Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 15 Agustus 2017

Sikap Merdeka (LIMAS SUTANTO)

Pada tingkat yang dalam pada arsitektur mental, merdeka adalah keterbebasan dari cara memikir dan mengalami tunggal. Orang merdeka fleksibel memikir dan mengalami, tak terikat, tidak terpaku pada sebuah jalan satu-satunya.

Summers-diilhami oleh Husserl dan Heidegger-melukiskannya sebagai keadaan manusia yang kaya dengan "banyak jalan mengalami hidup dan hubungan", other ways of being and relating, bahkan kini dan ke depan masih saja mengarungi "cara-cara baru menjalani kehidupan", new ways of being and relating.

Menjadi orang terjajah adalah sekadar salah satu jalan mengalami hidup dan relasi. Orang- orang Indonesia pernah bosan dan muak sekali dengan cara yang memaksa itu sehingga mereka mengeluarkan diri dari cengkeraman jalan tunggal tersebut. Bahkan, dengan pengorbanan terberat, memasuki cara-cara baru mengalami hidup yang dinamai kemerdekaan kebangsaan dan mereka disebut insan-insan merdeka.

Selanjutnya mereka tidak menjamin diri tetap merdeka. Merdeka bukanlah raihan sekali untuk selamanya karena ia adalah sebuah sikap terhadap hidup. Sikap (atau cara memikir dan mengalami) bukanlah barang mati. Ia dapat berubah walaupun dapat dipertahankan dan ditumbuh-kembangkan.

Ketika kini, di tahun-tahun terakhir ini, orang-orang Indonesia membesarkan diri sebagai pemangku satu-satunya kebenaran, sikap merdeka ditanggalkan. Suatu pengertian atau pernyataan tentang kebenaran hanyalah sebuah cara memikir dan mengalami, sekadar a way of being and relating, yang jika dijadikan satu-satunya jalan yang mengikat dan memaku manusia, menjelmakan insan terbelenggu, orang yang tidak merdeka.

 Karena manusia yang merdeka tidak terikat dan tak terpaku pada sebuah cara memikir dan mengalami yang tunggal, ia menjalani hidupnya dengan toleransi terhadap yang lain dan beda; dia pun mau, dapat, dan sungguh terhubung dengan pihak-pihak lain, pada dasarnya tanpa batas, nondiskriminatif; ia bekerja sama untuk menghasilkan kebaikan dan keberuntungan bagi semua pihak; dan, yang terakhir, barangkali terpenting, ia terus merawat kemerdekaannya, terutama dengan "mengecilkan diri" (inilah lawan dari "mengagungkan diri") serta "meninggikan liyan".

Dunia Indonesia kini yang berubah luar biasa-apabila dibandingkan dengan keadaan di seputar tahun 1945-karena aplikasi teknologi informasi secara dahsyat justru ditandai dengan keadaan-keadaan yang mengaburkan kemerdekaan. Intoleransi terhadap yang lain dan beda diingar-bingarkan dengan pernyataan-pernyataan kebenaran tunggal secara menggelegar sampai terkesan sebagai sebuah "nilai", bagaikan sebuah "ukuran moral terkini". Jika pada perspektif merdeka seyogianya orang malu menampilkan intoleransi, di Indonesia hari kini justru mereka yang lantang menyikapkan diri yang tidak toleran terhadap liyan merasa bangga dan besar.

Apabila pada bentangan wawasan kemerdekaan selayaknya insan yang hanya sudi terhubung dengan golongan tertentu saja, akan menghayati rasa tak patut, tetapi yang terjadi kini justru penganjuran gempita mengeksklusikan pihak yang lain dan beda, yang "bukan kita". Kerja sama buat membuahkan keberhasilan dan kebaikan bagi semua pun ternafikan. Kata "semua" hanyalah diartikan "golongan kita", bukan "kaum-kaum yang lain bersama golongan kita". Dan, keseluruhan gejala itu diresapi dengan kenirsadaran mengangkat diri sebagai yang besar dan tinggi, satu-satunya yang benar, sekaligus tanpa rasa bersalah, tiada dapat merasakan kesedihan dan perlunya mawas diri.

Gejala-gejala tersebut agaknya hanya meresap dalam tidak banyak orang. Namun, dalam dunia Indonesia kini yang ditembusi bebasnya efek teknologi informasi, gejala-gejala tidak merdeka itu dapat menjadi lazim, seperti mengukuhkan bahwa ketakmerdekaan itu biasa, bahkan bernilai. Penjungkirbalikan nirsadar yang dahsyat sesungguhnya melawan sikap merdeka dan kemerdekaan, sementara merdeka dan kemerdekaan masih banyak dibanggakan dalam ucapan-ucapan.

Sesungguhnya ada rasa malu di hari kini mengucapkan "merdeka" karena bangsa sedang menghadapi kenyataan ketakmerdekaan pada tataran kejiwaan yang dalam. Namun, rasa malu dan tak pantas itu akan berangsur sirna seiring bertumbuh kembalinya keberanian untuk "mengecilkan diri", menyadari betapa sungguh teramat kecilnya diri, di tengah tebaran liyan yang banyak dan beraneka, apalagi di hadapan alam semesta, terlebih-lebih di hadapan Sang Pencipta-nya.

Tiada seorang insan pun yang menjadi pemilik satu-satunya cara memikir dan mengalami yang benar. Tak ada orang yang merupakan penguasa atas kebenaran tunggal. Setiap orang hanyalah manusia biasa yang menjadi berharga tatkala ia rendah hati, fleksibel memikir dan mengalami, mau dan dapat terhubung dengan liyan (pada dasarnya secara tanpa batas), mengejawantahkan kerja sama dengan semua untuk membuahkan kebaikan dan keberhasilan untuk semua.

LIMAS SUTANTO

PSIKIATER, TINGGAL DI MALANG

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Sikap Merdeka".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger