Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 01 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: Mafia Beras dan Diversifikasi Konsumsi (POSMAN SIBUEA)

Dugaan kian maraknya praktik kartel beras semakin menguat. Tingkat konsumsi beras yang masih tinggi di tengah masyarakat mendorong pelaku usaha kerap melakukan tindakan tidak terpuji guna meraup untung dari bisnis makanan pokok ini.

Harga beras yang makin mahal di tengah surplus produksi menjadi daya tarik bagi mafioso pangan. Mengacu pada data produksi beras nasional 2016 sebenarnya stok dalam kondisi aman. Produksi padi nasional 2016 yang mencapai 79 juta ton gabah kering giling setara dengan 47 juta ton beras.

Kebutuhan beras nasional versi Kementerian Pertanian dengan asumsi konsumsi per kapita per tahun sebesar 139 kilogram hanya sekitar 35 juta ton untuk jumlah penduduk 250 juta orang. Jika data produksi padi 2016 bisa dipercaya, Indonesia sesungguhnya surplus beras paling tidak 12 juta ton. Lantas, pertanyaannya, mengapa harga kebutuhan pokok ini semakin mahal dan sering dimainkan kaum mafioso?

Persoalan mafia beras belum pernah tuntas dicarikan solusinya. Indonesia berpotensi rawan konflik jika kebutuhan pangan masyarakatnya dikendalikan mafia. Makanan pokok yang hanya mengandalkan beras dan bergantung pula kepada negara lain akan menjadi ruang yang aman untuk permainan mafia. Produksi dan ketersediaan pangan harus bisa dilakukan secara mandiri dan terdiversifikasi agar rakyat berdaulat atas pangan. Sistem usaha tani harus dirancang sesuai potensi sumber daya lokal.

Mengendalikan sistem distribusi

Kenaikan harga beras ternyata tidak dinikmati petani. Setiap panen tiba, beras sudah ada di tangan pedagang—bahkan dikendalikan oleh segelintir pemain bermodal besar—yang rawan disalahgunakan. Tangan-tangan mafia bermain untuk menaikkan harga beras karena mampu mengendalikan sistem distribusi. Para mafioso ini kerap memanfaatkan kegaduhan politik dalam negeri untuk menambah pundi-pundinya. Energi pemerintah yang habis terkuras untuk persoalan korupsi KTP-el dan kasus korupsi lainnya dimanfaatkan secara baik untuk meluncurkan produk pangan baru yang ditengarai menyalahi aturan.

Pemberian label beras premium dengan kandungan gizi "akal-akalan"—guna menyebut lebih baik dari raskin (restra = beras sejahtera)—untuk mengontrol harga diduga hanya rekayasa para pemburu rente bermodal gede. Tujuannya agar pemerintah menambah kuota impor beras bersubsidi. Permainan para mafioso makin sempurna. Kenaikan harga di tingkat grosir secara otomatis diikuti pedagang eceran. Sambil melakukan penimbunan, efek domino kenaikan harga menjadi kekuatan mereka untuk bermain lebih leluasa di ruang ketersediaan dan distribusi beras.

Meski upaya pemerintah melalui Satuan Tugas Pangan dalam mengusut dugaan kartel beras sudah mulai menunjukkan titik-titik terang, upaya stabilitas harga beras secara berkesinambungan harus terus dilakukan melalui perbaikan dan pengawasan distribusi. Operasi beras secara langsung kepada konsumen merupakan pilihan terbaik.

Selain itu, pemerintah sudah sepatutnya memperbaiki sistem produksi beras nasional sejak dari hulu. Merujuk pada hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) beberapa tahun lalu, target produksi beras nasional tidak efektif dan anggaran boros karena lemahnya pengawasan. Ketidakefektifan penggunaan anggaran juga terjadi pada program perluasan lahan pertanian. Ada dugaan, pengelolaan politik pangan nasional seakan berjalan dengan sendirinya tanpa kehadiran kinerja pemerintah.

Seakan-akan negara mengalami autopilot karena upaya pemerintah membangun ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat kini mulai menuai keraguan. Bahkan, pencapaian peningkatan produksi beras nasional tahun 2016 seakan kurang bermakna karena beredarnya beras yang diduga memanipulasi harga dan membohongi konsumen soal kandungan gizinya.

Pemerintah pun terus membiarkan pola konsumsi pangan masyarakat tetap mengkristal pada beras sehingga menjadi ruang inkubasi mafia pangan. Meskipun Perpres No 22/2009 tentang percepatan penganekaragaman konsumsi pangan sudah digulirkan sejak delapan tahun silam, upaya mencari solusi terhadap tingginya konsumsi beras masih sangat lamban dan kurang menyentuh akar permasalahan.

Beras analog

Menyangkut upaya pengurangan konsumsi beras sekitar 1,5 persen per tahun, misalnya, pemerintah dalam memformat model pengembangan pangan pokok lokal (MP3L) untuk menyubstitusi beras nyaris jalan di tempat untuk tidak mengatakan gagal.

Pemerintah belum serius mengembangkan tanaman umbi- umbian yang relatif lebih tahan terhadap dampak perubahan iklim ketimbang tanaman padi. Dengan semakin mahalnya harga beras, pemerintah seharusnya tidak perlu panik dengan membuka keran impor beras yang efek jangka panjangnya sangat merugikan petani lokal. Yang patut dilakukan ialah mendorong masyarakat untuk meningkatkan konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal.

Untuk memerangi praktik mafia beras, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mempercepat diversifikasi konsumsi pangan seraya mengurangi volume penyaluran raskin setiap tahun. Pengurangan konsumsi beras (termasuk raskin) secara bertahap harus didukung dengan program MP3L secara berkelanjutan. Program ini adalah langkah strategis untuk dilakukan pemerintah sebagai mesin percepatan diversifikasi pangan.

Paling tidak tiga cara berikut patut dipertimbangkan dilakukan untuk pengembangan produk pangan pokok lokal yang mendukung penguatan diversifikasi pangan, yaitu (1), masyarakat didorong untuk meningkatkan proporsi konsumsi pangan sumber karbohidrat lokal nonberas; (2), menumbuhkan kelembagaan UKM industri pangan nonberas berbasis sumber daya lokal; (3), pengembangan tekno agroindustri pangan tepat guna untuk pengolahan pangan pokok lokal yang mudah diakses masyarakat.

Ketiga langka itu menjadi mesin pendorong diversifikasi konsumsi pangan yang patut terus dihidupkan supaya program yang sudah jalan, seperti one day no rice, terkawal secara baik di tengah masyarakat. Kampanye programone day no rice harus lebih konkret lagi di lapangan, dengan mengajak dan menyapa publik bahwa makan pagi, siang, atau malam tak harus selalu nasi, mi, atau roti dari terigu. Gerakan ini harus dirancang lebih baik dan persuasif sehingga masyarakat mau diajak terlibat mengurangi konsumsi beras dan terigu.

Penguasaan tekno agroindustri pangan dan inovasi pengolahan pangan lokal nonberas, seperti umbi-umbian, sagu, dan sorgum, sebagai bagian dari program MP3L harus terus dikumandangkan tak hanya saat merayakan Hari Pangan Sedunia. Berbagai produk MP3L harus terus digulirkan sehingga bisa bersanding dengan produk pangan berbasis beras dan terigu. Salah satunya produk pangan baru yang dikenal sebagai beras analog berbahan pangan lokal nonpadi yang sudah diproduksi di sejumlah perguruan tinggi. Mutu dan nilai gizinya patut ditingkatkan sehingga bisa di-scale-upsetara beras dari padi guna mengerem laju konsumsi masyarakat yang kian mengkristal pada beras.

Karena itu, diversifikasi konsumsi pangan akan berhasil mengatasi kartel beras jika pemerintah mampu mengatrol kasta beras analog dengan memperkaya kandungan gizinya. Dengan promosi yang tepat dan gencar lewat iklan di media massa, produk ini akan kian dikenal masyarakat perkotaan. Diharapkan pemerintah dapat membuat regulasi baru agar setiap kantin di kantor pemerintah dan restoran menyajikan menu beras analog berbasis umbi-umbian, jagung, sagu, dan sorgum.

POSMAN SIBUEA

Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas, Medan; Ketua Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia, Sumatera Utara

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Mafia Beras dan Diversifikasi Konsumsi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger