Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 08 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: ASEAN untuk Siapa (DIAN WIRENGJURIT)

Dalam usia 50 tahun, selain capaiannya, keberadaan ASEAN masih menyisakan berbagai pertanyaan yang mendasar yang belum atau mungkin tidak akan pernah terjawab. Pertanyaan itu di antaranya seperti judul tulisan ini: ASEAN untuk siapa?

Dengan sekitar 1.000 sidang per tahun, ASEAN—yang dibentuk melalui Deklarasi Bangkok— merupakan salah satu organisasi internasional yang paling sibuk. Sebagai organisasi regional yang memiliki multitujuan (poleksosbudkam) memang wajar kalau semua anggotanya—bahkan negara besar dan organisasi internasional lain—berharap banyak dari asosiasi ini. Apalagi dengan Visi 2020-nya: One Vision, One Identity, One Community.

ASEAN memang berhasil menjungkirbalikkan konotasi zone of conflict menjadi zona stabilitas meskipun belum mencapai zona damai seperti dicanangkan dalam Deklarasi Kuala Lumpur 1971. ASEAN juga makin matang dengan kemampuannya menyelesaikan berbagai konflik utama secara damai, seperti kasus Kuil Preah Vihear, Pulau Sipadan-Ligitan, dan Pulau Pedra Branca, melalui mekanisme bilateral, regional, hingga internasional. Kerja sama antar-berbagai kelompok profesi pun sudah terbentuk.

Gagasan satu visa

Namun, sulit disangkal bahwa ASEAN berusaha mengadaptasi Uni Eropa (UE), meskipun memiliki keunikan (baca: keberagaman) yang tidak dimiliki oleh Eropa Barat, seperti sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya (poleksosbud) yang berbeda.

Organisasi Eropa Barat ini, yang dimulai dengan pembentukan European Coal and Steel Community(1951), setelah 40 tahun menjadi UE melalui Maastricht Treaty, 7 Februari 1992. Kini setelah 50 tahun, UE menjadi organisasi regional terkuat dan berpengaruh di dunia.

Buat masyarakat di negara-negara Eropa Barat, UE jelas dirasakan eksistensi dan manfaatnya. Di negara-negara UE, ketika memasuki suatu distrik, termasuk yang di pelosok, akanditemui tanda/plang berwarna biru dengan lingkaran 12 bintang emas, yang merupakan logo organisasi itu. Bebasnya pergerakan bagi warga UE, termasuk untuk bekerja, juga dimudahkan dengan adanya mekanisme satu visa.

Di ASEAN, sampai saat ini pengaturan bebas visa hanya dinikmati pejabat kementerian/ lembaga, sedangkan bagi masyarakatmasih beragam dan cenderung "diskriminatif". Padahal gagasan model visa tunggal UEdi ASEAN telah muncul pada 2005, melalui inisiatif Five Countries, One Destination" (Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam dan Myanmar).

Proyek percontohannya dimulai pada 2007 antara Thailand dan Kamboja. Sementara itu, gagasan satu visa berdasarkan The ASEAN Tourism Strategic Plan 2016-2025, hingga kini masih saja sekadar work in progress.

Selain itu, Visi ASEAN 2020 yang disepakati para pemimpin ASEAN pada peringatan 30 tahun organisasi ini di Kuala Lumpur 1997, yang menargetkan Asia Tenggara jadi kawasan yang damai, stabil, dan sejahtera, tampaknya masih "jauh panggang dari api". Konflik bersenjata domestik yang masih berkecamuk di sebagian anggota ASEAN, seperti Myanmar (Rohingya), Malaysia (Sabah), Thailand (Patani), Filipina (Mindanau), dan Indonesia (Papua), mempersulit upaya pencapaian kesejahteraan di kawasan ini.

Lalu bagaimana makna ASEAN bagi masyarakat umum Indonesia? Dalam era globalisasi dan pertumbuhan ekonomi yang stabil dewasa ini, sudah menjadi hal yang biasa kalau sebagian warga Indonesia kini pernah berkunjungke negara ASEAN.

Namun, mungkin bisa dipertanyakan, apakah kepergian mereka itu dilakukan secara "sadar" ke ASEAN atau hanya berkunjung ke Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam dalam rangka wisata? Yang hampir pasti, persentase jumlah mereka tentunya masih sangat kecil.

Gereget ASEAN

Kalau mau jujur, "gereget" ASEAN mungkin hanya terasa di Jakarta dan beberapa kota besar Indonesia. Biasanya hal itu terasa atau terlihat pada saat berlangsungnya kegiatan ASEAN, baik dalam bentuk kunjungan pejabat tinggi negara maupun saat berlangsungnya konferensi, seminar, atau kegiatan pameran, pertunjukan, danlainnya.

Pada saat itu baliho, poster, spanduk, dan umbul-umbul dipasang untuk meramaikan dan mewarnai kota-kota tersebut. Memang sejauh ini hanya Indonesia yang paling heboh kalau melaksanakan hajatan ASEAN.

Ketikamenjadi ketua ASEAN 2011, hal ini dinilai memiliki konsekuensi logis bahwa Indonesia harus siap dalam memanfaatkan momentum strategis ini untuk kepentingan nasional, kemajuan dan pembentukan tatanan kawasan Asia Tenggara, serta perjalanan menuju pembentukan Komunitas ASEAN mulai 2015. Ketika itu, di mana-mana terlihat slogan-slogan ASEAN. Padahal setelah itu semua hiruk-pikuk itu seakan hilang tidak berbekas, termasuk semangat pembentukan ASEAN Community 2015.

Memang, menilai terlalu dini ASEAN Community 2015 sebagai work in progress tampaknya "apologetic danback-tracking" karena pengalaman masa lalu bisa menjadi landasan untukcommunity building, seperti kata Raman Letchumanan dariS Rajaratnam School of International Studies. Sayangnya, bagi masyarakat umum, dalam konteks ini aspek sosial budaya, yang menyangkut harkat hidup rakyat, justru kurang mendapat perhatian meskipun sasarannya lebih tinggi dari MDGs Plus. Akibatnya cetak birukomunitas Poleksobudkam ASEAN 2025 yang ambisius itu makin sulit terwujud.

Artinya, sampai setengah abad usianya, semua kerja masih pada tataran pejabat birokrasi dan pelaku bisnis; merekalah yang menikmati hiruk-pikuk organisasi ini. Harus diakui ASEAN memang masih semata-mata playingground-nya "the Elite Club".ASEAN spirit masih hanya dijumpai di istana, kantor, bandara, konperensi, hotel atau gedung pertunjukan, dan belum "di kaki lima atau di pos ronda". ASEAN consciousnessbelum merasuk dan melekat pada masyarakat.

Masyarakat atau rakyat umumnya, jangankan yang di pelosok negeri, yang di pinggir kota besar sekalipun, tampaknya masih "EGP" dengan ASEAN. Bahkan mungkin pada tataran ini, ASEAN masih berada pada level seperti acara Cerdas Cermat TVRI, yaitu: Kapan ASEAN dibentuk? Tanggal 8 Agustus 1967! Seratus untuk Regu A! Berapa negara anggota ASEAN? Sepuluh negara! Seratus untuk Regu B! Tidak lebih, tidak kurang.

Padahaldiharapkan "The ASEAN Community is like a group of 10 friends helping each other become richer and better, even if they are 10 very different people", seperti kata Joseph Goh, pelajar di Brickfield Asia College, Kuala Lumpur.

Kalau tidak,orang yang sinis, seperti John Bolton, akan mengatakan "The European Union can now act like a major power, at least that is what European Union tells us", dengan frase European Union diganti ASEAN tentunya. Jangan sampai. Dirgahayu ASEAN!

DIAN WIRENGJURIT, DIPLOMAT UTAMA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "ASEAN untuk Siapa".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger