Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 10 Agustus 2017

TAJUK RENCANA: Mengatasi Dilema Cantrang (Kompas)

Dua setengah tahun sejak penggunaan cantrang untuk menangkap ikan dilarang, sejumlah nelayan merasa belum mendapat alat pengganti.

Belum tersedianya alat tangkap pengganti bagi semua nelayan dan kurangnya sosialisasi di lapangan menimbulkan dampak ketidakpuasan nelayan.

Harian ini melaporkan, sejumlah nelayan yang menerima alat tangkap pengganti cantrang dari pemerintah menjual alat itu dengan harga murah. Hal itu disebabkan kurangnya sosialisasi, pembagian tidak merata, lemahnya pengawasan, jumlah jaring yang dibagikan kepada nelayan sedikit sehingga tidak menutup biaya operasi nelayan.

Kita memahami kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan melarang penggunaan cantrang. Cantrang bersifat tidak selektif, menangkap berbagai jenis ikan dan krustasea, seperti udang, kepiting, dan kerang, dioperasikan di dasar laut secara aktif. Karena itu, alat tangkap ini membawa risiko terganggunya kelestarian sumber daya ikan.

Cantrang adalah salah satu alat tangkap yang dilarang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2/Permen/KP/2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawl) dan pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Cantrang termasuk jenis pukat tarik berkapal (boat seines) selain dogol, payang, dan lampara dasar. Penggunaan pukat hela juga dilarang oleh peraturan menteri yang terbit 8 Januari 2015 tersebut.

Pertimbangan pelarangan adalah karena mengakibatkan turunnya sumber daya ikan dan mengancam kelestarian lingkungan sumber daya ikan.

Pelarangan pemakaian alat tangkap yang terbukti mengancam keberlanjutan pemanfaatan sumber daya ikan pernah dilakukan pada 1980 berupa larangan penggunaan pukat harimau (trawl) secara nasional. Dinas Perikanan di Cirebon melarang pemakaian jaring arad pada 1995 dan Bupati Bengkalis pada 2002 melarang penggunaan jaring batu. Semuanya karena bersifat tidak selektif.

Ikan yang dianggap berasal dari hasil tangkapan tidak ramah lingkungan juga berisiko ditolak masuk ke sejumlah negara tujuan ekspor. Hal ini menjadi cara menghalangi masuknya ikan kita memakai hambatan nontarif.

Namun, pada sisi lain pemerintah juga harus memperhatikan kesejahteraan nelayan dan keluarganya. Pemerintah perlu bekerja lebih cepat dan lebih sistematis. Nelayan sebagai kelompok masyarakat berpenghasilan menengah-bawah perlu segera mendapat penghasilan.

Apabila terlalu lama tidak dapat melaut, dampaknya akan merembet pada macetnya kredit perbankan. Transparansi seluruh pergantian alat tangkap dan komunikasi publik yang baik menjadi penting agar semua pemangku kepentingan mendapat kepastian.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Mengatasi Dilema Cantrang".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger