Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 09 Agustus 2017

Sistem Zonasi dan Pemerataan//Rakyat dan Sawit (Surat Kepada Redaksi Kompas)

Sistem Zonasi dan Pemerataan

Pendidikan secara konstitusi diatur dan membuka ruang, bahkan "garansi", agar negara memberikan pendidikan yang layak terhadap warganya. Tanggung jawab bisa diartikulasikan sebagai bentuk intervensi negara secara total dengan upaya konkret—mungkin juga—melalui produk kebijakan yang pro-kepentingan orang banyak.

Alinea ke-4 Pembukaan UUD 45 mengisyaratkan negara tak punya alasan untuk tak mencerdaskan warganya. Untuk menuju kualitas pendidikan yang diharapkan, negara mesti merumuskan kebijakan dengan pendekatan holistik. Kebijakan zonasi salah satunya. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 17 Tahun 2017, sekolah harus menerima 90 persen peserta didik dari daerah sesuai zona terdekat (sistem zonasi) yang diatur daerah masing-masing. Yang 10 persen dialokasikan untuk dua kategori: 5 persen bagi peserta didik berprestasi dan 5 persen peserta didik perpindahan antardaerah atau luar negeri.

Sistem zonasi yang diberlakukan dalam penerimaan peserta didik baru 2017/2018 ini oleh Kemdikbud dilematis. Di satu sisi, kebijakan zonasi jadi roh untuk meningkatkan pemerataan kualitas pendidikan demi memutus ketimpangan kualitas pendidikan di sejumlah sekolah di Tanah Air. Sistem zonasi diharapkan mampu memutus sekat sekolah favorit dan sekolah pinggiran.

Di sisi lain, kebijakan zonasi yang digadang-gadang menjembatani keterpurukan sekolah pinggiran ini tidak efektif. Sarana prasarana belum cukup memadai. Ada beberapa daerah yang jumlah penduduknya banyak, tetapi sekolah pada zona terdekat minim. Ini akan mubazir karena di sisi lain kebijakan dibuat agar ada pemerataan, tetapi pada hemat saya, pada kenyataan dalam hal ini tak terjadi.

Kedua, kebijakan seakan-akan tiba saat tiba akal. Artinya, dari sisi lain, pemerintah mesti menyiapkan segala sumber daya yang akan dibutuhkan saat kebijakan itu diimplementasikan. Dengan begitu, tujuan pengorbitan sebuah kebijakan bisa tersentuh sesuai dengan kebutuhan.

Seharusnya pemerintah terlebih dulu mendata, mengobservasi antara jumlah siswa pada zona terdekat dan ketersediaan sekolah di wilayah-wilayah tersebut.

TRISNO MAIS, KELURAHAN BATU KOTA LINGKUNGAN 1, MALAYANG, MANADO

Rakyat dan Sawit

Saya rakyat yang hidup dari tanaman kelapa sawit. Membaca Kompas (2/8) halaman 12, "Pembangunan Hijau: Lingkungan Hidup, SGDs, dan Isu HAM", membuat hati tersentak dan bergejolak tak karuan. Apakah sawit tempat saya mencari makan selama 27 tahun berubah menjadi monster mematikan? Merugikan negeri, bahkan sumber petaka hidup yang maha-dahsyat?

Disebutkan bahwa kerugian akibat kebakaran hanya dalam empat bulan adalah Rp 221 triliun, sementara ekspor minyak sawit sekitar 16 miliar dollar AS (sekitar Rp 208 triliun). Logika yang dibangun, secara rupiah saja sawit itu sudah minus atau rugi Rp 13 triliun. Dengan konstruksi pikir seperti ini, sawit tidak layak secara ekonomi, bahkan merugikan sosial dan lingkungan. Ini menyesatkan. Opini digiring: sawit biang kebakaran, sumber petaka, dan monster mematikan.

Tulisan itu jadi musik penyemangat dan memacu para pembenci sawit menabuh lebih kencang genderang kampanye negatif, bahkan hitamnya.

Tolong jangan dilupakan, kelapa sawit menjadi gantungan asa dan nafkah jutaan rakyat negeri ini. Berdasarkan data Kementerian Pertanian dan PASPI (2015), tercatat ada 7.988.464 pekerja, terdiri dari 4.636.042 tenaga kerja petani dan 3.352.422 karyawan. Harap dicatat, 41 persen dari 11,5 juta hektar total areal kelapa sawit Indonesia adalah milik petani. Jika setiap pekerja memiliki istri dengan dua anak, tak kurang dari 31 juta rakyat negeri ini hidup di bawah pohon sawit.

Sulit dibayangkan apa yang akan terjadi jika akal sehat kita tunduk pada berahi "membunuh sawit". Bisa jadi komoditas sawit akan jadi sejarah mengikuti kisah tragis komoditas lain yang pernah jaya dan jadi kebanggaan. Sebagai pekerja, akankah kami seperti karyawan sebuah pasar swalayan internasional baru-baru ini: di-PHK-kan karena perusahaan mereka bubar akibat berbagai soal?

Semoga Tuhan masih memberi kewarasan pikir sehingga kami tak hilang nafkah untuk hidup dan pendidikan anak kami yang bergantung pada kelapa sawit.

SUMARJONO SARAGIH, KECAMATAN KALIDONI, PALEMBANG

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Surat Kepada Redaksi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger