Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 07 Agustus 2017

Guru/Bidan di Daerah Terluar//Lucu dan Mengena//Tanggapan Kemdikbud (Surat Kepada Redaksi Kompas)

Guru/Bidan di Daerah Terluar

Guru dan bidan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal menduduki posisi penting dan strategis. Perlu ada perlakuan khusus dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, yang bersangkutan.

Sebutan terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) sudah berasosiasi betapa sulit daerah itu. Orang yang ditempatkan di sana perlu berfisik-mental yang andal serta perlakuan khusus. Diperlukan pula aturan khusus. Umumkan secara terbuka syarat khusus yang harus dipenuhi: umur, surat keterangan sehat, bersedia ditempatkan di daerah 3T minimal tiga tahun, dan syarat minimal pendidikan untuk guru dan bidan. Perlu tes tertulis atau wawancara yang materinya disiapkan tim pemerintah pusat untuk mengetahui kesiapan fisik dan mental mengabdi di daerah 3T.

Pemerintah harus memenuhi fasilitas kepegawaian yang menyangkut pemerintah pusat dan daerah bersangkutan. Mereka yang diterima harus ditentukan pangkat, golongan, dan gaji bulanannya. Status kepegawaiannya: pegawai negeri pusat menurut kementeriannya. Pembayaran gajinya setiap bulan merupakan tanggung jawab kementerian yang bersangkutan. Demikian pula kenaikan gaji berkala dan kenaikan pangkat/golongan.

Karena mengabdi di daerah 3T, mereka harus dapat tunjangan khusus Rp 3 juta-Rp 5 juta per bulan menurut tingkat kesulitan daerahnya. Ini tanggung jawab pemda. Semoga masukan ini jadi pertimbangan pihak yang berkepentingan supaya ada orang Indonesia yang bersedia mengabdi di sana.

EDI SUBROTO, LARANGAN, GAYAM, SUKOHARJO, JAWA TENGAH

Lucu dan Mengena

Kami sekeluarga telah membaca esai Agus Noor, "Koruptor Kita Tercinta", di halaman 6 Kompas edisi 15 Juli yang lalu. Lucu, ringan, mengena, dan mudah dipahami. Rakyat yang sedih bisa tertawa, merasa dibela.

TITI SUPRATIGNYO, PONDOK KACANG BARAT, PONDOK AREN, TANGERANG SELATAN, BANTEN

Tanggapan Kemdikbud

Menanggapi surat Wim K Liyono, "483 Etnik dan 719 Bahasa" di Kompas (26/7), dengan ini Kemdikbud menginformasikan bahwa hingga Oktober 2016 kami telah memverifikasi 646 bahasa daerah—bukan dialek atau subdialek. Jumlah bahasa itu diperoleh berdasarkan hasil pengolahan data pemetaan bahasa yang diambil di 2.348 daerah pengamatan (DP) di seluruh Indonesia sejak 1992. Jumlah itu akan bertambah seiring dengan pertambahan DP dalam pemetaan berikutnya. Masih banyak bahasa daerah yang belum dipetakan.

Untuk analisis, kami menggunakan metode dialektometri. Analisis itu terhadap 400 kosakata daerah yang berasal dari 200 kosakata dasar Swadesh dan 200 kosakata budaya. Analisis atas kosakata difokuskan pada tataran fonologi dan leksikon.

Kedua tataran linguistik itu dianggap lebih dapat membedakan antarbahasa yang ada jika dibandingkan dengan perbedaan gramatika dan semantik.

Dasar penentuan status isolek dalam pemetaan Badan Bahasa adalah 81% ke atas dianggap perbedaan bahasa (satu bahasa), 51-80% dianggap perbedaan dialek, 31-50% dianggap perbedaan subdialek, 21-30% dianggap perbedaan wicara, dan 20% ke bawah dianggap tak ada perbedaan. Isolek sendiri merupakan istilah dalam linguistik yang menggambarkan sebuah garis pada peta bahasa yang menghubungi daerah yang mewakili kelompok penutur yang menggunakan unsur bahasa (fonologi dan leksikal) yang sama pada satu kata tertentu.

Kami informasikan bahwa penentuan bahasa dan jumlah bahasa yang digunakan di suatu wilayah bergantung pada metodologi yang dipakai dalam pemetaannya. Setiap metodologi berimplikasi pada perbedaan penentuan bahasa dan jumlah bahasa pada suatu wilayah. Karena perbedaan metodologi itu, jumlah bahasa hasil pemetaan lembaga lain pun berbeda-beda.

Penghitungan statistik mengenai jumlah suku bangsa dan bahasa memang memiliki problematik yang kompleks. Suku bangsa yang ada di Indonesia, menurut sensus penduduk yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik pada 2010 (SP2010), berjumlah 1.340 lebih. Berdasarkan SP2010 itu pula disebutkan bahwa seperti halnya jenis suku bangsa yang sangat beragam, jenis bahasa daerah juga beragam. BPS tak menyebutkan jumlah bahasa, tetapi jenis bahasa daerah.

ARI SANTOSO, KEPALA BIRO KOMUNIKASI DAN LAYANAN MASYARAKAT, KEMDIKBUD

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger