Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 08 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: Voucer Pangan dan Stabilisasi Beras (KHUDORI)

Seusai resmi mengubah mekanisme penyaluran raskin/rasta di 44 kabupaten/kota, Februari 2017, per Juni lalu pembagian voucer program bantuan pangan nontunai itu dipastikan selesai.

Pada tahap awal, program ini menjangkau 1,5 juta keluarga miskin/rentan atau 9,6 persen dari 15,5 juta rumah tangga sasaran (RTS) beras subsidi untuk masyarakat miskin (raskin), yang berganti istilah menjadi beras subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah (rasta). Setiap bulan rumah tangga sasaran menerima transfer Rp 110.000 dari bank yang ditunjuk. Data penerima diambil dari Pemutakhiran Basis Data Terpadu 2015.

Program melibatkan 14.000 pengecer kebutuhan pokok, terutama beras, berbasis electronic data capture. Lewat Rumah Pangan Kita yang bermitra dengan BNI, BRILink, Mandiri, dan E-Warong KUBE, Bulog diminta menyediakan beras dan gula. Beras dan gula dijual Rp 8.500 per kg dan Rp 12.500 per kg. Dengan asumsi harga beras medium Rp 8.200-Rp 8.500 per kg, RTS mendapatkan 13 kg beras, dua kali raskin/rasta yang diterima selama ini. Ini kurang dari setengah kebutuhan beras bulanan keluarga (Susenas, 2015).

Perubahan mekanisme ini tindak lanjut dari rekomendasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam mekanisme baru ini bukan lagi Bulog yang menerima subsidi dan mengantarkan raskin kepada masyarakat, melainkan pemerintah akan mentransfer langsung uang bantuan per bulan ke rekening RTS berkartu debit. Uang hanya bisa dibelanjakan untuk kebutuhan pokok, seperti beras, gula, dan telur, di pengecer yang ditunjuk. Uang tidak bisa diambil tunai.

Di pengecer ada beraneka ragam beras dengan harga beragam pula. Warga miskin/rentan bisa memilih sendiri, baik harga, kualitas, maupun jumlahnya. Jika uang dalam voucer tidak habis, sisa uang menjadi tabungan.

Skema penyaluran baru ini dapat meningkatkan ketepatan sasaran, waktu, dan administrasi. Kriteria ketepatan kualitas, harga, dan jumlah tidak lagi relevan karena masyarakat miskin/rentan dapat memilih beras sendiri. Skema baru ini juga tidak mendistorsi pasar gabah/beras. Rumah tangga miskin/rentan juga tidak perlu menyediakan uang untuk menebus seperti pada mekanisme sebelumnya. Dana APBD pendamping dari kabupaten/kota dapat dihapus dan direalokasikan untuk yang lain.

Voucerpangan ini mirip program kupon pangan (food stamps) yang diterapkan di AS sejak 1960. Kupon pangan adalah bantuan buat keluarga miskin/penganggur untuk membeli pangan dengan mempertimbangkan jumlah anggota keluarga dan pendapatan bersih. Mereka menukarkan kupon di toko yang ditunjuk. Warga tak boleh mencairkan kupon, beli alkohol, rokok, atau di luar ketentuan.

Sejumlah pertanyaan

Meski diyakini lebih baik, skema penyaluran baru ini masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Pertama, harga pangan di luar Jawa relatif tinggi. Artinya, RTS di luar Jawa akan menerima manfaat lebih rendah ketimbang mereka yang di Jawa.

Kedua, jika pengecer yang ditunjuk tidak menjual beras dan pangan seperti yang dianjurkan, warga perlu menambah ongkos transportasi karena harus bolakbalik. Ini membuat manfaat juga lebih rendah.

Ketiga, besar bantuan sama, Rp 110.000 per RTS. Padahal, anggota keluarga setiap RTS beda. Idealnya besar bantuan sesuai jumlah anggota keluarga.

Keempat, siapa yang mengontrol apabila setelah uang bantuan non-tunai ditukar dengan pangan, lalu pangan dijual untuk membeli rokok atau pulsa?

Pertanyaan penting lain adalah ketika skema ini diperluas untuk 10,5 juta RTS pada 2018, bagaimana stabilisasi harga beras dan nasib Bulog? Pertanyaan ini perlu mendapatkan kepastian agar skema baru penyaluran bantuan tidak membawa kita keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Pertanyaan ini didasari kenyataan bahwa setelah instrumen floor & ceiling price digantikan harga pembelian pemerintah pada 2002, tak ada lagi instrumen riil stabilisasi harga gabah/beras. Sebagai ganti, raskin/rasta yang didesain sebagai bantuan pangan bagi keluarga miskin dialihfungsikan sebagai alat stabilisasi harga beras.

Jumlah penyaluran raskin/rasta 232.000 ton per bulan atau 10 persen dari kebutuhan beras memang besar pengaruhnya pada harga. Ketika raskin/rasta diganti bantuan nontunai, secara teoretis tak ada lagi penyaluran bantuan pangan yang dalam setahun bisa mencapai 2,8 juta-3,4 juta ton itu. Sebagai gantinya, fungsi stabilisasi harga beras kini sepenuhnya bergantung pada kekuatan cadangan beras pemerintah (CBP). Padahal, besaran CBP saat ini hanya 350.000-an ton beras kualitas medium. CBD ini setara untuk kebutuhan tiga hari.

CBP ini mustahil bisa menjadi instrumen pemerintah untuk mengintervensi kegagalan pasar. Selain amat kecil, efektivitas CBD kualitas medium sebagai instrumen stabilisasi juga rendah.

Tidak banyak disadari, kini naik-turunnya harga beras lebih banyak ditentukan beras kualitas premium, bukan medium. Pertumbuhan permintaan beras premium mencapai 11 persen per tahun, mengambil pangsa 38 persen dari total beras beredar. Kelompok konsumen ini kurang peduli dengan harga beras asalkan kualitasnya bagus. Pangsa konsumen kota kini mencapai 56 persen dari total konsumen beras. Sebaliknya, permintaan beras medium tumbuh hanya 9 persen per tahun, mengambil pangsa hanya 21 persen. Beras jenis ini diminati warga berpendapatan rendah, sebagian di antaranya warga miskin (Krishnamurti, 2015; Perhepi, 2016).

Terakhir, bagaimana nasib Bulog? Ketika raskin/rasta diubah jadi non-tunai, secara teoretis tidak ada lagi penyaluran beras Bulog. Karena itu, tidak relevan dan tidak logis menugaskan Bulog menyerap gabah/beras produksi petani. Akan dikemanakan beras serapan domestik itu?

Beras adalah salah satu komoditas biang inflasi. Ketika raskin/rasta tak ada lagi, tidak ada pula benteng pertahanan untuk mengendalikan harga gabah/beras. Harga gabah/beras mudah terombang-ambing perilaku culas para tengkulak dan pedagang. Harga gabah rentan jatuh saat panen raya. Petani sengsara karena Bulog tidak lagi menyerap gabah mereka.

Sebaliknya, harga beras juga rawan melejit tinggi. Inflasi bakal meroket karena instrumen stabilisasi absen. Bagi rakyat, terutama yang miskin, inflasi akan menggerogoti daya beli mereka.

Agar itu tidak terjadi, ada dua jalan. Pertama, memperbesar CBP dari 0,35 juta ton jadi 1,5-2 juta ton. CBP diisi beras kualitas premium. Penggunaan CBP premium selain untuk operasi pasar bisa buat beragam program pemerintah, seperti food for work, ekspor, program anti-kemiskinan, dan bantuan internasional. Anggarannya Rp 15 triliun-Rp 20 triliun. Itu belum termasuk biaya pemeliharaan dan lainnya, diperkirakan lebih besar dari raskin saat ini, yaitu Rp 21,7 triliun.

Kedua, menugaskan Bulog mengisi beras di outlet pembelian pangan non-tunai. Cara ini tidak mengubah signifikan raskin/rasta, terutama dalam kaitan fungsi raskin/rasta sebagai stabilisasi harga gabah/beras. Lebih dari itu, cara ini membuat eksistensi Bulog sebagai penyangga harga pangan tetap terjaga.

KHUDORI, PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI; ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN PUSAT

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Voucer Pangan dan Stabilisasi Beras".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger