Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 15 Agustus 2017

Bangsa sebagai Sukma (NIRWAN AHMAD ARSUKA)

Jika bangsa adalah sebuah sukma, sebuah sila spiritual-seperti kalimat Ernest Renan yang termasyhur itu-bagaimanakah ia merayakan hari kemerdekaannya?

Kusir Kudapustaka Rangkasbitung, seperti banyak relawan Pustaka Bergerak yang tumbuh dan tersebar dari Papua sampai Aceh, tak pernah membaca naskah Renan yang sangat terkenal, "Apa itu Bangsa?" (Qu'est-ce qu'une nation?) Namun, ia bersama sejumlah relawan yang menemani sejak 1 Agustus lalu memasang bendera Merah Putih di bendinya, bergerak keluar-masuk kampung, membawa setumpuk bacaan gratis dan mengajak warga Banten untuk bersama-sama berbagi rasa merdeka dan menyanyikan "Indonesia Raya".

Sukma "Indonesia Raya" juga coba dikukuhkan oleh sejumlah anak muda Bulukumba, Sulawesi Selatan. Mereka merencanakan pengibaran bendera raksasa yang akan diangkut dari pusat kota oleh relawan penunggang Onthel Pustaka ke Desa Bonto Sunggu, tempat museum Kucang Pustaka, dan diserahterimakan ke seorang penunggang kuda yang akan membawanya menuju bukit hingga ke kawasan yang tak lagi bisa dipanjat makhluk tunggangan. Di sana, bendera akan disambut oleh serombongan pemuda yang akan mendaki sampai ke pucuk bukit tertinggi dan kemudian bersama-sama mengibarkan bendera besar Merah Putih itu di puncak pepohonan yang akan tampak berkibar oleh para warga yang berkerumun menunggu di berbagai koordinat Kota Bulukumba.

Di Lampung, para relawan juga akan membentangkan bendera sepanjang 72 meter, jumlah tahun merdeka Indonesia. Delapan anak perempuan, 45 anak lelaki, dan 17 tiang penyangga bambu akan bersatu mengarak bendera itu. Di provinsi yang sangat dinamis dan kreatif jaringan pustaka bergeraknya ini, para relawan yang berbagi rasa merdeka dengan berbagai wahana itu tetap akan menghamparkan lapak baca di sejumlah tempat. Kegiatan membaca bersama di alam terbuka itu dilengkapi dengan berbagai pesta perayaan kemerdekaan, seperti karnaval dan pertunjukan seni, yang memamerkan kekayaan budaya yang mereka punya.

Di pedalaman Papua, guru-guru muda berdarah Batak dan Aceh menyambut Hari Kemerdekaan dengan terus berjuang mengupayakan agar buku-buku yang dikirim oleh masyarakat bisa dibawa sampai ke pedalaman, yang anak-anaknya sangat membutuhkan bacaan. Relawan Muslim di Papua mengampanyekan pengiriman buku-buku kerohanian untuk anak-anak yang beragama Kristen.

Sementara di Flores, NTT, para pemuda Katolik berembuk memecahkan masalah taman pendidikan Al Quran yang kekurangan bahan ajar. Mereka ini telah sanggup melepaskan diri dari kurungan sempit etnis dan agama serta berbuat untuk sebuah persaudaraan yang dalam dan horizontal yang bernama Indonesia.

Patria dan nasion

Yang sibuk dan setengah gemetar memberi bentuk pada Indonesia itu memang bukan hanya para relawan pustaka yang bergerak mendatangi warga sampai ke pelosok. Para dermawan dan relawan pengumpul buku yang banyak bergerak di kota, seperti 1001 Buku, DonasiBuku, Nemu Buku, dan Katakan dengan Buku (hanya untuk menyebut beberapa contoh), juga sibuk merayakan Hari Kemerdekaan yang juga adalah Hari Pengiriman Buku Gratis (Free Cargo Literacy). Kebijakan yang diputuskan Presiden Joko Widodo dan dilaksanakan PT Pos Indonesia ini digagas untuk memecahkan secara relatif menyeluruh problem akses terhadap bacaan agar semua warga bisa berperan dan mengambil manfaat dalam gerakan penyebaran ilmu ke seluruh penjuru Tanah Air.

Minat baca anak-anak Indonesia sebenarnya tinggi, sama tingginya dengan anak bangsa lain yang sudah maju, yang nenek moyangnya tak sanggup menyusun epos besar dan membangun kompleks candi megah. Namun, minat baca tinggi ini dibikin rendah oleh akses yang buruk, oleh jumlah dan mutu bacaan yang tak memadai. Akses yang buruk ini coba diretas para relawan dengan cara mengantarkan sendiri buku-buku itu ke masyarakat yang paling membutuhkan. Ada di antara mereka yang naik-turun gunung atau melaut berjam-jam, bahkan berhari-hari, untuk membawakan buku-buku sumbangan yang adalah barang mewah di kampung-kampung.

Dengan bekerja sesuai kemampuan masing-masing, para dermawan, relawan, dan petugas pos bergabung dalam sebuah gerakan yang membuat berton-ton buku mengambang menentang gravitasi, "menggelintar" di langit Indonesia, 10.000 meter dari permukaan laut, dan tiba di tangan para relawan di berbagai penjuru untuk kemudian disebar ke tengah masyarakat di seluruh Tanah Air. Sampai tulisan ini selesai dikerjakan, masih saja datang laporan dari para relawan dan dermawan buku, sebagian besar ibu-ibu, di berbagai penjuru tentang kegiatan kecil mereka untuk merayakan Hari Kemerdekaan. Semua itu menunjukkan gelora semangat kebangsaan dan cinta Tanah Air yang terus menyala.

Memang bukan hanya kaum pribumi asli Nusantara atau yang menetap di Indonesia yang terlibat gerakan pustaka ini. Sejumlah warga keturunan Tionghoa, Arab, Jepang, India, Amerika, dan Eropa yang sudah tinggal lama di Indonesia akan kembali mengirimkan buku tanpa banyak gaduh dan ikut memberi bentuk pada patriotisme, pada cinta Tanah Air yang telah lama memberi mereka hidup. Sejenis nasionalisme jarak jauh ditunjukkan oleh orang-orang Indonesia yang tinggal dan bekerja di luar negeri, yang bekerja sama mengirim buku untuk perbaikan pendidikan dan menyiratkan kesetiaan mereka kepada bangsanya. Semua ini menyediakan sejumlah bahan yang mungkin bisa diolah untuk mengkaji salah satu bentuk pengukuhan kembali dan penyebaran rasa kebangsaan di era revolusi informasi.

Bhinneka Tunggal Ika

Kajian akademik terpenting, setidaknya buku yang paling banyak dibaca tentang penyebaran nasionalisme, agaknya memang adalah karya Benedict Anderson: Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Teks ini, kita tahu, menyimpulkan bahwa sumber utama nasionalisme antara lain adalah surutnya nilai dari kemampuan istimewa dan elitis untuk memahami bahasa "kudus" (misalnya Latin) karena masyarakat semakin melek aksara dan pengetahuan yang telah diterjemahkan ke bahasa lokal semakin banyak bertebaran. Sumber yang lain adalah gerakan untuk menghapus teokrasi dan monarki yang tak dapat dibantah dan diwariskan turun-temurun. Nasionalisme lama ini kemudian tersebar oleh pertemuan kapitalisme dan teknologi percetakan serta dibakukan oleh standardisasi kalender, jam, dan bahasa nasional.

"Nasionalisme pustaka" yang marak belakangan ini di Indonesia bergerak terutama untuk memperluas akses pada bacaan dan menyebar menunggangi pertemuan kapitalisme mutakhir dan teknologi media sosial, internet. Meskipun tak gentar membangun kerja sama dengan pemerintah, gerakan ini tumbuh di atas keyakinan akan kekuatan sendiri untuk menghapus ketergantungan pada bantuan pemerintah. Banyak relawan-bukan hanya di Wonogiri yang menggerakkan Endok Dadar-Burger-Bakso Bakar Pustaka-menghimpun dana dengan berdagang. Gerakan pustaka adalah bentuk lain dari pemberdayaan masyarakat, gerakan rakyat yang berkutat tidak semata untuk mengobarkan api nasionalisme, akan tetapi terutama untuk ikut membentuk kehidupan nationness (kebangsaan).

Seperti halnya nasionalisme media cetak diam memerlukan pembakuan, nasionalisme media sosial pustaka bergerak juga membutuhkannya. Salah satu pembakuan yang diagendakan memang adalah pemahaman jernih tentang apa itu Indonesia, apa itu Bhinneka Tunggal Ika. Ada banyak cara untuk memahami dan menerapkan semboyan negara kita Bhinneka Tunggal Ika. Salah satunya adalah negara-bangsa harus benar-benar bineka secara kultural, akan tetapi tunggal organik secara politik. Negara yang majemuk secara kultural akan memiliki banyak kekayaan kognitif dan sumber-sumber intelektual untuk menyambut berbagai perubahan. Negara yang tunggal secara politik itu tentu akan mengefisienkan koordinasi dan mempermudah gerak maju.

Sejarah politik Indonesia modern boleh dikata adalah kisah pergulatan menafsirkan dan menerapkan kalimat Bhinneka Tunggal Ika. Sumber perdebatan terjadi di wilayah di mana hal yang seharusnya tunggal ingin dibuat majemuk dan hal yang seharusnya majemuk ingin dibuat tunggal. Yang pasti, negara-bangsa yang harus ditampik dan tak akan berusia panjang adalah negara-bangsa yang secara kultural sangat seragam sehingga membosankan dan secara politik sangat beraneka hingga konflik kekerasan kerap meletup jadi perang saudara.

Itu sebabnya negara bisa dibenarkan jika bertindak mengendalikan kekuatan politik yang ingin mengubah sistem republik yang bisa dikoreksi, menyeret mundur ke sistem non-republik yang tak demokratis dan tak dapat dikoreksi. Di sisi lain, negara memang harus melindungi dan membantu kelompok masyarakat yang ingin menjaga khazanahnya dan mengekspresikan dirinya secara kultural.

Afirmasi

Kita jelas memerlukan banyak buku populer yang mendiskusikan cara hidup berbangsa dan bernegara yang modern. Kita membutuhkan produksi pustaka yang disusun oleh sebuah nasionalisme baru yang karena kemampuan sejarahnya semakin tajam tak lagi mengandalkan para proses lupa.

Nasionalisme dengan semangat ilmiah ini adalah nasionalisme yang ingin mengkaji semua tabu dan menelaah semua bencana masa silam agar kejadian pahit itu tak lagi terulang. Kita membutuhkan banyak bahan yang berisi pengetahuan bukan hanya tentang bangsa dan Tanah Air, tetapi tentang segala hal yang terus berkembang, yang kini menyingkapkan dirinya sebagai berkah terbesar di alam semesta.

Dari bahan-bahan seperti inilah yang dirindukan oleh mereka yang menghidupkan gerakan membawa buku ke tangan warga yang kurang beruntung, ada harapan anak-anak yang tumbuh hari ini benar-benar dapat menjadi generasi emas. Anak-anak yang bergerak tumbuh untuk, meminjam kalimat Harold Bloom untuk konteks yang lain, menjadi diri mereka sendiri, sebagai singularitas yang peduli, dan bukan individualis yang tak hirau pada diri sendiri ataupun orang lain.

Kerja-kerja kreatif memang harus terus digerakkan untuk mengundang datangnya generasi yang di satu sisi sanggup merawat perasaan ikut memiliki sebuah peninggalan yang kaya, dunia di mana mereka merasa sama-sama meneruskan sebuah warisan agung, dengan berbagai sesalnya. Di sisi lain, mampu untuk terus membentuk tekad hidup bersama, berbagi bukan hanya khazanah gemilang, melainkan juga ruang dan makna hidup yang semakin besar dengan sesama. Mereka inilah yang bisa menjadi bagian dari angkatan yang punya kecakapan mengolah zaman yang berubah radikal serta melakukan afirmasi tanpa henti atas kekuatan hidup dan akal budi.

NIRWAN AHMAD ARSUKA

PENDIRI PUSTAKA BERGERAK

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Bangsa sebagai Sukma".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger