Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 06 September 2017

ARTIKEL OPINI: Inovasi Disruptif dan Disparitas (MUHAMAD CHATIB BASRI)

Angin bertiup kencang. Malam itu, musim gugur di Cambridge. Sekelompok anak muda mengajak saya mengobrol di sebuah kedai kecil Jepang di kawasan Harvard Square. Mereka adalah mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Harvard University.

Mereka bicara tentang Indonesia, tentang angan-angannya, tentang harapannya, dan tentu dengan kritiknya. Anak- anak muda ini begitu punya harapan dan punya tekad: membuat sesuatu yang berarti bagi negeri ini. Saya kagum dan juga terharu.

Dan, tak main-main. Tengok saja contoh ini : Modalku, perusahaan rintisan peer to peer lending untuk memberdayakan usaha kecil, menjadi satu-satunya perusahaan rintisan teknologi keuangan (Fintech/tekfin) dari Asia Tenggara yang masuk 250 terbaik dunia baru-baru ini. Saya ingat, malam itu, Reynold Wijaya, salah seorang pendirinya, meminta pandangan saya tentang gagasannya membuat Modalku. Yang lain, Andi Taufan Garuda Putra, menceritakan usahanya yang sejenis untuk memberdayakan sektor informal. Amartha, yang didirikannya, saat ini telah menjangkau seluruh Jawa Tengah.

Usaha mereka jelas akan memberikan dampak yang positif bagi 40 persen penduduk terbawah di Indonesia. Atau Belva Syah Devara, pendiri usaha rintisan bidang pendidikan, Ruangguru. Mereka hanyalah contoh kecil dari berbagai inovasi penting di negeri ini. Kita punya daftar yang panjang untuk ini: Dattabot, Online Pajak, Gojek, Traveloka, Bot, Pajak Online, dan lainnya. Dan, mereka menjadi semacam contoh bagi banyak anak muda.

Teknologi digital

Kita memang memasuki sebuah dunia yang baru, era revolusi industri keempat. Tak dapat disangkal, dunia berubah akibat teknologi digital dan otomatisasi. Mereka yang belajar ilmu ekonomi mungkin ingat George Akerlof. Pemenang Nobel Ekonomi ini menulis sebuah karya seminal pada 1970 berjudul "Market for Lemons: Quality Uncertainty and the Market Mechanism". Akerlof mengingatkan: pasar tak selamanya efisien karena informasi tak merata (asymmetric information).

Mudahnya: penjual kerap lebih tahu mengenai barang yang ia jual daripada pembeli, akibatnya penjual akan mengambil manfaat lebih untuk dirinya, yang bisa merugikan pembeli. Dan, karena pembeli khawatir dicurangi, maka ia tak bersedia membayar di harga yang seharusnya. Akibatnya, barang yang tersedia di pasar adalah barang kelas dua atau bisa jadi pembeli membatalkan transaksi. Di sini kita melihat informasi adalah faktor penting dalam menentukan terjadinya transaksi di pasar. Jika informasi tak merata, ada risiko transaksi atau pasar tak terjadi.

Hebatnya, kekhawatiran Akerlof seperti dijawab oleh teknologi digital. Tak sempurna memang, tetapi toh akibatnya transaksi meningkat secara tajam. Tak hanya itu, pasar untuk berbagai barang dan jasa muncul. Lalu, kita kenal pasarsneakers, barang bekas, pakaian dan tas pinjaman, perjanjian dengan dokter, sampai mencari jodoh. Pendeknya: selama ada informasi, selama ada permintaan dan penawaran, maka pasar akan terbentuk. Akerlof mungkin tak pernah membayangkan ini.

Tak berhenti di situ, teknologi digital juga mampu menurunkan biaya transaksi (transaction cost) secara tajam. Salah satu penyebab tingginya biaya transaksi adalah hambatan dalam komunikasi. Misalnya, produsen tak dapat berkomunikasi langsung dengan konsumen sehingga membutuhkan pihak ketiga. Jika konsumen dan produsen dapat dipertemukan secara langsung melalui teknologi digital, biaya komunikasi menjadi nol, biaya transaksi menjadi sangat murah. Akibatnya, harga barang pun mengalami penurunan.

Persoalannya, teknologi digital tak hanya datang dengan manfaat, tetapi ia juga datang dengan potensi persoalan. Ini yang harus diantisipasi negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Ada beberapa hal yang harus diantisipasi. Pertama, dampak tenaga kerja dan ketimpangan pendapatan. Disruptive technology (teknologi disruptif) tentu membawa dampak positif bagi tenaga kerja dengan peningkatan efisiensi dan fleksibilitas bekerja, tetapi ia juga punya potensi dampak negatif yang besar: menurunnya lapangan kerja, terutama bagi pekerjaan rutin dan manual.

Kita membaca bagaimana toko tradisional atau media cetak terpukul, kantor pos digantikan surat elektronik (e-mail), atau ketegangan antara taksi konvensional dan Uber. Kita tahu, ketika inovasi disruptif terjadi, tak mudah bagi perusahaan atau pekerja untuk menyesuaikan keterampilannya seketika. Akibatnya, dalam jangka pendek ada risiko terjadinya pengangguran. Tentu harus dicatat, di sisi lain, teknologi disruptif juga akan menciptakan lapangan kerja di tempat lain, tetapi proses penyesuaian membutuhkan waktu, juga keterampilan baru.

Contoh lain: mungkin tak ada dari kita yang lebih pandai dari Google searchdalam soal data dan pengetahuan. Hampir semua jawaban tersedia. Namun, yang akan bertahan dan sukses mungkin bukan mereka yang bisa memberikan jawaban atas pertanyaan. Fungsi itu sudah diambil Google search. Yang bertahan adalah siapa yang bisa membuat pertanyaan atau memformulasikan masalah yang jeli tak terpikirkan sebelumnya. Dengan kata lain, ide, kreativitas, dan keterampilan menjadi faktor menentukan. Bisa diduga: ketimpangan pendapatan akan meningkat.

Philippe Aghion, Guru Besar Ekonomi Harvard University, menunjukkan bahwa inovasi meningkatkan kesenjangan, terutama untuk kelas pendapatan 1 persen teratas. Alasannya: inovasi dalam teknologi membuat keuntungan pemilik modal dan pendapatan tenaga kerja super terampil meningkat karena bagian tenaga kerja tak terampil menurun. Karena itu, terjadi kesenjangan pendapatan antara pemilik modal dan buruh, antara tenaga kerja sangat terampil dan tak terampil.

Tentu kita bisa selamanya muram. Ekonom Richard Baldwin, dalam karya seminalnya, The Great Convergence: Information Technology and the New Globalization, mencoba menenangkan: revolusi teknologi digital akan mendorong industri manufaktur pindah ke negara berkembang, sementara negara maju akan melakukan spesialisasinya dalam jasa, ide, dan pengetahuan. Peran tenaga kerja akan menurun di negara maju, sementara di negara berkembang sebaliknya. Akibatnya: kelas menengah akan tumbuh di negara berkembang dan kemiskinan menurun. Inilah yang ia sebut the great convergence. Baldwin benar, sayangnya proses penyesuaian tak akan semudah itu.

Peran pemerintah

Kedua, inovasi terjadi begitu cepat, siklus produksi menjadi begitu pendek. Barang atau jasa yang dibuat hari ini akan menjadi usang dalam periode yang pendek. Lalu, bagaimana pemerintah mengaturnya? Peraturan akan cenderung kalah cepat dengan inovasi yang terjadi. Bagaimana pemerintah bisa membuat peraturan untuk satu industri atau satu produk, jika tak lama kemudian aturan itu menjadi usang karena inovasi baru. Kita bisa melihat bagaimana fenomena ini terjadi dalam Uber, Gojek, atau produk tekfin. Saya membayangkan ke depan, aturan pemerintah harus bersifat umum dan luwes. Aturan yang rinci dan kaku akan tertinggal di era Jurassic. Persoalannya: jika aturan itu tak rinci, bagaimana ia mampu mengatur dengan baik? Di sini dilemanya: inovasi tak bisa dikekang, tetapi perlindungan perlu diberikan. Bagaimana menarik garis ini? Saya tak pandai menjawabnya.

Ketiga, apa yang harus dilakukan pemerintah? Daniel Leipziger dan Victoria Dodev dari George Washington University menyebut dibutuhkan kebijakan publik yang agile (mampu cepat berubah) untuk mengantisipasi masalah ini, terutama soal tenaga kerja. Di sini peran dari kebijakan fiskal menjadi penting. Harus ada ruang fiskal yang fleksibel untuk mengantisipasi dampak negatif ini. Perlu kerangka fiskal untuk melatih ulang pekerja yang terpinggirkan. Tak bisa dimungkiri, isu utamanya adalah bagaimana meningkatkan keterampilan dan pendidikan yang tepat.

Persoalannya: kebijakan fiskal, di banyak negara, termasuk Indonesia, tak bersifat fleksibel dan terserap untuk hal-hal rutin, khususnya alokasi belanja wajib. Struktur fiskal seperti ini tak akan membuat kebijakan publik menjadi agile. Peran dari pajak juga menjadi amat penting. Bill Gates mulai bicara perlunya menerapkan "pajak robot" untuk mengompensasi pekerjaan yang hilang akibat otomatisasi. Atau mengenakan pajak yang tinggi untuk kelompok pendapatan paling atas. Namun, ada dilema di sini, regulasi atau pajak yang tinggi akan membuat inovasi terhenti, padahal di sisi lain masyarakat menikmati berbagai dampak positif dari teknologi digital. Ini adalah problem yang tak mudah bagi pemerintah mana pun di dunia, termasuk Indonesia di masa depan.

Dunia memang berubah begitu cepat. Lebih banyak pertanyaan yang muncul ketimbang jawaban yang ada. Saya teringat kembali obrolan dengan anak-anak muda di kedai Jepang di Harvard Square malam itu. Bagi mereka, dunia adalah taman bermain. Namun, bagaimana dengan pekerja tak terampil? Apalagi jika cerita ini disejajarkan dengan wajah lelah mereka yang selalu kalah. Ada rasa keadilan yang terganggu. Saya ingat, malam kian larut dan saya berjalan pulang ke apartemen sewaan. Tiba-tiba saya merasa malam itu begitu dingin. Dan, saya semakin tua.

MUHAMAD CHATIB BASRI, PENGAJAR FEB UNIVERSITAS INDONESIA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Inovasi Disruptif dan Disparitas".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger