Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 06 September 2017

ARTIKEL OPINI: Indonesia-Malaysia: Dekat tetapi Jauh (PUDENTIA MPSS)

Baru-baru ini mencuat berita ihwal "bendera Indonesia yang terpasang terbalik", yang membuat heboh dan menimbulkan bermacam spekulasi, baik negatif maupun positif.

Apa pun komentar yang muncul tampaknya hal tersebut memperlihatkan kenyataan yang sudah sejak lama dibicarakan secara umum, yaitu Indonesia dan Malaysia memiliki ketegangan tersembunyi, khususnya di kalangan rakyat kebanyakan di Indonesia. Seperti "api dalam sekam", yang sewaktu-waktu dapat dengan mudah menyala kalau pemicunya diledakkan.

Pada tahun 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyatakan dalam pengantar buku Membangkitkan Memori Kolektif Kesejarahan Indonesia-Malaysia bahwa Indonesia dan Malaysia memiliki hubungan yang sangat istimewa. Sebuah hubungan yang sudah sangat lama terbangun karena kedekatan geografis, kedekatan hubungan historis, budaya, dan genealogis.

Tiga tahun sebelumnya, tepatnya pada 7 Juli 2008, di Kuala Lumpur, SBY dan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi meresmikan Eminent Person Group (EPG) yang bertugas untuk merumuskan peningkatan hubunganpeople to people antarbangsa. EPG yang diketuai oleh Try Sutrisno (Indonesia) dan Tun Musa Hitam (Malaysia) dengan tujuh anggota di setiap negara telah berkegiatan secara aktif selama sekitar tiga tahun. Setelah itu senyap. Boleh jadi karena Kementerian Luar Negeri dan para penguasa negeri menganggap EPG sudah tidak relevan diaktifkan.

Tidak dapat dipastikan apakah bila kegiatan yang dirancang EPG masih diperhatikan dan diteruskan, ketegangan di antara kedua bangsa yang berkerabat ini—yang seperti api dalam sekam—akan mereda sehingga peristiwa bendera "Merah Putih" yang terbalik tidak akan terjadi. Batu ujinya sebetulnya adalah pada seberapa dekat pengenalan masing-masing antarkedua bangsa ini atau seberapa jauh ketidaktahuan setiap bangsa pada kerabatnya yang lain itu. Meskipun dikatakan insiden bendera terbalik tidak sengaja terjadi dan memang demikian adanya, keintiman hubungan antarkedua bangsa ini—terutama di kalangan anak muda—memang tidak terjadi seperti yang diharapkan banyak pihak.

Sebagaimana penulis ungkapkan dalam buku Membangkitkan Memori Kolektif Kesejarahan Indonesia-Malaysia (2011), kiranya relevan untuk mengingatkan kembali hubungan Indonesia dan Malaysia pada masa kini dan potensinya di masa depan.

Beda dulu dan kini

Kedua negeri—Indonesia dan Malaysia—selama beratus tahun berada dalam wilayah kerajaan besar bernama Melayu, sampai akhirnya Traktat London 1812 memisahkan kedua negeri ini secara geopolitik. Dalam perjalanannya menjadi Malaysia seperti sekarang, berbagai suku—Bugis, Jawa, Aceh, dan Minang khususnya—berperan penting dalam membentuk masyarakat "Melayu-Semenanjung" seperti yang dikenal sekarang ini. Beberapa sultan dan petinggi kerajaan berasal dari Indonesia. Begitu pula perkembangan masyarakat di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh diaspora Melayu yang terkait dengan pengaruh kesejarahan genealogis dan psikologis kedua bangsa.

Perkembangan hubungan kedua bangsa pada masa pra 1980-an dan pasca-1980-an memang berbeda. Ikatan benang merah kesejarahan pembentukan kedua bangsa, ikatan genealogis, dan budaya telah menjadi unsur utama yang merekatkan hubungan kedua bangsa. Sementara itu, perkembangan pasca- 1980-an, generasi muda di kedua bangsa tidak lagi mengenal hubungan yang merupakan benang merah pengikat kedua bangsa.

Apalagi dengan pertumbuhan ekonomi kedua bangsa yang relatif berbeda. Anak muda Malaysia pada umumnya mengenal Indonesia hanya sebatas pembantu rumah tangga, sopir, pegawai toko, atau buruh perkebunan yang biasa dipanggil dengan sebutan Indon yang suka bikin ribut. Sebaliknya, anak muda Indonesia pada umumnya (selain di wilayah tertentu) lebih mengenal Malaysia sebagai bangsa yang senang mengklaim karya budaya Indonesia.

Perbedaan generasi, pencitraan negatif akibat perbedaan persepsi, masalah tenaga kerja, peta geopolitik, penghargaan pada nilai-nilai kemanusiaan dan kultural, serta pengelolaan warisan budaya merupakan permasalahan bersama kedua bangsa dalam versi yang berbeda. Perbedaan konsep mengenai identitas diri, lokalitas, kebangsaan, dan perbedaan tingkat sosial ekonomi menimbulkan perbedaan dalam hal perilaku, sikap, dan pemahaman mengelola kebudayaan. Perbedaan-perbedaan tersebutlah yang sering memicu ketegangan antarbangsa yang sering merembet ke hal lainnya, seperti masalah asap, TKI, garis batas, dan imigrasi.

Guna merajut kembali hubungan yang terkoyak, sangat diperlukan penyusunan strategi kebudayaan untuk lebih mengharmoniskan hubungan kedua negara di masa depan. Penyatuan sinergi kedua negara sangat menguntungkan untuk masa depan daripada "memelihara" ketegangan tersembunyi.

Beragam warisan budaya bersama dapat diajukan sebagai "nominasi bersama" ke UNESCO, atau hubungan yang amat mesra seperti yang ditunjukkan masyarakat Melayu di Riau, Kepulauan Riau, dan Medan dengan Malaysia lewat pentas bersama di televisi setiap negara. Juga muatan sejarah bersama sebagai materi kurikulum sekolah, dan dialog akademis antarpakar kedua negara, merupakan strategi kebudayaan yang seharusnya dapat dijaga dan ditingkatkan.

Apa yang telah diprogramkan pemerintah pada 2008-2011 melalui EPG untuk membuat strategi kebudayaan melalui kontak people to peopleantarkedua negara diharapkan mencapai hasil yang signifikan, khususnya untuk peranan kedua negara di masa kini dan di masa depan. Pengenalan dan pemahaman yang sangat baik antarkedua bangsa akan menumbuhkan penghargaan antarbangsa tanpa sekat dan tanpa menyimpan api dalam sekam.

PUDENTIA MPSS, DOSEN UI, KETUA ASOSIASI TRADISI LISAN DAN ANGGOTA EPG

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Indonesia-Malaysia: Dekat tetapi Jauh".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger