. Di sinilah keadaan menjadi sangat runyam.

Wabah beragama

Ada istilah menarik yang dilontarkan oleh pengamat budaya Jean Coeteu (2017). Dalam sebuah esainya, Coeteu menengarai, belakangan muncul sebuah patologi sosial yang diistilahkan sebagaidelirium religiousum. Wabah ini cukup akut. Cirinya-meminjam bahasa Coetue-seperti ini: mereka dihinggapi delusi obsesif-kompulsif karena merasa dirinya menjadi religius, terus ingin semakin religius, dan oleh karena itu siap merangkul tanda identiter apa pun yang dianggapnya terkait dengan anutan tertentu.

Pola beragama jadi sedemikian banal dan kasar. Hanya berhenti sebatas simbol-simbol semata. Gairah beragama diartikan lebih sebagai memperbanyak ritus individual dengan mengesampingkan atau bahkan mengabaikan ritus sosial sama sekali. Inilah pangkal persoalannya. Agama dalam posisi seperti ini dijelmakan menjadi institusi yang berwajah demonik yang cenderung antiliyan.

Dalam masyarakat seperti ini, akal sehat seolah tak berfungsi. Sekali tersulut provokasi, psikologi massa langsung larut dalam euforia yang ilusif-destruktif.

Kejadian yang dilakukan sekelompok orang dan menimpa MA, dalam hemat saya, merupakan tindakan persekusi paling nyata dan paling mengerikan yang pernah ada. Saya menengarai ada yang hilang dari nurani kita. Ada yang hilang dari rasa kemanusiaan kita sehingga tega membakar manusia hidup-hidup.

Masyarakat kita hari ini barangkali persis dengan apa yang dikatakan WS Rendra (1997) dalam sebuah sajaknya, yakni masyarakat yang tak ubahnya rumput kering yang memiliki watak sangat mudah terbakar. Tidak perlu menunggu peristiwa besar, emosi bisa meletup kapan saja dengan skala pemantik yang kecil sekalipun. Kondisi ini sangat berbahaya bagi kita semua.

Agama jadi pelindung

Kita harus merenung lebih dalam lagi. Perdamaian, kebebasan, dan juga toleransi adalah prinsip utama dalam menjalankan kehidupan, di samping tentu saja prinsip MaqÃsid Syariah yang terdiri dari hifdud din (menjaga agama),hifdzul aql (menjaga akal), hifdzul nasl(menjaga keturunan), hifdu nafs(menjaga jiwa), dan hifdul mÃl (menjaga harta).

Kelima prinsip tersebut merupakan prinsip utama yang harus ditegakkan di mana pun bumi dipijak. Salah satu unsur utama dan yang paling penting pada proses pensyariatan agama adalah bagaimana melestarikan dan juga melindungi jiwa manusia (hifdun nafs). Agama harus hadir sebagai lentera penerang di satu sisi dan juga benteng yang melindungi hak dan kewajiban di sisi yang lain. Bukan sebaliknya: kita melindungi agama, sebagaimana yang acap keliru dipahami oleh sebagai kelompok masyarakat, dengan gerakan yang dinamakan sebagai pembela agama.

Agama hadir untuk melindungi umat manusia. Agama diturunkan dan disyariatkan sebagai aturan yang emansipatif terhadap umatnya. Jika tidak demikian, agama kehilangan roh dan fungsi utamanya. Atau paling tidak agama disalahpamani oleh pemeluknya. Alih-alih dijadikan sebagai alat pelindung, malah sebaliknya dijadikan sebagai pedoman untuk menyerang, menghakimi, atau bahkan memperkusi pihak-pihak yang dianggap bersalah. Inilah yang terjadi pada kasus MA.

Menghadapi hal semacam ini, langkah yang harus kita tempuh salah satunya adalah dengan mengembalikan wajah agama kepada wajah-meminjam istilah Paul Tillich-the holy atau kesuciannya. Yakni, agama yang sifatnya eksoterik, yang letaknya jauh ada di kedalaman hati dan ketenangan batin. Agama yang demikian ini senyatanya akan membawa pemeluknya menjadi pribadi yang tenang dan santun serta tidak tergopoh-gopoh, latah, dan rekasioner terhadap kesalahan, kekeliruan, dan perilaku yang berbeda dengan dirinya.

Sebaliknya, semangat eksoterisme beragama yang cenderung dangkal dan kasat itu harus kita eliminir. Eksoterisme beragama bukan berarti tidak penting. Pada tataran tertentu memang diperlukan simbol-simbol dalam beragama, tetapi dalam konteks kehidupan bermasyarakat yang majemuk dan bineka seperti Indonesia, agama yang bersifat eksoterik dan simbolik itu hendaknya kita persempit cakupannya.

Puncak dari keberagamaan seseorang, meminjam Gus Dur, adalah penghargaan terhadap rasa kemanusiaan. Jika penghargaan terhadap rasa kemanusiaan di masyarakat sangat rendah, bisa dipastikan agama hanya berhenti pada dimensi eksoterik yang sifatnya simbolik dan kerap berupa slogan semata.

Barangkali itulah yang sedang terjadi dan melanda cara beragama kita. Indikasi paling kasat adalah sebagaimana dilakukan oleh sekelompok orang yang tega membakar hidup-hidup saudaranya sendiri. Kita patut dan harus menundukkan kepala di negeri ini betapa harga kemanusiaan ternyata sangat murah, bahkan lebih murah daripada harga amplifier.

A HELMY FAISHAL ZAINI

SEKRETARIS JENDERAL PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Agama yang Melindungi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger