Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 05 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: Memahami Konsumen Beras (BAYU KRISNAMURTHI)

Di antara pembahasan mengenai perkembangan situasi dan rencana penyusunan kebijakan perberasan, ada satu pihak yang sering kali tidak diajak berdiskusi: konsumen beras. Padahal, konsumen kekuatan yang besar dan menentukan.

Sekitar 65 persen ekonomi Indonesia ditentukan konsumen, jumlah orang miskin ditentukan kondisi pengeluaran konsumen, dan sekitar 43 persen faktor penentu inflasi datang dari sisi konsumen.

Menurut kajian Sucofindo atas permintaan Kementerian Perdagangan, konsumen beras di Indonesia, yaitu mereka yang memberi beras untuk dikonsumsi langsung (dimasak dan dimakan), dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu 1) rumah tangga; 2) hotel, restoran, rumah sakit, dan penjara; serta 3) katering.

Konsumen rumah tangga masih merupakan kelompok konsumen yang terbesar, tetapi konsumen seperti hotel dan restoran, rumah sakit, asrama, penjara, serta konsumen-lembaga sejenisnya bukan konsumen yang kecil. Katering juga menunjukkan pertumbuhan permintaan yang meningkat pesat sejalan dengan berkembangnya bisnis tersebut. Yang jelas, pola permintaan ketiga kelompok konsumen itu berbeda satu sama lain.

Konsumen rumah tangga

Kajian yang dilakukan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) April 2016 dengan melakukan survei mendalam terhadap 1.977 responden yang membeli beras untuk rumah tangga (83 persen responden yang diwawancara adalah perempuan) di 13 kota memberikan gambaran mengenai perilaku konsumen beras Indonesia. Pertama, makan nasi setiap hari masih tetap dianggap penting—di samping banyaknya makanan basis karbohidrat lain yang tersedia—oleh sekitar 93 persen dari responden berpendapatan rendah (kurang dari Rp 3 juta per bulan). Tingkat kepentingannya menurun menjadi 84 persen pada kelompok berpendapatan tinggi (lebih dari Rp 10 juta per bulan).

Kedua, frekuensi pembelian beras rata-rata 2,7 kali per bulan dengan konsumsi rata-rata 70,4 kilogram/kapita/tahun.Beberapa responden bahkan ada yang membeli hingga 4-6 kali sebulan dalam jumlah kecil (kemasan 1-2 kilogram), bukan karena tidak mampu membeli dalam jumlah lebih banyak, melainkan karena tidak ingin repot menyimpan dan ingin memastikan beras yang dikonsumsi adalah beras baru. Perilaku ini didukung kenyataan bahwa toko-toko, termasuk swalayan, yang mudah terjangkau.

Ketiga, 73 persen rumah tangga berpendapatan rendah menyatakan akan mencari merek atau jenis tertentu pada saat membeli beras. Persentase itu naik menjadi 86 persen pada rumah tangga berpendapatan tinggi. Konsumen telah semakin sadar jenis, merek, kemasan, dan memperhatikan informasi yang tertera pada kemasan. Kasus "beras plastik" beberapa tahun lalu menjadi kasus yang sering disebut responden dalam konteks kesadarannya akan keamanan pangan.

Keempat, jenis dan merek beras yang dicari konsumen berbeda di satu kota dengan kota lainnya. Sebagai contoh, empat jenis/merek beras yang paling banyak dicari konsumen di Padang adalah beras IR42, Sokan, Anak Daro, dan Beras Solok. Di Kota Jambi beras IR64/Ciherang, Cisadane, Muncul, dan Basmati. Di Kota Solo IR64, Ciherang, C4, Pandanwangi, dan Menthik. Di Kota Jember beras IR64, Ciherang, Cibogo, dan Mekongga. Di Malang beras Mentari, Pandanwangi, Bintang Timur, dan Cempaka. Di Makassar beras Bromo, Ciliwung, Beras Kepala, dan Beras Lokal.

Dalam hal ini, responden memang masih sering tertukar atau tak membedakan antara jenis beras dan merek dagang beras. Namun, selera yang berbeda di antara kota menentukan beras jenis/merek apa akan masuk dalam penghitungan inflasi harga beras/pangan di kota itu.

Kelima, 62 persen rumah tangga berpendapatan rendah membeli beras dari warung/toko/minimarket dekat rumah, 54 persen untuk rumah tangga berpendapatan tinggi. Pergi ke pasar tradisional untuk membeli beras dilakukan 27 persen rumah tangga berpendapatan rendah dan 14 persen rumah tangga berpendapatan tinggi. Sebanyak 86 persen dari responden membeli beras dalam bentuk kemasan, hanya 14 persen membeli dalam bentuk curah. Sebanyak 63 persen dari semua responden yang membeli dalam kemasan memilih kemasan ukuran lebih kecil dari 5 kilogram.

Keenam, bagi responden berpendapatan rendah, faktor warna beras menjadi faktor kualitas paling diperhatikan (76 persen), diikuti oleh bentuk beras: utuh dan panjang/pendek (51 persen), rasa: pulen dan aroma (44 persen), dan jenis/merek (38 persen). Kesadaran kualitas itu meningkat pada responden berpendapatan tinggi, tetap dengan warna beras sebagai faktor yang paling diperhatikan (81 persen), diikuti rasa dan aroma (76 persen), bentuk (62 persen), serta jenis/merek (61 persen).

Ketujuh, pada responden berpendapatan rendah, jika harga beras naik sekitar 11 persen, mereka akan mencari jenis/merek lain tanpa mengurangi jumlah konsumsi. Pengurangan jumlah konsumsi baru terpaksa dilakukan jika harga naik lebih dari 17 persen. Pada kelompok responden berpendapatan tinggi, mencari jenis/merek lain baru dilakukan setelah terjadi kenaikan harga lebih dari 15 persen dan mengurangi jumlah pembelian jika harga naik di atas 22 persen. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan beras masih bersifat inelastis dan tingkat inelastisitasnya menguat dengan meningkatnya pendapatan.Kondisi yang seolah kontra teori ekonomi dasar ini dapat dijelaskan dengan prinsip loyalitasbrand/merek/jenis yanglebih kuat dari prinsip substitusi konsumsi dan semakin kuat pada rumah tangga berpendapatan lebih tinggi.

Hal ini juga didukung analisis data Susenas yang dilakukan mahasiswa Magister Sains Agribisnis IPB yang menunjukkan elastisitas permintaan beras kelompok masyarakat berpendapatan 25 persen tertinggi memiliki nilai lebih kecil (lebih inelastis) dibandingkan dengan kelompok masyarakat berpendapatan 25 persen terendah.

Implikasi kebijakan

Disadari bahwa hasil kajian di atas masih berupa temuan awal dan banyak hal yang belum terjelaskan. Misalnya, kajian itu belum menangkap fenomena peningkatan konsumsi beras merah, beras rendah kadar glikemik untuk penderita diabetes, dan sebagainya. Masih perlu banyak lagi kajian perilaku konsumen untuk lebih memahami perkembangan yang ada di masyarakat. Namun, pemahaman awal atas perilaku konsumen beras itu mengindikasikan beras tak dapat lagi diperlakukan sebagai komoditas yang seragam bagi semua konsumen. Beras telah mengalami "de-komoditi-sasi".

Adanya perbedaan selera konsumen atas jenis dan merek beras adalah fakta yang tak dapat dimungkiri. Menyeragamkan beras untuk seluruh Indonesia bukan lagi pilihan tepat. Mencoba memetakan semua jenis beras di semua kota untuk berbagai kelompok konsumen lalu menerapkan kebijakan untuk setiap kelompok juga akan terlalu merepotkan.

Yang realistis adalah menyusun kebijakan yang secara garis besar cukup membedakan dua kelompok konsumen, yaitu yang berpendapatan rendah dan yang menengah/tinggi, lalu menerapkan kebijakan stabilisasi untuk menjaga kepentingan kelompok masyarakat berpendapatan rendah dan menerapkan kebijakan keanekaragaman untuk kelompok masyarakat berpendapatan tinggi.Hal ini akan sekaligus memberikan kesempatan bagi petani memperoleh pendapatan lebih besar dari kegiatan produksi bernilai tinggi. Lagi pula, petani padi adalah produsen gabah dan konsumen beras. Mereka pun punya hak memilih jenis beras yang bisa diproduksi dan dikonsumsi.

BAYU KRISNAMURTHI, DOSEN SENIOR IPB; KETUA UMUM PERHIMPUNAN EKONOMI PERTANIAN INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Memahami Konsumen Beras".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger