Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 03 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: NIIS Setelah Al-Baghdadi (ZUHAIRI MISRAWI)

Setelah militer Rusia mengumumkan kematian Abu Bakar al-Baghdadi, khalifah Negara Islam Irak-Suriah, sebuah lembaga bereputasi di Inggris, organisasi Pemantau Hak Asasi Manusia Suriah (SOHR), juga mengonfirmasi tewasnya sosok yang paling diincar koalisi anti-NIIS ini. Kabarnya, Al-Baghdadi tewas di Provinsi Deir Zorr, wilayah timur Suriah.

Kabar kematian orang nomor wahid di Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) itu makin membuktikan betapa lemahnya kekuatan NIIS setahun terakhir. Setelah Mosul dikendalikan Pemerintah Irak, kini kekuatan NIIS hanya berpusat di Raqqa, Suriah. Koalisasi anti-NIIS yang melibatkan AS, Rusia, Iran, Turki, dan negara-negara Eropa membuahkan hasil maksimal.

Intinya, kekuatan NIIS melemah karena kepemimpinan Al-Baghdadi sangat determinan dan sentralistik. Meskipun demikian, seperti dikhawatirkan banyak pihak, informasi kematian Al-Baghdadi jangan dianggap akhir dari gerakan terorisme.

Untuk sekadar menolak lupa, dulu kematian Osama bin Laden dianggap sebagai akhir dari gerakan terorisme. Tapi, tidak lama setelah itu muncul Al-Baghdadi yang mendeklarasikan khalifah gerakan teroris baru, yang dikenal dengan NIIS. Tidak lama setelah itu, NIIS jadi gerakan global yang melancarkan berbagai aksi terorisme di belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Bahkan, NIIS dianggap lebih brutal daripada Al Qaeda.

Simon Mabon dalam fortune.commenyatakan, setelah kabar kematian Al-Baghdadi, Abu Haitham al-Obaidi—tokoh penting NIIS di Hawija, Irak—sudah mendeklarasikan diri sebagai khalifah. Meskipun, konon, Al-Obaidi sudah menyatakan keluar dari NIIS, tetapi sosok-sosok baru akan bermunculan.

Dalam jaringan terorisme global, mereka tak akan kehilangan sosok-sosok penting yang siap mengendalikan aksi terorisme secara global. Apalagi mereka kini punya instrumen yang sangat mudah dan fleksibel dalam mengonsolidasikan jaringannya, terutama melalui media sosial.

Informasi kematian Al-Baghdadi langsung direspons Dabiq, salah satu media terdepan NIIS, dengan mengeluarkan ancaman berupa serangan mematikan.

Tiga problem

Itu artinya, NIIS setelah kabar kematian Al-Baghdadi tidak menyusutkan ambisinya melakukan perlawanan. Mereka justru mengumandangkan perlawanan lebih besar dan lebih brutal. Kematian Al-Baghdadi tak dapat dipahami sebagai akhir dari NIIS, tapi justru sebagai ancaman serius bagi keamanan global.

Setidaknya ada tiga hal yang jadi problem bagi upaya melawan terorisme global. Pertama, Irak dan Suriah akan menjadi medan pertaruhan baru setelah kematian Al-Baghdadi. Di kedua negara ini banyak eks pasukan NIIS yang dapat jadi ancaman serius.

Di Irak, khususnya mereka eks aktivis/militer yang berafiliasi pada Partai Baats yang sebelumnya loyal terhadap Saddam Husein, mereka mempunyai keahlian melakukan serangan teroris, yang selama ini menjadi milisi NIIS. Di Suriah, kaum militan Sunni yang selama ini berseberangan secara politik dengan Bashar al-Assad. Mereka juga dapat jadi batu sandungan serius karena keterpinggiran mereka secara sosial-politik dapat memaksa mereka melakukan perlawanan dan aksi terorisme yang sewaktu-waktu bisa terjadi.

Kedua, koalisi antara NIIS dan Al Qaeda. Kehadiran NIIS dengan sosok karismatik Al-Baghdadi telah menenggelamkan kedigdayaan Al Qaeda. NIIS dapat menggantikan posisi Al Qaeda setelah kematian Osama bin Laden. Ayman al-Zawahiri yang digadang-gadang sebagai pengganti Osama tidak mampu menyatukan para teroris. Al-Baghdadi yang mendeklarasikan sebagai khalifah mendapat respons lebih baik, apalagi setelah menguasai Mosul dan Raqqa.

Kabar kematian Al-Baghdadi merupakan kabar baik bagi Al Qaeda. Apalagi bagi Hamza, putra Osama bin Laden, yang digadang-gadang akan menggantikan posisi Ayman al-Zawahiri sebagai pucuk pimpinan Al Qaeda. Bagaimanapun, posisi pimpinan dalam jaringan terorisme global sangat penting. Kehadiran Hamza dianggap sebagai angin segar untuk merangkul kembali eks milisi NIIS. Al Qaeda dikhawatirkan akan jadi kendaraan baru bagi para milisi NIIS.

Ketiga, konteks global yang sangat tidak berpihak pada perdamaian. Isu memanas di Masjidil Aqsa, Jerusalem, sangat mengganggu perdamaian dan perlawanan terhadap terorisme global. NIIS dan Al Qaeda seakan mendapatkan umpan lambung bagi proliferasi gerakannya. Isu Palestina dan Masjid Al-Aqsa merupakan isu paling empuk untuk merekrut dan meneguhkan eksistensi terorisme.

Rekonsiliasi politik

Di samping itu, beberapa negara yang masih dilanda konflik politik, seperti Irak, Suriah, dan Libya, dapat menjadi tantangan serius bagi upaya melawan gerakan terorisme global. Aksi terorisme di Manchester, Inggris, terakhir justru dikendalikan oleh jaringan terorisme dari Libya.

Hal itu membuktikan, kontraksi politik di Timur Tengah akibat badai musim semi Arab akan menjadi tantangan besar yang mesti dicarikan jalan keluar dan mendapatkan perhatian.

Setidaknya diperlukan rekonsiliasi politik secara besar-besaran di antara pihak-pihak yang selama ini bertikai. Kubu Sunni-Syiah di Irak, plus suku Kurdi, menjadi agenda penting untuk mengintegrasikan mereka dalam relasi kebangsaan yang paripurna. Kepentingan Irak harus diutamakan daripada kepentingan sekte dan golongan.

Rekonsiliasi politik di Libya juga harus menjadi agenda utama karena negara ini juga menjadi destinasi jaringan terorisme global. Pihak-pihak yang selama ini berseteru harus kembali ke meja perundingan, membentuk konstitusi yang dapat merangkul semua suku, sekte dan faksi politik, serta menjalankan demokrasi yang transparan dan tepercaya. Intinya, Libya harus stabil secara politik, damai, dan aman.

Di Suriah, rezim Bashar al-Assad dan kubu oposisi harus mencari jalan tengah untuk mengedepankan kepentingan negara daripada kepentingan sekte dan politik golongannya. Pihak-pihak yang selama ini bertikai harus kembali ke meja perundingan.

Stabilitas politik di kawasan Timur Tengah dan Arab pada umumnya mutlak diperlukan agar jaringan terorisme global tidak punya "tempat tinggal". Situasi yang berkecamuk di kawasan merupakan tanah yang subur bagi tumbuhnya para teroris dan gerakannya. Karena itu, stabilitas politik menjadi prasyarat mutlak agar para teroris tidak memiliki tempat untuk mengonsolidasikan gerakannya.

Oleh karena itu, setelah kematian Al-Baghdadi masih menyisakan tanda tanya besar. Akankah kita mampu membumihanguskan jaringan NIIS dan terorisme global lainnya di tengah realitas sosial-politik global yang menyisakan problem serius?

Tentu kita tidak bisa membumihanguskan NIIS dan jaringan terorisme. Namun, kita harus berusaha untuk menyelesaikan akar-akar terorisme, seperti melakukan deradikalisasi, mendorong keadilan global terwujud, dan selalu menyuarakan bahwa terorisme merupakan dosa besar dan kejahatan kemanusiaan.

ZUHAIRI MISRAWI, ANALIS PEMIKIRAN DAN POLITIK TIMUR TENGAH THE MIDDLE EAST INSTITUTE

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "NIIS Setelah Al-Baghdadi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger