Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 08 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: Daya Beli, Ketimpangan, APBN (MOHAMAD IKHSAN MODJO)

Penurunan daya beli dan pelemahan pertumbuhan yang terjadi dewasa ini di Indonesia bukanlah misteri atau anomali. Ia adalah sebuah fenomena yang harus secara jujur dijelaskan sesuai fakta dan realitas di lapangan untuk kemudian disampaikan secara lugas kepada para pengampu kebijakan untuk kemudian diambil koreksi sebagaimana mestinya.

Di satu sisi, apa yang terjadi saat ini sebenarnya secara ekonomi makro tidak serta-merta bisa disebut sebagai penurunan daya beli. Hal ini karena data menunjukkan bahwa pendapatan per kapita masyarakat masih mengalami kenaikan dari Rp 41,92 juta per tahun pada 2014 dan Rp 45,14 juta per tahun pada 2015 menjadi Rp 47,96 juta per tahun pada 2016.

Begitu juga, konsumsi agregat secara umum masih menunjukkan pertumbuhan sepanjang 2017 meski pertumbuhan ini melambat jika dibandingkan 2016. Laju konsumsi Indonesia tercatat tumbuh 5,07 persen triwulan II-2016, lalu melambat menjadi 5,01 persen triwulan III-2016, dan melambat lagi menjadi 4,99 persen triwulan IV-2016, dan terakhir tumbuh sebesar 4,93 persen pada triwulan-I 2017.

Beberapa indikator

Di sisi lain, observasi pada level ekonomi mikro menunjukkan penurunan daya beli adalah fakta yang sulit dibantah. Hal ini, misalnya, terlihat pada beberapa fakta berikut. Pertama, adanya penurunan pendapatan riil pada dua sektor utama penyumbang lapangan kerja di Indonesia, yakni sektor pertanian dan sektor informal yang berkontribusi masing-masing 32 persen dan 20 persen pada total lapangan kerja nasional.

Pada sektor pertanian, nilai tukar petani sepanjang Juni 206 ke Juni 2017 anjlok dari 101,47 menjadi 100,53. Demikian pula, upah riil pekerja pertanian turun dari Rp 38.130 per hari pada Juni 2015 dan Rp 37.421 per hari pada Juni 2016 menjadi Rp 37.396 di Juni 2017. Sementara di sektor informal perkotaan, upah riil buruh bangunan, misalnya, turun hampir 2 persen, dari Rp 65.997 per hari Juni 2016 menjadi Rp 64.736 pada Juni 2017. Ironisnya, penurunan ini terjadi justru pada saat tingkat inflasi lebih rendah dalam dua tahun terakhir ketimbang tahun-tahun sebelumnya.

Kedua, penurunan pendapatan riil mayoritas pekerja ini terkonfirmasi dengan data penurunan penjualan di sektor ritel. Indeks penjualan ritel Bank Indonesia (BI), misalnya, menunjukkan tren penurunan dari 218,0 menjadi 214,3 sepanjang Desember 2016 ke Mei 2017. Penurunan terdalam terjadi pada indeks penjualan kendaraan bermotor yang turun dari 134,9 menjadi 122,2 dan indeks penjualan peralatan komunikasi dan informasi dari 458,2 turun ke 404,8.

Penurunan ini juga terlihat di sektor properti, di mana data BI menunjukkan permintaan properti ritel mengalami penurunan dari 123,16 pada triwulan IV-2016 menjadi 122,28 di triwulan I-2017. Pada saat yang sama, indeks suplai properti ritel juga turun dari 3,47 menjadi 2,52.

Ketiga, penurunan daya beli yang ada juga tidak bisa dibantah dengan mengatakan bahwa fenomena yang ada hanya sebatas disruption sementara atau pengalihan konsumsi dari non e-dagang (e-commerce) ke ritel e-dagang (e-commerce). Alasannya, penurunan data ritel ini juga terkonfirmasi oleh data penurunan produksi sektor industri, yang merupakan hulu dari penjualan ritel, baik yang dilakukan secara digital maupun tidak.

Pada sektor industri, penurunan terlihat pada beberapa sektor utama, seperti tekstil, pakaian jadi, farmasi, kertas, dan percetakan serta mesin dan kendaraan bermotor. Pada sektor-sektor ini pertumbuhan indeks produksi pada triwulan I-2017 mengalami pelambatan dibanding triwulan I-2016, bahkan beberapa sektor produksi, seperti tekstil dan farmasi, mencatat penurunan masing-masing -0,39 dan -0,16.

Lebih lanjut, turunnya daya beli juga berdampak pada kapasitas produksi terpakai. Kapasitas produksi terpakai di beberapa industri seperti tekstil lagi-lagi, misalnya, mengalami penurunan dari 78,51 persen pada triwulan I-2016 menjadi 78,30 pada triwulan I-2017. Begitupun industri seperti kertas dan semen yang turun berturut-turut dari 72,58 ke 69,37 dan 75,21 ke 73,26 pada periode yang sama. Semua data terkait produksi ini menunjukkan adanya pelemahan permintaan, bukannya sekadar adanya perubahan dalam moda atau cara dalam melakukan transaksi.

Keempat, penurunan pendapatan dan daya beli pada sebagian masyarakat juga diindikasikan dari meningkatnya jumlah penduduk miskin sebesar hampir 7.000 jiwa selama enam bulan, antara September 2016 dan Maret 2017. Bukan hanya jumlah penduduk miskin, tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan juga mengalami peningkatan pada periode yang sama dari 1,74 ke 1,83 dan 0,44 ke 0,48 berturut-turut.

Ketimpangan dan politik anggaran

Berbagai data di atas mengindikasikan secara jelas bahwa terdapat penurunan daya beli dan pendapatan masyarakat. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa hal ini terjadi dan seakan menjadi semacam "misteri" atau anomali. Jawaban dari pertanyaan yang saling terkait ini adalah dua hal: tingginya angka ketimpangan dan politik anggaran yang salah kaprah.

Di Indonesia, ketimpangan diukur dengan rasio gini pengeluaran yang saat ini berada di angka 0,393 atau dikategorikan sebagai negara dengan ketimpangan tinggi (high inequality). Apabila ketimpangan diukur dengan pendapatan, rasio gini bahkan mendekati 0,50 sehingga bisa dikategorikan sebagai negara dengan ketimpangan yang parah (severe inequality).

Dalam literatur ilmu ekonomi, tingginya angka ketimpangan yang ada dinisbatkan berhubungan secara negatif pada pertumbuhan, melalui dampaknya pada rendahnya akumulasi kapital dan investasi di bidang sumber daya manusia (Alesina-Rodrik 1994; OECD 2014). Tingginya ketimpangan inilah yang menjelaskan secara teoretis rendahnya pertumbuhan akumulasi modal (gross fixed capital formation) yang semenjak 2013 berada di kisaran 5 persen, turun dari rata-rata tahun sebelumnya sekitar 10 persen. Rendahnya akumulasi modal pada gilirannya menyebabkan turunnya laju pertumbuhan pendapatan.

Tingginya ketimpangan juga menjelaskan mengapa penurunan daya beli seakan sebuah anomali. Kata kuncinya adalah konsentrasi pendapatan dan pengeluaran pada sekelompok masyarakat. Dari pendapatan per kapita Rp 47 juta per tahun atau sekitar Rp 15 juta per keluarga per tahun, sesungguhnya hanya sekitar 25 persen keluarga yang menghasilkan angka sama dengan atau di atas Rp 15 juta. Sementara sekitar 75 persen keluarga di Indonesia berpenghasilan di bawahnya.

Tingginya ketimpangan juga menyebabkan konsentrasi pengeluaran pada kelompok masyarakat yang berpendapatan tinggi. Di Indonesia, kelompok ini menyumbang lebih dari 90 persen konsumsi rumah tangga, sementara pengeluaran konsumsi penduduk 20 persen termiskin berkontribusi hanya sekitar 5 persen.

Fakta inilah yang menjadi satu alasan utama mengapa penurunan daya beli seakan anomali: bahwa pendapatan masyarakat terlihat melemah, sementara konsumsi tetap tumbuh stabil. Hal ini karena yang melemah adalah pendapatan masyarakat menengah ke bawah seperti masyarakat tani dan yang bekerja di sektor informal, yang konsumsinya kurang berdampak pada besaran konsumsi agregat.

Fenomena ini diperparah oleh strategi kebijakan anggaran yang diterapkan pemerintah dalam tiga tahun terakhir. Anggaran negara semakin tidak difungsikan sebagai salah satu toolskebijakan redistribusi dan pemacu pertumbuhan sebagaimana yang seharusnya dilakukan.

Sebaliknya, pemerintah justru memangkas secara besar-besar anggaran subsidi yang berfungsi sebagai alat meredistribusi pendapatan, dengan memperbesar jumlah alokasi untuk infrastruktur dan belanja rutin negara. Kebijakan ini secara langsung memukul masyarakat miskin dan hampir miskin yang daya beli dan pendapatannya sangat bergantung pada subsidi dan transfer pemerintah, dan secara tidak langsung juga mempertajam ketimpangan.

Efek perpajakan

Kebijakan anggaran lain yang berkontribusi terhadap anomali ini adalah upaya peningkatan penerimaan negara melalui sektor perpajakan yang terkesan dipaksakan dan tanpa strategi yang terukur, yang malah menyebabkan dampak sebaliknya dari yang diharapkan. Kebijakan perpajakan pemerintah menyebabkan dilakukannya substitusi konsumsi pada tabungan di kalangan menengah ke atas (Ricardian effect), yang membuat laju pertumbuhan konsumsi melambat yang pada gilirannya menyebabkan pertumbuhan pun tersendat.

Celakanya, tersendatnya pertumbuhan pada akhirnya menyebabkan besaran penerimaan pajak yang didapatkan pemerintah pun meningkat secara tidak optimal dan jauh dari yang diharapkan. Hal ini, misalnya, bisa dilihat dari kenaikan penerimaan negara dalam kurun waktu tiga tahun terakhir (APBN 2014-2016) yang naik hanya lebih kurang Rp 3 triliun walau sudah dilakukan berbagai terobosan, termasuk kebijakan amnesti pajak.

Hukum besi penerimaan pajak di Indonesia adalah bahwa ia lebih bergantung pada pertumbuhan ekonomi, di mana pelambatan pertumbuhan akan menyebabkan lebih rendahnya penerimaan pajak dan sebaliknya. Satu hal yang sangat jelas terlihat dari fluktuasi penerimaan dan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mengikuti laju pertumbuhan ekonomi yang ada.

Oleh karena itu, sebagai saran penutup dari tulisan singkat ini, pemerintah tidak bisa tidak perlu mereorientasi ulang kebijakan anggaran pada fungsinya sebagai alat dalam pemacu pertumbuhan ekonomi dan meredistribusi pendapatan. Strategi kebijakan anggaran yang diterapkan saat ini, walau sah diusung secara normatif, terbukti malah menyebabkan anomali dan bermasalah pada tataran implementasi teknis.

Jika terus dipertahankan, sebagaimana sudah terlihat, hal itu akan secara spiral menekan pertumbuhan dan daya beli lebih dalam dan pada akhirnya malah merugikan seluruh rakyat.

MOHAMAD IKHSAN MODJO, EKONOM; PEKERJA SEKTOR PEMBANGUNAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Daya Beli, Ketimpangan, APBN".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger