Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 09 Agustus 2017

ARTIKEL OPIN: Jenderal TNI dan Undangan Capres/Cawapres (IKHSAN YOSARIE)

Nama Panglima TNI Gatot Nurmantyo masuk bursa bakal calon wakil presiden untuk Pemilu 2019. Bahkan, diisukan juga menjadi calon RI 1. Nama Gatot Nurmantyo telah masuk radar beberapa partai politik untuk diusung pada Pemilu 2019.

Jika ditelisik ke belakang, fenomena ini bukan hal baru. Petinggi-petinggi TNI, terutama panglima TNI, memang memiliki modal untuk maju jadi capres atau cawapres. Misalnya, Endriartono Sutarto dan Djoko Suyanto pada masa lalu. Mereka adalah jenderal TNI (purn) dan mantan panglima TNI yang ikut meramaikan gelaran Pemilu 2014 dengan mendaftar sebagai peserta konvensi calon presiden dari Partai Demokrat.

Tokoh-tokoh militer lain, seperti Wiranto, Prabowo, dan Susilo Bambang Yudhoyono, sudah jadi preseden baik transformasi dari militer ke sipil. Setelah pensiun dari dunia militer, kesuksesan karier mereka berlanjut ke dunia politik praktis. Bahkan, ketiganya juga telah membangun salah satu basis kekuatan politik, yaitu partai politik. Ketiganya juga menjadi ketua umum dari masing-masing partai yang mereka bangun, kecuali Hanura yang kini di nakhodai Oesman Sapta Odang alias OSO.

Dari enam jenderal tersebut, bisa kita lihat bahwa semakin tinggi karier militernya, godaan berpolitik praktis semakin kuat. Namun, kita masih bisa bernapas lega karena UU No 34/2004 tentang TNI melarang prajurit aktif terlibat politik praktis.

Dalam hal ini, sudah tepat kiranya jika Gatot Nurmantyo dengan tegas menolak membahas mengenai isu tersebut. Jika di layani, waktu Gatot Nurmantyo akan habis hanya untuk mengklarifikasi isu yang beredar tersebut, yang tidak relevan dengan tugas dan kewajibannya sebagai panglima TNI.

Selain itu, pertimbangan utamanya, Gatot Nurmantyo masih prajurit aktif yang menjabat panglima TNI. Sebagai panglima, ia harus menjadi contoh bagi anak buahnya sebagai prajurit profesional yang tidak terlibat politik praktis selama aktif di dinas kemiliteran.

Pertimbangan berikutnya adalah situasi politik yang belum stabil. Mulai dari isu suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA), terorisme, hingga hal-hal lain yang mengganggu keamanan nasional semakin sering terjadi. Pada kondisi ini, TNI sebagai alat negara harus berada pada posisi yang stand by, siap siaga, karena sewaktu-waktu negara akan membutuhkan. Posisi Gatot Nurmantyo pun demikian, sebagai panglima TNI ia dibutuhkan sebagai pilar penopang kekokohan TNI. Mengingat posisi TNI sebagai perekat kemajemukan, yaitu merepresentasikan penamaan "nasional" pada nama TNI-nya, TNI berada di atas semua golongan dan sebagai komponen utama pertahanan negara.

Ancam profesionalitas

Keterbatasan hak politik tidak jadi hambatan bagi perwira TNI untuk memahami politik nasional. Larangan untuk berpolitik praktis pun juga tidak lantas membuat TNI apatis terhadap politik. TNI harus melek terhadap politik agar mampu membaca peta politik dan dapat menganalisis sampai ke arah indikasi instabilitas nasional yang diakibatkan kekacauan politik. Stabilitas nasional menjadi poin utamanya karena politik TNI adalah politik negara.

Namun, setelah reformasi ini godaan untuk berpolitik praktis memang harus ditangkal bagi setiap prajurit militer selama mereka masih aktif dalam kedinasan militer. Komitmen sebagai alat negara dan prajurit militer yang profesional harus dikedepankan. Kalaupun ingin terlibat politik praktis, setiap prajurit harus pensiun dari dinas kemiliteran.

Penguasaan terhadap organisasi militer memang menjadi target banyak kelompok atau golongan politik praktis, terutama di dunia ketiga. Hal ini guna memperbesar legitimasi kekuasaan politik. Dalam hal ini, relasi yang tercipta antara sipil-militer adalah subjective civilian control, yaitu ketika sipil berupaya menguasai militer untuk kepentingan kelompok mereka.

Organisasi militer terlalu mubazir jika dilewatkan oleh penguasa. Meskipun alat negara, dan tidak berpolitik, militer sangat berguna untuk meneguhkan kekuasaan politik setiap penguasa.

Sebagai rantai komando tertinggi, panglima TNI memiliki pengaruh kuat dalam institusinya. Dengan pengaruhnya yang kuat tersebut, sudah selayaknya jika panglima TNI memiliki integritas. Ketika panglima TNI dekat dengan politik praktis atau dekat dengan salah satu partai politik, profesionalitasnya akan terancam. Mengapa? Sebab, besar kemungkinan panglima TNI memiliki utang politik.

Kemungkinan penyebabnya ada dua. Pertama, partai politik tersebut memiliki peran dalam pengangkatan panglima TNI meskipun hal tersebut merupakan hak prerogatif presiden. Kedua, terkait implikasinya, yaitu balas budinya. Panglima TNI melalui penguasaan fungsi teritorialnya akan menjadi "bekingan" usaha elite-elite partai politik. Hal-hal seperti ini tentu sangat merusak profesionalitas TNI. Godaan politik praktis memang kuat, terutama untuk mereka yang memiliki jabatan.

Pertaruhan integritas

Persoalan ancaman profesionalitas tidak berhenti di sana. Selain campur tangan sipil dalam birokrasi militer dan "bekingan" usaha, hal lain yang tidak kalah penting adalah integritas dan profesional prajurit militer mengingat yang menjadi bakal calon wakil presiden adalah panglimanya sendiri. Pergerakan secara diam-diam akan mungkin terjadi. Suara-suara dari keluarga militer akan dialirkan.

Dalam konteks demikian, baik secara langsung maupun tidak, prajurit TNI justru telah bertindak sebagai tim sukses. Sebab, mereka sudah terlibat dan berupaya memenangkan salah satu calon.

Infiltrasi kepentingan politik calon lain bukan tidak mungkin terjadi. Calon lain di sini bukan dari kalangan militer, tetapi ia memanfaatkan pergerakan politik di institusi TNI. Calon ini bisa menjalin komunikasi yang baik dengan perwira lain dengan simbiosis mutualisme. Dan, imbasnya adalah keterbelahan internal TNI lantaran tiap-tiap perwira memiliki pilihan politiknya. Dan, setiap perwira akan berupaya mengumpulkan massa.

Kondisi demikian menjadi tidak sehat untuk menjaga fokus TNI. Dengan demikian, sudah tepat posisi yang di ambil Panglima TNI Gatot Nurmantyo untuk fokus terhadap posisinya kini dan tidak perlu memikirkan isu-isu politik praktis tersebut. Tugas jauh lebih penting.

IKHSAN YOSARIE, PENELITI LABORATORIUM ILMU POLITIK UNIVERSITAS ANDALAS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Jenderal TNI dan Undangan Capres/Cawapres".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger