Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 05 September 2017

ARTIKEL OPINI: Kemelut Pergulaan (AGUS PAKPAHAN)

Akhir-akhir ini, dunia pergulaan Indonesia memanas, terutama setelah petugas Kementerian Perdagangan menyegel gula petani yang tersimpan di gudang-gudang BUMN.
TOTO SIHONO

Kemelut pergulaan ini tak terlepas dari dampak embargo minyak bumi pada awal 1973 oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang telah menyebabkan harga gula di pasar dunia mencapai 2,42 dollar AS per kilogram pada 1974. Dunia memberikan beragam respons terhadap pasar gula dunia yang bergejolak ketika itu.

Amerika Serikat membalas kenaikan harga gula itu dengan memberhentikan impor gula dalam jumlah sangat besar dan banting setir dengan memanfaatkan jagung sebagai bahan pemanis high fructose corn syrup (HFCS). AS sukses mengatasi kemelut ini dan hingga sekarang HFCS menjadi pasar pemanis yang sangat penting di AS.

Brasil tak memiliki cadangan minyak bumi untuk menjalankan industrialisasinya. Karena itu, Brasil memilih tebu sebagai sumber daya biologis guna memenuhi pasar gula dunia sekaligus memenuhi kebutuhan energinya. Setelah lebih dari 30 tahun membangun industri berbasis tebu, Brasil mencapai sukses besar: menjadi produsen dan eksportir gula terbesar dunia, sekaligus mandiri dalam pemenuhan kebutuhan energinya.

Thailand juga bergerak cepat merespons pasar gula dunia. Thailand sadar memiliki petani yang ulet dan pekerja keras. Ditambah lagi raja sangat memperhatikan petani dan pertaniannya. Di bawah perlindungan dan dorongan Sugarcane dan Sugar Act, Thailand sukses membangun industri modern berbasis tebu dengan model industrialisasi di mana petani menghasilkan 100 persen tebu dan perusahaan mendirikan industri gula dan industri turunan yang berbasis tebu.

Pola yang dikembangkan adalah pola bagi hasil. Perusahaan gula mendapatkan 30 persen dan petani tebu menerima 70 persen dari seluruh hasil produksi gula. Thailand sekarang eksportir gula terbesar kedua dunia.

Perlu dicatat, Brasil dan Thailand bukanlah negara pergulaan terkemuka dunia pada 1920 hingga 1930-an. Saat itu, Indonesia yang masih berstatus jajahan Belanda sudah memegang status negara eksportir terbesar kedua dunia setelah Kuba.

Indonesia membuat keputusan besar juga, yaitu menetapkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1975 tentang Intensifikasi Tebu Rakyat (ITR). Malang bagi Indonesia, Presiden Soeharto dengan Inpres No 9/1998 mencabut inpres tahun 1975 di atas, saat produksi baru mencapai 1,49 juta ton.

Inovasi besar

Kesuksesan negara-negara di atas bersumber dari kesuksesan inovasi besar berbasis keunggulan sumber daya alam, teknologi, dan pasar di dalam negeri. Mengapa inovasi besar dalam bidang pertanian lahir di negara-negara tersebut, adalah juga bersumber dari pandangan pemimpinnya. Sebagai ilustrasi, Abraham Lincoln, presiden ke-16 AS, memandang bahwa tidak ada kegiatan manusia yang lebih kompleks daripada pertanian. Sementara kita masih sering menemukan pandangan bahwa pertanian itu soal sepele.

Dalam kurun waktu sekitar 17 tahun ini Indonesia mengalami deindustrialisasi. Perkebunan tebu dan gula merupakan sektor ekonomi strategis, mengingat dampak gandanya cukup tinggi. Khususnya bagi negara besar, kesuksesan industrialisasi menjadi kunci penentu kesuksesan pembangunan jangka panjang.

Dampak dari impor gula

Dengan sekitar 70 persen pasar gula Indonesia didominasi oleh bahan baku impor, struktur pasar yang ada menunjukkan bahwa produksi gula di dalam negeri yang berbasis pada tebu dalam keadaan tekanan berat. Masalah ini hanya bisa diatasi dengan perubahan-perubahan yang fundamental.

Masalah fundamental tersebut berhubungan dengan kebijakan impor gula atau bahan baku gula yang bersifat tidak kompatibel dengan produksi gula yang diolah dari tanaman tebu di dalam negeri. Pilihannya adalah apakah gula itu akan dihasilkan dari bahan mentah yang diimpor atau apakah kita akan melihat tebu sebagai sumber produk bukan hanya gula, seperti yang berlaku di Brasil atau Thailand?

Jadi, persoalannya bukan semata bahan baku gula impor itu lebih murah daripada produksi gula di dalam negeri, melainkan juga apakah pengorbanan berupa penutupan perkebunan tebu, khususnya perkebunan tebu petani di Pulau Jawa, bisa tertutup oleh nilai total manfaat dari impor gula itu.

Tabel Input-Output (I-O) Tahun 1985 (BPS) menunjukkan, perkebunan tebu masih memiliki koefisien pengganda total 3,44 sehingga tergolong sebagai sektor strategis, sedangkan pada I-O Tahun 2010 peran perkebunan tebu tak lagi masuk sektor strategis. Hal ini menunjukkan, peran perkebunan tebu sudah digantikan oleh gula impor.

Tabel I-O Tahun 2010 (BPS) menunjukkan bahwa setiap impor 3 juta ton gula, Indonesia akan kehilangan potensi: pada tingkat usaha tani dan pada tingkat off-farm masing-masing 2,3 juta dan 800.000 orang menganggur; output dan pendapatan masyarakat perdesaan masing-masing Rp 18,5 triliun dan Rp 12,5 triliun atau nilai total output dan pendapatan masing-masing Rp 87,7 triliun dan Rp 37,8 triliun; plus kehilangan kesempatan lain mendapatkan produk dari tebu selain gula.

Jangan sampai solusi impor gula itu malahan mendatangkan kemelut yang lebih besar lagi bagi perekonomian nasional, seperti menjadi sumber konflik dan meningkatkan kesenjangan sosial yang lebih lebar dan dalam. Solusi yang perlu diciptakan adalah inovasi besar, seperti yang terlahir di Brasil atau Thailand dengan karakter Indonesia.

AGUS PAKPAHAN, EKONOM SUMBER DAYA ALAM; ALUMNUS AGRICULTURAL ECONOMICS DEPARTMENTS, MICHIGAN STATE UNIVERSITY

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Kemelut Pergulaan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger