Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 09 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: Mengelola Radikalisme (HASIBULLAH SASTRAWI)

Andai bisa diselesaikan dengan penjara ataupun tembak mati, niscaya tak ada lagi terorisme dan radikalisme. Sebab, sudah banyak teroris yang ditahan ataupun ditembak mati.

Radikalisme, kata Ali Fauzi, mantan pelaku terorisme yang sudah menjadi aktivis perdamaian, bukanlah produk yang instan. Berdasarkan pengalaman pribadi Ali Fauzi beserta saudara dan sejumlah temannya yang terlibat dalam serangkaian aksi teror, radikalisme melalui proses yang panjang. Karena itu, menyelesaikan persoalan radikalisme, masih menurut Ali Fauzi, juga membutuhkan proses yang panjang.

Dari pengalaman pribadi penulis terlibat dalam program penanganan terorisme, apa yang dikatakan Ali Fauzi itu terkonfirmasi sejumlah fakta di lapangan. Hampir tidak ada orang yang tiba-tiba berkomitmen terhadap radikalisme.

Sebaliknya, justru ada sebagian pihak yang mau keluar dari jaringan ini, tetapi tak tahu harus melakukan apa dan bagaimana. Alih-alih hadir meyakinkan dan mendukung perubahan yang baru bertumbuh, kebijakan negara dan kondisi sosial politik yang kurang mendukung (ditambah pengaruh jaringan lamanya yang masih kuat) membuat perubahan yang ada berjalan di tempat. Bahkan, bisa benar-benar berhenti hingga yang bersangkutan "balik badan" kembali menjadi pelaku aksi kekerasan.

Benar bahwa belakangan muncul fenomena lone wolf di kalangan kelompok ini yang mengesankan seseorang menjadi radikal secara mendadak dan bertindak sendirian. Namun, hampir bisa dipastikan, pelakunya mengalami proses radikalisasi terlebih dahulu sebelum akhirnya melakukan penyerangan secara lone wolf.

Dengan kata lain, penyerangan secaralone wolf mungkin dilakukan secara sendirian dan direncanakan dalam waktu relatif singkat. Namun, sebelum melakukan penyerangan, yang bersangkutan mengalami proses radikalisasi yang panjang seperti disampaikan Ali Fauzi di atas sampai akhirnya yang bersangkutan sampai pada tahap keputusan melakukan penyerangan secara lone wolf.

Oleh karena itu, penanganan terorisme dan radikalisme butuh semangat pengelolaan yang kuat, khususnya oleh para pengambil kebijakan di negeri ini.

Ibarat menangani virus atau penyakit (analogi ini mungkin tidak sepenuhnya tepat karena dengan adanya faktor ideologi, terorisme lebih samar daripada virus atau penyakit), semangat pengelolaan dibutuhkan agar penyakit yang ada tidak menyebar ke mana-mana. Bahkan, jika dimungkinkan, mereka yang sudah terpapar penyakit ini bisa disembuhkan "dari dalam".

Parsial dan belum optimal

Semangat inilah yang menjadi salah satu kelemahan penanganan radikalisme dan terorisme di Indonesia belakangan ini. Pendekatan yang ada cenderung bersifat parsial dan belum bisa memberikan hasil yang optimal.

Sebagai contoh, penanganan terorisme selama ini lebih bertumpu pada penegakan hukum dan memenjarakan mereka yang terbukti terlibat dalam tindak pidana terorisme. Padahal, lembaga pemasyarakatan (lapas) selama ini mengalami kelebihan penghuni. Alih-alih menyelesaikan masalah, penahanan para teroris justru menimbulkan masalah baru. Bahkan, pada sebagian kasus para narapidana teroris justru berhasil meradikalisasi napi-napi umum. Sebagian lain menjadi residivis setelah keluar penjara.

Namun, tak berarti penanganan terorisme di lapas gagal sama sekali. Cukup banyak narapidana teroris dapat ditangani secara baik oleh para petugas lapas. Jika ada yang bisa memengaruhi seorang narapidana teroris berubah menjadi pribadi yang menjunjung tinggi perdamaian, hampir dipastikan petugas lapas adalah bagian dari pihak yang berperan pada masa-masa awal perubahan.

Bukan hal aneh mengingat akutnya pengaruh paham terorisme dan radikalisme di kalangan narapidana teroris, sebagian dari mereka tak mau bertegur sapa dengan petugas lapas karena menganggap para petugas tersebut thoghut. Bahkan, sebagian narapidana teroris ada yang awalnya tak mau makan nasi di lapas karena dianggap sebagai pemberian thoghut.

Oleh karena itu, sekecil apa pun perubahan yang terjadi dalam diri narapidana teroris sejatinya perlu diapresiasi dan diberi ruang untuk terus berubah. Terlebih jika perubahannya sampai tahap mau menerima NKRI, hormat bendera, dan berkomitmen tak melakukan lagi aksi kekerasan.

Barangkali, yang harus menjadi perhatian bukan soal penanganan narapidana teroris di lapas, melainkan lebih pada kebijakan yang seakan menjadikan penegakan hukum dan penahanan teroris sebagai solusi tunggal. Penanganan terorisme dan radikalisme belakangan ini lebih bertumpu pada pendekatan senjata, khususnya saat operasi penangkapan yang tak jarang melibatkan aksi baku tembak dan mengakibatkan meninggalnya terduga teroris.

Tentu kita tidak bisa menghakimi situasi di lapangan yang membuat aparat memilih opsi senjata dalam melumpuhkan terduga teroris. Hanya saja, akan lebih baik jika operasi tak sampai menewaskan terduga teroris sehingga aparat bisa menggali informasi lebih lengkap dari yang bersangkutan dan tidak menimbulkan dendam berkepanjangan.

Hal ini penting menjadi kesadaran bersama mengingat karena terorisme beririsan dengan faktor ideologi yang tak bisa dilumpuhkan dengan senjata. Penggunaan senjata tak jarang justru menimbulkan masalah baru, seperti dendam yang kian menguatkan kebencian kepada aparat, termasuk dari mereka yang bersimpati kepada para teroris.

Alih-alih selesai, terorisme dan radikalisme justru kian menyebar dan nekat. Munculnya fenomena lone wolfyang menjadikan aparat keamanan (khususnya polisi) sebagai target serangan adalah salah satu indikator. Indikator lain adalah penanganan terorisme dan radikalisme selama ini gagal mengurangi jumlah orang yang berpaham demikian.

Pendekatan keagamaan

Catatan serupa juga perlu diberikan pada penanganan terorisme dan radikalisme yang bertumpu pada pendekatan keagamaan. Para teroris umumnya tak pernah merasa "kurang pemahaman" mengenai agama. Justru mereka acap merasa sangat ahli agama sehingga sampai tahap rela mati demi agama yang diyakini.

Pada tahap seperti ini, apa yang dilakukan teroris bisa dikategorikan sebagai salah satu bentuk politisasi agama, minimal menggunakan agama untuk tujuan politis. Di ujung perjuangannya, para teroris hendak menegakkan negara agama melalui sistem yang diyakini sesuai dengan keyakinan agamanya.

Muhammad Said Asymawi, kritikus gerakan Islam berkebangsaan Mesir (1986), menyatakan, politisasi agama acap menimbulkan permusuhan dan aksi kekerasan tanpa akhir. Permusuhan dan aksi kekerasan tidak hanya dilakukan kepada mereka yang berbeda agama, tetapi juga yang satu agama, tetapi berbeda pandangan atau aliran.

Dalam bukunya mengenai aliran-aliran dalam Islam, Hasan Shadiq menyebut hal di atas sebagai "kecenderungan umum" kelompok radikal yang hanya mengakui kebenaran keyakinan kelompoknya. Di luar diri mereka, mereka menganggap tak ada keyakinan yang benar sehingga darah dan harta orang-orang di luar mereka dihalalkan. Kondisi inilah yang acap membuat pendekatan keagamaan kepada para teroris mengalami jalan buntu.

Hal yang paling fatal dari cara penanganan terorisme dan radikalisme akhir-akhir ini adalah karena semangatnya, penanganan tersebut lebih bersifat pembasmian, bukan membatasi penyebarannya dan mengubah secara perlahan orang yang terpapar paham terorisme dan radikalisme.

Di sini penting untuk mengambil pelajaran dari sejarah bahwa ideologi atau keyakinan nyaris tak bisa dibasmi atau dibunuh. Ideologi juga nyaris tidak bisa dibenturkan.

Jika ideologi dipaksa dibasmi, yang kerap terjadi justru menguatnya militansi, bahkan radikalisasi. Hal yang paling mungkin adalah membatasi penyebarannya atau mengubah keyakinan orang yang sudah terpapar.

Radikalisme ataupun kelompok-kelompok yang anti-NKRI dan Pancasila bukan hal baru bagi bangsa ini. Mereka juga sudah ada pada masa-masa sebelum sekarang. Bahkan, mereka yang anti-NKRI dan Pancasila sudah ada sejak masa-masa awal kemerdekaan.

Bedanya dengan sekarang, para pendahulu dan pendiri bangsa ini berani berdialog sembari menarik mereka secara perlahan ke arah NKRI dan Pancasila.

HASIBULLAH SATRAWI, PENGAMAT POLITIK TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Mengelola Radikalisme".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger