Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 16 Agustus 2017

Diorama Proklamasi di Monas//Kamus 1.100 Bahasa Daerah (Surat Kepada Redaksi Kompas)

Diorama Proklamasi di Monas

Saya terperanjat ketika membaca Kompas (28/6) menyaksikan foto tentang diorama di Monumen Nasional yang menampilkan peristiwa pembacaan teks proklamasi.

Sebagai pencinta sejarah yang sudah menulis buku Proklamasi: Sebuah Rekonstruksi, saya baru sadar bahwa diorama tentang proklamasi tersebut mengandung keganjilan dan tak sesuai dengan fakta sejarah.

Pertama, lukisan di dinding yang menjadi latar pembacaan teks proklamasi adalah pemandangan alam, bukan "Sang Pemanah" karya Henk Ngantung. Apakah ini bentuk ketidakcermatan, ketidaktahuan, atau ketidaksukaan rezim pembuatnya kepada sang pelukis?

Kedua, teras yang menjadi lokasi pembacaan teks proklamasi terlalu luas sehingga banyak ruang kosong, berbeda dengan foto-foto proklamasi yang memperlihatkan beberapa tokoh berdiri berdesakan sebagai latar.

Ketiga, konfigurasi para tokoh juga tak mendekati situasi sebenarnya. Tak ada dr Moewardi (ketua panitia sekaligus pemimpin Barisan Pelopor dengan ciri khas mengenakan peci) di belakang Latief Hendraningrat. Tak ada kedua perwira Peta di belakang Bung Hatta (Chudancho Sanusi dan Chudancho Saleh).

Keempat, karena penataan teras terlalu luas, tidak bisa ditampilkan massa di depan teras yang jumlahnya antara 300 orang (taksiran Fatmawati) dan 1.000 orang (taksiran Chudancho Latief). Akibatnya, peristiwa proklamasi dalam diorama ini terlihat kering, statis, elitis, dan tanpa gairah revolusi.

Sehubungan dengan HUT Ke-72 Kemerdekaan RI, saya berharap pemerintah memperhatikan keakuratan sejarah dalam diorama di Monas supaya tak mewariskan ingatan sejarah yang salah kepada generasi penerus yang datang ke Monas dan melihat diorama. Perbaikan dan koreksi perlu dilakukan kalau tidak ingin dicap sebagai bangsa yang hanya punya ingatan pendek tentang sejarahnya sendiri.

OSA KURNIAWAN ILHAM

Jalan Saronojiwo I No 42A, Surabaya

Kamus 1.100 Bahasa Daerah

Polemik akurasi data antarinstansi di Indonesia tak hanya menyangkut pertanian dan pangan, tetapi juga budaya, khususnya jumlah etnisitas dan bahasa daerah.

Presiden Joko Widodo berpidato dan menyebutkan terdapat 714 suku dan 1.100 bahasa daerah di Indonesia. Badan Pusat Statistik menyatakan ada 300 kelompok etnisitas dan 1.340 suku bangsa ("Surat kepada Redaksi" dari AM Setiawan, Kompas, 4/4).

Lembaga Biologi Molekuler Eijkman menyebutkan, 483 suku dan 719 bahasa daerah (Kompas, 16/7). Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi dalam penutupan Asian Youth Day 2017 menyampaikan ada 1.331 suku di Indonesia, sedangkan Kemdikbud melalui Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Ari Santoso menginformasikan 646 bahasa daerah telah diverifikasi hingga Oktober 2016 (Kompas, 7/8).

Ada empat angka berbeda mengenai jumlah suku di samping satu angka mengenai kelompok etnisitas serta tiga angka berbeda mengenai jumlah bahasa daerah. Berdasarkan kebedaan angka itu, pertanyaan mendasar bagi petinggi Indonesia: lembaga mana paling kompeten mengumumkan angka valid dari jumlah suku dan bahasa daerah di Indonesia?

Mengapa Pemerintah Indonesia dalam usia yang ke-72 belum mampu mengoordinasikan data yang akurat dan valid? Inilah pekerjaan rumah sederhana dalam rangka mewujudkan Nawacita, khususnya menghilangkan egoisme antarinstansi demi memberikan informasi akurat kepada masyarakat.

Kemdikbud mengakui beda metodologi menyebabkan jumlah bahasa hasil pemetaan lembaga lain pun berbeda. Kiranya sejumlah lembaga yang melakukan pemetaan bersinergi demi efisiensi dan ketunggalan informasi resmi bagi eselon pejabat lebih tinggi. Terlepas dari beda angka di atas, terdapat 1.100 bahasa daerah di Bumi Pertiwi sesuai yang dinyatakan Presiden Jokowi. Sebagian besar bahasa daerah itu dalam 10-20 tahun mendatang akan lenyap jika tak didokumentasikan sejak sekarang. Karena itu, generasi setiap etnis yang masih ada sekarang wajib melestarikan bahasanya melalui penyusunan kamus. Berharap pada HUT ke-80 RI nanti, ada 1.100 kamus bahasa daerah.

WIM K LIYONO

Surya Barat, Kedoya Utara, Kebon Jeruk, Jakarta Barat

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger