Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 08 September 2017

Antibiotik Daya Beli (ANTON HENDRANATA)

Puasa dan Lebaran biasanya menjadi bulan rahmat dan sukacita bagi semua kalangan. Produksi dan konsumsi bak gayung bersambut merayakan momen ini setiap tahun.

Kegiatan perekonomian sangat bergairah, kejar-kejaran produksi bukanlah pemandangan yang aneh. Inflasi pun naik tajam karena konsumsi meningkat signifikan. Namun, tahun ini kita disuguhi pemandangan yang agak berbeda dan tidak biasa, serta anomali, katanya. Sebagian besar pelaku ekonomi mengeluh, penjualan mereka turun signifikan dibandingkan dengan tahun lalu. Pengunjung pasar tradisional/modern, pertokoan, dan mal terlihat lebih sepi.

Sejalan dengan penjualan yang turun, seharusnya keuntungan perusahaan juga turun. Namun faktanya, perusahaan besar yang sudah mapan malahan mencatatkan kenaikan keuntungan di paruh pertama 2017. Suatu perspektif yang unik dan menarik, tengok saja keuntungan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Sebagian besar menunjukkan kenaikan keuntungan pada semester I-2017 dibandingkan dengan 2016.

Sektor lembaga keuangan bank dan nonbank naik sekitar 28,8 persen dengan keuntungan Rp 38,2 triliun diikuti sektor konsumen dan farmasi sekitar 6,7 persen (Rp 19,6 triliun), sektor otomotif dan peralatan berat 37,3 persen (Rp 13,2 triliun), sektor pedagang eceran 25,7 persen (Rp 2,4 triliun), sektor telekomunikasi 12,8 persen (Rp 14,1 triliun), sektor konstruksi 82,2 persen (Rp 2,5 triliun), sektor infrastruktur 126,4 persen (Rp 1,1 triliun), serta energi dan pertambangan 117,8 persen (Rp 2,2 triliun).

Sebaliknya, hanya dua sektor yang kinerjanya buruk, yaitu sektor properti yang mencatat penurunan keuntungan 1,4 persen (Rp 1,7 triliun) dan yang paling parah adalah sektor jasa karena mencatat kerugian makin besar dari Rp 0,8 triliun menjadi Rp 3,7 triliun.

Dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif flat dibandingkan dengan 2016, dugaan saya, perbaikan keuntungan perusahaan lebih karena keberhasilan meningkatkan efisiensi biaya. Sampel dari empat perusahaan menunjukkan keuntungan naik dari Ramayana (45,3 persen), Matahari (15,5 persen), Indofood (1,8 persen), dan Unilever (10,0 persen), tetapi penjualannya melambat dibandingkan dengan 2016.

Kenaikan penjualan Ramayana tahun ini lebih rendah daripada 2016. Penjualan hanya naik 9,8 persen semester I-2017 dari 24,5 persen pada 2016. Matahari kenaikan penjualannya hanya 10,8 persen, jauh menurun dari 31,0 persen. Indofood naik tipis 1,6 persen dari 9,8 persen pada 2016. Unilever kenaikannya melambat, hanya 2,5 persen pada semester I-2017 dari 10,3 persen tahun lalu.

Penjualan turun seharusnya tak bisa langsung disimpulkan daya beli masyarakat turun. Mungkin juga akibat masyarakat melakukan penundaan konsumsi untuk antisipasi kepastian dan regulasi pemerintah ke depan?

Pro dan kontra turunnya daya beli ini menjadi cukup heboh dan mendominasi panggung perekonomian domestik saat ini. Apa betul terjadi penurunan daya beli masyarakat? Kalau bukan penurunan daya beli, apa karena penundaan belanja(spending)? Atau keduanya? Atau sebaliknya, daya beli masih cukup kuat, tapi ada perubahan perilaku masyarakat dari belanja konvensional (nondaring) ke daring?

Pada awalnya, saya berharap hanya penundaan belanja dari masyarakat. Apalagi tahun ini Lebaran berdekatan dengan tahun ajaran baru sekolah. Masyarakat lebih tersedot keuangannya untuk kepentingan sekolah dan lebih berhemat dalam merayakan Lebaran. Namun, ternyata jika kita telusuri hati-hati, memang ada pelemahan daya beli masyarakat. Penurunan daya beli ini bersifat tidak dadakan, tetapi suatu proses yang perlahan dan mengikis kemampuan belanja masyarakat.

Tanda-tanda penurunan daya beli ini awalnya dipicu oleh turunnya harga komoditas ekspor primer Indonesia (terutama batubara dan kelapa sawit) sejak 2011. Pelemahan harga komoditas menyebabkan tabungan domestik bruto/TDB (gross domestic saving) turun. Puncak TDB terjadi tahun 2011, rasio TDB terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 35,5 persen, dengan tren yang menurun ke 32,9 persen tahun 2016, diperkirakan tahun 2017 akan sedikit menurun lagi sekitar 32,5 persen.

Kondisi inilah yang menjadi asal muasal turunnya daya beli masyarakat, yang tecermin dari turunnya pertumbuhan uang beredar M1 riil secara signifikan, dari 16,2 persen pada 2012 ke 1,0 persen pada 2014. Kemudian, daya beli masyarakat mulai membaik sejak 2015, tecermin dari rata-rata pertumbuhan uang beredar M1 riil sekitar 5,3 persen 2015 dan terus meningkat 11,5 persen semester I-2017.

Tak separah perkiraan

Jadi, sangat jelas di sini bahwa sebenarnya penurunan daya beli tidak separah yang diperkirakan banyak orang. Daya beli sudah menunjukkan perbaikan, terutama dua tahun terakhir, tetapi mungkin dorongannya tidak cukup kuat untuk menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi 5 persen tak cukup menanggung beban ekonomi yang ada, mungkin perlu minimal 5,5 persen. Akibatnya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga cenderung stagnan dan lambat, hanya 4,95 persen kuartal II-2017 dari 4,94 persen kuartal sebelumnya.

Oleh karena itu, pelemahan permintaan tidak dapat dihindarkan, yang berujung pada penjualan turun signifikan di hampir semua sektor perekonomian. Penurunan penjualan makin tertekan ketika masyarakat level atas cenderung menunda pembelanjaannya atas berbagai alasan psikologis, bukan daya beli.

Lihat saja, untuk lapisan atas dengan tabungan di atas Rp 5 miliar, pertumbuhan tabungan rupiahnya meningkat ke 15,3 persen pada Mei 2017 dari 11,5 persen pada tahun lalu. Begitu juga dengan tabungan di atas Rp 2 miliar sampai Rp 5 miliar, pertumbuhan tabungan rupiah meningkat dari 7,8 persen ke 8,6 persen pada Mei 2017. Hal sebaliknya, untuk lapisan menengah dengan tabungan Rp 2 miliar ke bawah, rata-rata mengalami penurunan pertumbuhan tabungan dari 8,8 persen pada tahun lalu ke 7,7 persen pada Mei 2017.

Dugaan saya, kurang bergairahnya perekonomian sektor riil penyebab utamanya adalah kurang siapnya perekonomian Indonesia berubah secara struktural. Konsumsi rumah tangga yang selalu jadi andalan sebagai motor penggerak perekonomian domestik selama lebih dari setengah abad (56 tahun sejak 1960) tampaknya mengalami kejenuhan.

Lemahnya konsumsi rumah tangga sangat jelas terlihat dari kian besarnya peranan konsumsi makanan dan minuman dari 26,2 persen semester I-2012 menjadi 38,7 persen pada semester I-2017. Adapun konsumsi pakaian (dari 4,8 persen ke 2,7 persen), konsumsi transportasi dan komunikasi (dari 29,5 persen ke 26,7 persen), konsumsi hotel dan restoran (dari 12,5 persen ke 10,6 persen), serta konsumsi lainnya (dari 5,3 persen ke 2,0 persen), semuanya mengalami tren penurunan.

Untuk menggeser sumber pertumbuhan Indonesia dari konsumsi ke investasi tentunya bukan seperti membalikkan telapak tangan. Warisan infrastruktur yang tidak memadai, bahkan cenderung buruk, menjadi beban yang sangat berat bagi pemerintahan saat ini. Akibatnya, estafet untuk mengurangi ketergantungan pada konsumsi ke investasi tak berjalan mulus.

Tuntutan untuk segera memperbaiki buruknya infrastruktur dan dampak positifnya dirasakan secara instan terkesan kurang adil terhadap pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Meski begitu, pemerintah coba merealisasikan secara masif selama dua tahun terakhir ini dengan keterbatasan anggaran yang sangat minim. Alhasil, terjadilah beban defisit APBN yang makin membengkak untuk membiayai infrastruktur. Yang mengharuskan pemerintah untuk menaikkan target tinggi penerimaan pajaknya, pada saat perekonomian masih belum terlalu kuat.

Dengan kondisi perekonomian yang stagnan, mungkin anggaran pembangunan infrastruktur bisa dikurangi 15-20 persen dari total anggaran infrastruktur 2017 sekitar Rp 368 triliun. Hal ini, paling tidak, dapat mengurangi tekanan terhadap penerimaan yang ditargetkan pemerintah. Jika memungkinkan sebagian potongan dana infrastruktur dapat menambah stimulus jangka pendek, terutama untuk mendorong daya beli masyarakat miskin.

Langkah jangka pendek

Dalam jangka pendek, kita harus waspada terhadap efek crowding out, yang mengganggu daya beli, menunda konsumsi dan investasi, serta pada akhirnya akan mengganggu akselerasi pertumbuhan ekonomi yang seharusnya bisa dicapai. Saya kira hanya pemerintah yang dapat bertindak cepat memberikan suntikan antibiotik stimulus fiskalnya untuk menghindari efek crowding outmenggurita dalam perekonomian.

Ada dua kelompok ekonomi yang harus segera dicarikan obat penawarnya.

Pertama, penduduk miskin atau kelompok bawah yang sangat tergerus daya belinya akibat kenaikan inflasi tahun ini yang lebih tinggi daripada tahun lalu. Program Keluarga Harapan (PKH) dan beras sejahtera segera dikejar eksekusinya, yang sempat tertunda. Kemudian, dana desa sekitar Rp 59 triliun ditingkatkan efektivitas dan implementasinya di lapangan sehingga bisa menggenjot ekonomi di perdesaan lebih cepat.

Jika memungkinkan, diberikan bantuan langsung tunai (BLT) ala Jokowi- Kalla yang tepat menyasar penduduk yang benar-benar miskin. Berkaitan dengan harga, pemerintah harus fokus menjaga inflasi pada semester II, terutama harga makanan yang bergejolak dan harga yang diatur pemerintah.

Kedua, berkaitan dengan penduduk kelompok menengah atau atas yang menunda belanja dan investasi. Pemerintah harus dapat memberikan keyakinan dan ketenangan terhadap paket kebijakannya, yang dirasakan menimbulkan kekhawatiran dan ketidaknyamanan. Berkaitan dengan kelompok menengah atas, ada baiknya dieksplorasi pemangkasan pajak pendapatan perusahaan dan pajak pendapatan perorangan. Ini mungkin bisa menambah daya dorong konsumsi masyarakat walaupun dalam jangka pendek akan mengurangi penerimaan pajak pemerintah.

Perekonomian memerlukan kebijakan pemerintah dan perilaku masyarakat yang saling gayung bersambut. Harmonisasi sangat diperlukan agar jalannya ekonomi bisa saling dukung satu dengan lainnya. Oleh karena itu, diperlukan komunikasi yang mulus dari pemerintah sehingga masyarakat tidak ragu dan tidak dibayangi ketakutan berlebihan.

Ada baiknya kita renungkan bersama, kata filsuf India, Jiddu Krishnamurti: "Jika kita benar-benar bisa memahami persoalan, jawabannya akan datang sendiri, karena jawaban tidak pernah terpisahkan dari persoalan." Mari kita tunggu pemulihan daya beli serta kenaikan konsumsi dan investasi di paruh kedua tahun ini. William Shakespeare mengatakan, "There is nothing either good or bad but thinking makes it so."

ANTON HENDRANATA

Chief Economist PT Bank Danamon Indonesia Tbk

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Antibiotik Daya Beli".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger