Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 08 Agustus 2017

ANALISI POLITIK J KRISTIADI: Berhenti Mengeksploitasi Desa (Kompas)

Skandal korupsi dana desa merupakan akibat dari pelestarian eksploitasi desa oleh para penguasa sejak zaman prakolonial, kolonial, prakemerdekaan, sampai zaman normal (kemerdekaan). Eksistensi, peranan, dan status desa sekadar obyek permainan dari struktur kekuasaan negara yang amat besar. Sejarawan, antara lain Hans Antlov dan Sven Cederroth (1996), Denys Lombard (1996), serta Frans Husken (1998), menegaskan, penguasa sepanjang zaman menindas rakyat desa, mengeksploitasi lewat kebijakan monetasi dengan melakukan penetrasi kapital di perdesaan, serta memasung rakyat desa dengan kesewenang-wenangan struktur kekuasaan otoritarian.

Bahkan, dalam tertib politik yang manteranya rakyat, adalah pemegang kedaulatan, demokrasi, nasib desa tidak beringsut dari posisi yang harus siap diperkosa oleh nafsu para pembiak politik kekuasaan (Cherian George, Hate Spin, 2016). Demikian pula pada masa Reformasi, kedaulatan rakyat semakin redup karena dalil-dalil yang mengagungkan rakyat sebagai pemegang supremasi kekuasaan telah dilibas para pembiak kekuasaan, kebebasan dan kesetaraan dipelintir oleh nafsu kuasa dan kapital. Imbas perilaku para pembiak kekuasaan merayap pula dalam menyusun regulasi tentang desa.

Pertarungan elite politik mulai memanas sejak muncul gagasan beberapa tahun menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2014. Retorika elite adalah meningkatkan kualitas pembangunan desa dengan menjanjikan Rp 1 miliar pada setiap desa. Elite politik bertarung berebut pengakuan, bahwa dirinyalah pemrakarsa otentik gagasan mulia itu. Pertarungan kepentingan politik kekuasaan mengakibatkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dipersepsikan identik dengan bantuan Rp 1 miliar ke setiap desa.

Kalkulasi politik para pembiak kekuasaan sangat sederhana. Desa yang jumlahnya lebih dari 75.000 dan tersebar di seluruh pelosok Nusantara merupakan basis konstituensi yang amat besar kontribusinya dalam pemilu. Akibat paling tragis, desa semakin kehilangan karakter otentiknya sebagai paguyuban (gemeinschaft); kelompok sosial yang memiliki ikatan batin yang murni, bersifat informal, alami, dan merawat kelestarian. Karakter desa semakin berciri patembayan (gesellschaft); kelompok sosial yang memiliki ikatan lahir jangka pendek, formal, orientasi ekonomi, sesaat, kalkulasi pragmatis, dan utilitarian.

Memberikan dana desa, tetapi mengabaikan karakter desa mengakibatkan desa semakin kecanduan bantuan dan memperlemah desa itu sendiri. Pengalaman masa Orde Baru dengan skema dana bantuan pembangunan desa (Inpres Bandes) dan sejenisnya lebih kurang selama 30 tahun disertai kontrol ketat penguasa mengakibatkan desa tidak leluasa menentukan penggunaan dana desa. Hasilnya dapat dikatakan sia-sia karena tidak mengangkat martabat, kesejahteraan, dan memperkukuh kemandirian desa. Hal tersebut juga berseberangan dengan pengakuan atas otonomi asli sebagai komunitas yang memiliki hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat (self governing community).

Ancaman megaskandal korupsi dana desa akan semakin memorakporandakan masyarakat desa karena UU No 6/2014 tentang Desa dijabarkan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 11 Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) serta Perpres Nomor 12 Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Berdasarkan perpres tersebut, desa dikelola oleh dua kementerian itu.

Kemendagri mengelola urusan pemerintahan desa, sementara Kementerian Desa menangani urusan pembangunan serta pemberdayaan. Sebenarnya pengelolaan desa oleh dua kementerian tidak menjadi persoalan kalau kebijakan itu tidak diintervensi kepentingan politik kekuasaan. Namun, karena sejak awal regulasi tentang desa sudah terkontaminasi dengan transaksi politik, pelaksanaan undang-undang tersebut bias dari niat politik yang mulia.

Bagi para elite politik, desa ibarat gadis yang molek dan ranum yang harus diperebutkan. Jumlah desa sekitar 75.000 dengan segala perangkatnya merupakan mesin politik yang sangat ampuh. Kebijakan pemerintahan yang menggeser desa dari paguyuban menjadi patembayan mengakibatkan desa sebagai medan pertarungan politik paling dekat antara masyarakat dan pemegang kekuasaan. Pada titik ini megaskandal sulit dikendalikan.

Ke depan, paradigma pengaturan mengenai desa harus memberikan dasar menuju kemandirian. Artinya, memberikan landasan yang kuat menuju terbangunnya suatu komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Rute pengelolaan diawali dengan pembentukan Kementerian Desa yang mempunyai otoritas pemberdayaan masyarakat desa sebagai basis ideologi dan demokrasi serta pembangunan desa. Oleh sebab itu, Presiden harus cermat memilih menteri desa karena berkaitan dengan ideologi bangsa dan negara, Pancasila. Ia harus mempunyai kompetensi menanamkan nilai-nilai Pancasila sesuai dengan budaya desa yang amat beragam.

Terobosan yang dapat dilakukan adalah merevisi Perpres No 11/2015 tentang Kementerian Dalam Negeri dan Perpres No 12/2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Orientasinya, pengelolaan desa ke depan diawali dengan pembentukan Kementerian Desa yang mempunyai otoritas pemberdayaan masyarakat sebagai basis ideologi dan demokrasi serta pembangunan desa. Desa harus dibebaskan dari pertarungan politik kepentingan para pembiak kekuasaan. Berhentilah "memerkosa" desa sekarang juga!

J KRISTIADI, PENELITI SENIOR CSIS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Agustus 2017, di halaman 17 dengan judul "Berhenti Mengeksploitasi Desa".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger