Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 04 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: Konstitusionalitas Ambang Batas Pencalonan Presiden (MARDIAN WIBOWO)

Baru tiga hari setelah Rapat Paripurna DPR menyetujui Rancangan UU Penyelenggaraan Pemilu menjadi UU, Jumat (21/7), permohonan pengujiannya telah didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi. Bahkan Presiden pun belum mengesahkan atau memberi nomor bagi UU dimaksud.

Keberatan terutama ditujukan pada nilai ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang diatur dalam Pasal 222. Partai politik atau gabungan partai politik yang hendak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden disyaratkan memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.

Hal demikian dianggap halangan oleh sebagian partai politik serta para tokoh yang ingin maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden pada Pemilu 2019. Karena itu, MK diminta membatalkan nilai ambang batas tersebut dengan alasan melanggar hak konstitusional.

Kebijakan hukum terbuka

Dalam konteks pengujian UU sebenarnya isu yang sama pernah diadili oleh MK meskipun UU-nya berbeda. Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 mengadili Pasal 9 UU No 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 9 menentukan pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat dilakukan partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu DPR sebelumnya.

MK menolak permohonan para pemohon, yang artinya nilai ambang batas dimaksud tidak melanggar konstitusi. Dalam putusannya, MK menyatakan pendirian bahwa kebijakan pembentuk UU ketika menentukan nilai ambang batas merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Tersirat dari putusan tersebut—juga dari beberapa putusan MK terdahulu—bahwa kebijakan hukum terbuka adalah "wilayah bebas" bagi pembentuk UU karena UUD 1945 tidak memberi arahan kebijakan hukum seperti apa yang harus diambil.

Syarat pencalonan presiden dan wakil presiden diatur dalam Pasal 6A junctoPasal 6 UUD 1945, yang keduanya tidak mewajibkan atau melarang adanya ambang batas pencalonan. Kemungkinan dari sini MK berpendapat. Mengingat tidak diatur oleh UUD 1945, maka pembentuk UU memiliki kebebasan untuk secara mana-suka mengaturnya sendiri.

Pendapat MK demikian mendapat pembenaran karena negara berkewajiban untuk selalu menyediakan perangkat hukum mengikuti perkembangan atau kebutuhan masyarakat. Jika pembentuk UU tidak diberi kebebasan untuk mengatur suatu hal menjadi UU, hanya karena hal demikian tidak diatur oleh UUD 1945, dapat dipastikan banyak aktivitas masyarakat lepas dari kontrol hukum. Di sisi lain kebebasan demikian berpotensi memunculkan UU yang sewenang-wenang karena tidak memiliki norma kontrol berupa UUD 1945.

Dalam konteks penentuan angka ambang batas pemilihan presiden dan wakil presiden, meski MK melalui Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 menyatakan penentuan besaran angka adalah hak pembentuk UU, tak berarti pembentuk UU boleh mengubah-ubah angka tanpa argumentasi. UUD 1945 memang tak memuat ketentuan angka ambang batas, tetapi UUD 1945 mengandung nilai keadilan.

Perluasan parameter

Keadilan merupakan jiwa UUD 1945, bahkan dirumuskan tegas dalam Pembukaan UUD 1945 paragraf keempat, yang dikenal sebagai sila kelima Pancasila. Nilai-nilai dalam Pembukaan UUD 1945 harus dijadikan parameter pengujian konstitusionalitas UU manakala tidak ditemukan pasal dan/atau ayat dalam UUD 1945 yang dapat dijadikan parameter.

Lantas, keadilan seperti apa yang dimaksud oleh Pembukaan UUD 1945? Adalah kewajiban hakim konstitusi untuk berijtihad menemukan yang terbaik dari berbagai varian keadilan. Berapa pun angka yang disepakati oleh pembentuk UU, MK bertugas memastikan ulang bahwa dampak pilihan kebijakan demikian telah mendekati keadilan, yaitu memberikan manfaat maksimal bagi semua pihak, terutama masyarakat, khususnya dari perspektif demokrasi.

Titik tekan di sini adalah agar MK tidak terburu-buru menyatakan kebijakan hukum mengenai ambang batas pemilihan presiden dan wakil presiden sebagai kebijakan hukum terbuka hanya karena tidak ditemukan parameter pengujian konstitusionalitas dalam pasal dan/atau ayat UUD 1945. Selain itu, juga dimaksudkan agar kebijakan hukum terbuka tidak melahirkan UU yang mengabaikan atau berada di luar kontrol UUD 1945.

Undang-undang yang dinyatakan oleh MK tidak dapat diuji terhadap UUD 1945 terbaca sebagai produk hukum yang kekuatannya menyamai UUD 1945. Hal demikian pada akhirnya menempatkan pembentuk UU pada hierarki setara dengan pembentuk konstitusi. Perubahan hierarki peraturan perundang-undangan lebih lanjut mengakibatkan kerusakan mekanisme kontrol norma hukum.

Supremasi konstitusi

Harus diingat bahwa Indonesia menganut supremasi konstitusi, sebagaimana dinyatakan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Dengan demikian, suatu UU harus tetap tunduk pada UUD 1945. Norma hukum dalam UUD 1945 yang dirumuskan sebagai pasal dan/ atau ayat memang terbatas serta tidak mungkin mengatur secara lengkap semua aspek kehidupan masyarakat. Namun, ada nilai-nilai "Proklamasi Kemerdekaan" dan nilai-nilai Pancasila yang dapat dijadikan parameter tambahan bagi pengujian UU, mengingat keduanya adalah satu kesatuan dengan UUD 1945, bahkan tertulis tegas dalam Pembukaan UUD 1945.

Perkara pengujian UU Penyelenggaraan Pemilu akan menjadi medan pertarungan konseptual apakah Indonesia akan tetap menganut supremasi konstitusi, sebagaimana diperintahkan UUD 1945, ataukah di bawah tangan akan menganut supremasi UU dengan membiarkan suatu UU lolos pengujian hanya karena tidak ditemukan pasal dan/atau ayat UUD 1945 yang dapat dijadikan parameter pengujian.

MARDIAN WIBOWO,

ALUMNUS PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 4 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Konstitusionalitas Ambang Batas Pencalonan Presiden".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger