Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 14 Agustus 2017

Patung dan Politisasi Identitas (H A L I L I)

Patung Dewa Perang Kongco Kwan Sing Tee Koen di kompleks Kelenteng Kwan Sing Bio, Tuban, Jawa Timur, sekonyong-konyong menjadi polemik.

Sehubungan tekanan pemerintah terkait perizinan dan unjuk rasa massa, atas inisiatif pengelola kelenteng, patung setinggi 30,4 meter itu kini ditutup kain putih.

Polemik patung Dewa Perang (ada yang menyebut Dewa Keadilan dan Dewa Kesetiaan) tertinggi se-Asia Tenggara tersebut bukanlah satu-satunya isu terkait keberadaan patung. Pada Oktober tahun lalu, patung Buddha Amithaba di Vihara Tri Ratna di Tanjung Balai, Sumatera Utara, juga diturunkan oleh Pemerintah Kota Tanjung Balai setelah ada desakan dari organisasi masyarakat, dan Forum Komunikasi Antar-Umat Beragama (FKUB) setempat.

Pada Februari 2015, Monumen Jayandaru di Alun-alun Sidoarjo, Jawa Timur, bahkan dibongkar. Patung-patung manusia pada monumen itu dianggap melanggar norma agama dan tidak sesuai kultur masyarakat setempat.

Jauh sebelumnya, pada Juni 2010, patung Tiga Mojang setinggi 15 meter di Perumahan Harapan Indah, Bekasi, dibongkar paksa Pemerintah Kota Bekasi setelah didemonstrasi sejumlah ormas keagamaan.

Dua situasi minor

Polemik patung di Indonesia, terutama patung-patung yang terkait dimensi teologis-baik pada patung atau pada pemrotesnya-mengindikasikan dua situasi minor di level masyarakat. Pertama, gejala ahistorisitas tentang nilai-nilai keindonesiaan, yang sejatinya terekam dalam aneka lapis ekspresi sosio-kultural, norma dan pranata, ritus dan institusi, serta artefak dan simbol-simbol.

Kalau kita menyelisik simpul- simpul kultural penting Nusantara, terlalu banyak artefak dan karya seni rupa berupa patung, arca, dan monumen yang dapat disepadankan dengan patung dan monumen yang dipersoalkan itu. Simbol-simbol fisik tersebut hampir seluruhnya memiliki dimensi metafisis dan spirit religio-magis yang turut menguatkan bangunan masyarakat dan bangsa Indonesia. Mempersoalkan patung dan monumen tersebut sejatinya menafikan nilai-nilai keindonesiaan kita dan mengangkangi fakta keras sejarah Indonesia.

Kedua, fenomena tekstualisasi ajaran agama. Menolak patung dengan menggunakan dalil-dalil agama merupakan bukti lain tumbuhnya gejala pendangkalan keagamaan hanya sebatas pada teks-teks ajaran agama. Teks-tekssamawi dicerabut dari konteks sosio-kulturalnya.

Politisasi identitas

Dalam perspektif politik, polemik patung dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan penguatan gejala politisasi identitas. Aspirasi tersebut sebagian besar digerakkan oleh keinginan untuk menegaskan identitas keagamaan yang belakangan dipertebal dengan sentimen etno-nasionalisme. Dengan sendirinya hal itu berimplikasi pada marjinalisasi dan eksklusi identitas-identitas keagamaan yang minor.

Politisasi identitas tersebut bahkan dalam banyak kasus penolakan patung diekspresikan dalam bentuk mobilisasi massa. Pemrotes seakan-akan menyampaikan pesan bahwa aspirasi mereka merepresentasikan umat yang secara nominal sangat banyak dan karena itu kekuatan politik elektoralnya juga besar.

Pesan politik inilah yang bisa dengan mudah menaklukkan otoritas politik pemerintah di tingkat lokal. Para politisicum kepala daerah cenderung tunduk pada kehendak mereka yang memiliki potensi suara sangat besar dalam perhelatan politik elektoral di daerah tersebut. Pemerintah daerah kemudian memanfaatkan instrumen administratif berupa perizinan untuk mempersoalkan patung-patung tersebut sebagai kamuflase bagi politisasi identitas tersebut.

Pola semacam ini juga terjadi dalam berbagai persoalan pendirian dan kasus-kasus gangguan atas tempat ibadah penganut agama/kepercayaan minoritas. Dengan kalimat lain, birokratisasi sentimen keagamaan (baca juga: intoleransi) merupakan pola umum politisasi identitas keagamaan yang efektif untuk mendiskriminasi dan mengeksklusi kelompok-kelompok agama minoritas.

Pola inilah yang mulai terlihat dalam polemik Patung Dewa Perang dalam keyakinan Konghucu dan masyarakat etnis Tionghoa di Tuban, Jawa Timur. Mempersoalkan perizinan patung itu hanyalah bungkus terluar dari penguatan sentimen dan politisasi identitas keagamaan.

Dalam perspektif keindonesiaan, kita berharap negara-khususnya Pemerintah Kabupaten Tuban-menempatkan rekognisi atas keragaman identitas keagamaan dan perlindungan hak-hak dasar minoritas keagamaan di atas birokratisasi sentimen keagamaan. Tanpa itu, akan terjadi dua kemungkinan. Pertama, pemerintah membongkar paksa simbol-simbol minoritas yang dipersoalkan. Kedua, yang minoritas akan mengalah demi tirani kerukunan dan tertib sosial.

HALILI

Pengajar Ilmu Politik pada Program Studi PKn FIS Universitas Negeri Yogyakarta dan Peneliti di Setara Institute for Democracy and Peace

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Patung dan Politisasi Identitas".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger