Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 07 September 2017

ARTIKEL OPINI: Nestapa Rohingya (HAMID AWALUDIN)

Indonesia dan Myanmar adalah dua bangsa yang bersahabat sedari dulu. Proklamator kita, Presiden Soekarno, bahkan menyebut Myanmar—dulu bernama Burma—sebagai kawan sejati. Maklumlah, Burma adalah satu di antara negara di Asia yang mengakui kedaulatan Indonesia pada tahap-tahap awal kemerdekaan kita.

Ada kisah, pesawat kepresidenan RI Dakota RI-001, Seulawah, sumbangan rakyat Aceh ke Pemerintah Indonesia, yang sedang melakukan perawatan berkala di India pada awal Desember 1948, tak bisa kembali ke Tanah Air karena terjadi Agresi Militer Belanda II. Atas prakarsa penerbang Wiweko Supono, pesawat itu diterbangkan ke Burma.

Di negara itu, Indonesia mendirikan perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways—cikal bakal Garuda Indonesia—bermodalkan satu pesawat Dakota. Dari Burma pula dua kali Wiweko menerbangkan pesawat ini menembus blokade udara Belanda untuk menyelundupkan senjata, peralatan komunikasi, dan obat-obatan ke Aceh.

Waktu berjalan, sampai 70 tahun kemudian, Indonesia dan Myanmar kembali dipertautkan untuk isu yang lain: krisis kemanusiaan di Negara Bagian Rakhine. Isu menyangkut warga berlatar etnis Rohingya di Rakhine ini menimbulkan ledakan di Indonesia dengan gema dan gaung melebar ke mana-mana, dari agama sampai politik.

Peristiwa terbaru dipicu oleh serangan mematikan ke pos-pos polisi oleh satu kelompok bersenjata bernama Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA). Kelompok ini sudah beberapa kali melakukan serangan serupa ke pos polisi dengan alasan melindungi minoritas Muslim Rohingya dari penindasan di Myanmar.

Serangan terbaru pada Jumat, 29 Agustus lalu, menewaskan sedikitnya 12 polisi dan puluhan militan ARSA sendiri.

Militer Myanmar pun mengerahkan kekuatannya ke sana yang kemudian menimbulkan gelombang kekerasan baru. Betapa tidak, tindakan balasan militer sangat tidak proporsional dan di luar kendali. Puluhan ribu warga Rohingya lintang pukang menyelamatkan diri, mengungsi ke Banglades, negara tetangga terdekat, tetapi dihalau kembali di perbatasan oleh aparat keamanan Banglades.

Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) menyatakan ribuan warga Rohingya melarikan diri ke Banglades, ribuan orang lain terkatung-katung di sepanjang perbatasan Myanmar. Sebagian besar yang berada di perbatasan adalah perempuan dan anak-anak. Nasib mereka bisa saja kita sebutthose who live in the middle of nowhere. Ke tanah leluhur ditampik, di tanah yang sedang diinjak, diusir dengan cara kekerasan.

Sejatinya, kelompok bersenjata Rohingya tersebut tidaklah menuntut untuk merdeka atau keluar dari Myanmar dan membentuk negara tersendiri. Mereka bukan kelompok pemberontak seperti Macan Tamil di Sri Lanka beberapa tahun silam. Motif mereka adalah menarik perhatian dunia agar mereka dilindungi. Masalahnya, kendati mereka sudah hidup sejakberabad-abad silam di negeri tersebut, rasa gundah dan tidak tenteram itu selalu ada.

Mereka tidak pernah diterima baik sebagai warga Myanmar hanya karena mereka adalah etnis Bengali dan juga karena mereka beragama Islam. Malah, beberapa tahun lalu, warga Rohingya dibantai oleh warga Myanmar sendiri, terutama dari kelompok Buddha garis keras. Banyak juga warga Rohingya mengungsi ke mana-mana saat itu. Kini, warga Rohingya menderita karena pemerintah, dalam hal ini militer Myanmar. Ironis memang, hidup mereka ke atas tak aman, ke samping tak tenteram.

Apabila kita bandingkan dengan kelompok Patani yang beragama Islam di Thailand Selatan, yang juga selalu konflik dengan warga Thailand dan pemerintah, etnis Rohingya sebenarnya jauh lebih moderat karena mereka mengakui dan mau menjadi warga Myanmar sepenuhnya, tetapi didiskriminasi dan cenderung ditolak. Kelompok Patani, yang beretnis Melayu, selalu merasa diri bukan bagian dari negara dan kultur Thailand karena mereka beretnis Melayu dan beragama Islam, kendati secara de jure dan de facto warga negara Thailand.

Tindakan militer tersebut sangat eksesif. Tidak mengherankan memang jika banyak pandangan muncul bahwa telah terjadi tragedi kemanusiaan di Myanmar, khususnya kepada warga Rohingya. Malah sudah muncul pandangan bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar tersebut adalah tindakan pembantaian etnis, yang oleh Statuta Roma 1998 dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan genosida.

Peran Indonesia

Ya, seperti itulah. Begitu kabar ini tiba di Indonesia, suara-suara solidaritas dan prihatin pun segera bermunculan. Orang-orang mendesak Presiden Jokowi untuk bertindak menolong orang-orang Rohingya atas nama solidaritas agama Islam. Pada umumnya, berita di Tanah Air telah terkemas sebagai pembantaian umat Islam oleh militer Myanmar. Malah ada desakandari sejumlah politisi agar Presiden Jokowi menarik Duta Besar Indonesia dari Myanmar sebagai tindakan protes Pemerintah Myanmar. Ada juga yang mendesak Presiden Jokowi untuk mengambil tindakan keras.

Permintaan dan desakan-desakan tersebut bukan hanya tidak realistis, melainkan juga tak produktif. Diplomasi Indonesia dalam menangani soal ini harus lebih menekankan pendekatan soft diplomacy (persuasi). Masalahnya, rezim pemerintahan baru Myanmar sekarang ini adalah rezim yang baru memasuki babak pencerahan, yang masih sangat sensitif dengan agenda campur tangan pihak asing.

Lagi pula, kondisi internal Myanmar sekarang ini, masih saja ada kelompok masyarakat tertentu yang tidak menyenangi kelompok Rohingya. Dalam perspektif itulah kita seyogianya menyikapi posisi Aung San Suu Kyi. Dia kini bukan lagi sebagai negarawan, melainkan politisi yang harus menjaga level kesenangan orang banyak, yang diharapkan memberikan suara kepada partai dan dirinya.

Mendesakkan keinginan melalui jalur formal negara atau pemerintah sangat sensitif. Langkah menteri luar negeri kita, Retno Marsudi, haruslah langkah diplomasi yang penuh kehati-hatian. Tidak boleh ada kesan memaksakan kehendak. Apalagi memberi kesan menyalahkan.

Salah dalam melangkah, reaksi Pemerintah Myanmar bisa jadi berbunyi: "Ini adalah urusan dalam negeri Myanmar. Kita semua memahami bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh. Dengan kedaulatan inilah maka campur tangan pihak asing tidak boleh dibiarkan." Apabila itu terjadi, keinginan untuk menempuh jalur di luar pendekatan persuasi adalah sia-sia.

Tiga tahun silam, bersama Palang Merah Indonesia yang dipimpin oleh Jusuf Kalla, saya saksikan langsung bagaimana itikad baik untuk membantu sandang dan pangan bagi kelompok Rohingya harus dilakukan dengan serba hati-hati. Ketika itu, Palang Merah Myanmar, sebagai mitra kami, selalu mengingatkan kami betapa sensitifnya keterlibatan pihak luar dalam menangani masalah Rohingya tersebut. Ketika itu, kelompok Rohingya diserang kelompok Buddha garis keras. Apalagi sekarang, kelompok Rohingya berhadapan dengan militer Myanmar, yang tingkat sensitivitas politiknya jauh lebih besar karena ini menyangkut wilayah dan yurisdiksi Myanmar.

Diplomasi memang acap kali harus dilakukan dengan cara-cara senyap, tidak gegap gempita. Apalagi membuat kesan mendikte. Diplomasi diukur dengan pencapaiannya, bukan proses, apalagi jika proses tersebut menempuh cara-cara kekerasan dan intimidasi. Strategi alasan kemanusiaan yang bersifat universal adalah cara yang paling elegan. Bukan menabuh genderang perang. Kekerasan dan intimidasi satu akan melahirkan kekerasan dan intimidasi berikutnya.

HAMID AWALUDIN, MENTERI HUKUM DAN HAM 2004-2007; PENGAJAR FH UNIVERSITAS HASANUDDIN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Nestapa Rohingya".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger