Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 02 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: Demokrasi Pancasila Itu (SABAM LEO BATUBARA)

Mayor Jenderal (Purn) TNI dan mantan anggota Komisi II DPR, Saurip Kadi, dalam tulisan berjudul "Demokrasi Pancasila" (Kompas, 19/7/2017) mengemukakan, "Bangsa dan negara ini juga tak boleh terus-menerus disibukkan untuk menangani hal-hal yang semestinya sudah final, terlebih terhadap masalah Pancasila dan segenap nilai yang mengantar berdirinya NKRI."

Tepatlah jika pemerintah kemudian menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang bisa digunakan mengatur sekaligus memberi sanksi, termasuk di dalamnya membubarkan ormas yang hendak mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan ideologi lain.

Dua persoalan

Saurip Kadi juga mengatakan, "Dalam demokrasi, keberadaan partai dan pemilu adalah mutlak, tetapi UUD 1945 yang asli belum atau tak mengaturnya. Peran negara dalam demokrasi dibatasi sebagai regulator, fasilitator, dan pelindung yang lemah, sementara UUD 1945 yang asli, negara juga pemain. Karena proses amendemen langsung ke perubahan pasal-pasal tanpa didului perubahan platformdari otoriter jadi demokrasi, sistem kenegaraan kita tambah semrawut."

Untuk mencegah sistem kenegaraan tidak semakin semrawut, dua persoalan—menurut saya—memerlukan kejelasan dan kesepakatan bersama. Pertama, apakah demokrasi Pancasila yang dimaksud Saurip Kadi berbeda dengan konsep demokrasi Pancasila yang dipraktikkan presiden ke-2 RI, Soeharto?

Kedua, demokrasi yang dihasilkan empat amendemen konstitusi adalah demokrasi yang menjunjung kedaulatan rakyat yang bercirikan antara lain kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Dalam kaitan itu perlu kesepakatan, apakah kita menganut konsep kebebasan model Amerika Serikat (AS) atau model Jerman? Kedua negara sama-sama negara demokrasi, tetapi model kebebasannya berbeda.

Untuk tidak menambah semrawut, perlu diingat bahwa demokrasi Pancasila yang dijalankan mantan Presiden Soeharto selama 32 tahun telah melegitimasi dirinya menjadi diktator. Pertama, pasal yang asli menyebut, "Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR."

Dalam praktik di era Orde Lama dan Orde Baru, setelah menerima kedaulatan rakyat, MPR langsung menggadaikan kedaulatan itu kepada penguasa rezim. Penguasa rezim menjadi tiran. MPR menjadi subordinat presiden. Untuk memperkuat posisi presiden sebagai tiran, Soekarno boleh menjadi presiden RI selama 21 tahun, Soeharto boleh menjadi presiden 37 tahun. Namun, baru 32 tahun, demo mahasiswa melengserkannya.

Kedua, fungsi DPR hanya untuk melegitimasi kebijakan presiden. Ketiga, kekuasaan terkonsentrasi di tangan penguasa rezim. Aspirasi otonomi daerah dituduh berorientasi separatisme. Keempat, pelanggaran HAM diperlukan demi terciptanya stabilitas kekuasaan. Kelima, negara diselenggarakan berdasarkan kekuasaan (machtsstaat). Keenam, ABRI berdwifungsi dan menjadibacking penguasa rezim yang menjadi diktator. Ketujuh, kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan berekspresi hanya bagi pendukung penguasa rezim.

Pilihan Indonesia

Apa perbedaan konsep kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat negara AS dan Jerman? AS menganut kebebasan nyaris tanpa batas (laissez faire), tetapi kebebasan di Jerman dibatasi. Di AS, mempropagandakan ideologi komunisme tidak dilarang. Sementara di Jerman, aktivitas Nazisme terlarang. Organisasi Hizbut Tahrir terlarang. Jerman sudah pula mengesahkan undang-undang yang melarang media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, menyiarkan ujaran kebencian dan radikalisme. Pelanggar terancam dihukum.

Jika kita sepakat menganut demokrasi model AS, hak mantan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan DII/TII harus dilindungi untuk bebas berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas pun seharusnya dibatalkan. Ormas-ormas anti-Pancasila lain pun berhak dilindungi aktivitasnya. Para elite bangsa pun harus berlatih untuk tidak berpikir secara paradoks. Menganut demokrasi model AS berarti Pancasila, NKRI, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika tidak lagi harga mati.

Jika demokrasi Pancasila yang dimaksud adalah demokrasi yang tidak boleh mengkhianati dan menegasikan Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika, konsekuensinya pendapat yang menyatakan bahwa Perppu Ormas adalah langkah awal menuju negara diktator dan bahwa kebijakan pemerintah yang memblokir media-media sosial yang bermuatan kebencian, intoleransi, dan radikalisme melanggar hak-hak dasar rakyat, justru adalah pendukung demokrasi liberal laissez faire.

Ketika para bapak bangsa merumuskan UUD Indonesia merdeka menjelang 17 Agustus 1945, Bung Karno menegaskan konstitusi kita mengakui bahwa kedaulatan adalah di tangan rakyat, tetapi menolak paham demokrasi liberallaissez faire.

SABAM LEO BATUBARA, MANGGALA PANCASILA ANGKATAN 1996

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Demokrasi Pancasila Itu".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger