Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 07 September 2017

ARTIKEL OPINI: Obsesi Kuasa dan Kekeringan Nilai (RENDY PAHRUN WADIPALAPA)

Saat sikap partai di tengah isu-isu politik menunjukkan konjungtur ketegasan yang makin menurun, publik masih disandera oleh obsesi elite dalam memanjakan diri.

Rencana menghadiahi diri sendiri sebuah apartemen tidak lagi bisa dipandang sebagai komedi belaka dari parlemen, tetapi sebagai pertanda serius dari musnahnya nilai-nilai baik dalam ideologi politik.

Rencana itu muncul di tengah debat panjang perkara hak angket yang membatasi gerak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kasus KTP elektronik yang menghunus leher parlemen pada saat yang hampir bersamaan. Bahkan saat penegakan hukum membutuhkan dukungan baru setelah meninggalnya saksi kunci kasus KTP elektronik, Johannes Marliem, elite parlemen masih sempat menampar akal sehat dengan meminta KPK menghentikan saja semua penyidikan terkait kasus tersebut.

Kita bisa sepakat bahwa kondisi menyeramkan semacam ini merupakan pantulan dari kondisi lain yang jauh lebih fundamental: menguapnya kewajiban untuk membela berdasarkan kebaikan ideologis. Dalam sudut pandang pragmatisme kekuasaan, ideologi tidak perlu lagi dirumuskan secara pasti sehingga ia tidak pernah diartikulasikan menjadi visi yang progresif.Seluruh nilai direbahkan demi memberi tempat pada hasrat kekuasaan untukterus maju.

Instingtual hewani

Macetnya ide-ide baik dan meruapnya gairah koruptif adalah karena ideologi telanjur dilihat sebagai istilah siap pakai dalam merayu konstituen politik. Gagasan-gagasan ideal ini dihamburkan sebagai alat mekanis. Artinya, semua jargon ideologis hanya penting sejauh ia bernilai sebagai teknologi pengepul suara. Telah bertahun-tahun kita tidak lagi menyaksikan debut ideologi yang diperkenalkan sebagai sebuah kesegaran dari macetnya ide dan habisnya alternatif.

Rangkaian kejadian dari kebuntuan partai sebagai peranti saluran politik dalam demokrasi modern membuktikan betapa kalah telak partai dari naluri kuasa. Naluri ini menyingkirkan hidup-hidup semangat ideologis yang hendak tumbuh, kecuali jika ia berfungsi melayani kekuasaan. Nyaris tak pernah ada lagi yang meminta pertanggungjawaban partai terhadap kongruensi antara sikap-sikap kontroversialnya dan ideologi yang dipancang indah di AD/ART kepartaian.

Ini adalah tanda-tanda yang menguatkan punahnya ideologi. Individu dalam jagat politik kehilangan pegangan normatif sehingga harus kembali pada instingtual hewani yang ada pada dirinya: memangsa semuanya demi kekuasaan.

Nasionalisme tak lagi berhubungan dengan pembelaan martabat bangsa dari korupsi yang menebang sendi-sendi ketahanan nasional. Demikian pula religiositas agama tak punya relasi dengan penghargaan dan perlindungan atas keadilan hukum yang dijalankan oleh manusia sebagai khalifah di bumi. Status politik "berjiwa demokrat" hanyalah langgam indah yang menyamarkan sifat haus kekuasaan.

Pendek kata, mencoret ideologi dari seluruh pemahaman yang substantif dan menggantinya begitu saja dengan penafsiran yang mekanistis adalah persoalan besar politik kita hari ini. Bagaimana kita menyelesaikan soal-soal yang makin mengepung kita, sementara pergolakan nilai dalam diri sendiri tak pernah bisa selesai?

Jika situasi politik pada 1950- an telah menjebak bangsa ini kepada politik aliran dan fanatisme ideologis yang terus menajam, situasi hari ini telah melentingkan kita pada anomie dan kekeringan nilai. Kita telah bebas dari mabuk ideologis yang membutakan visi, tetapi kita terperangkap lagi ke dalam obsesi tanpa kontrol nilai.

Semua konflik politik seolah- olah dapat diselesaikan dengan mengandalkan kompromi belaka. Sedikit sekali tindakan yang dilatarbelakangi oleh kesiapan nilai yang kukuh dan saling menjaga. Semua institusi di negeri ini mencantumkan Pancasila sebagai ideologi yang menjiwai aktivitas, merayakan sekaligus memperingati hari kemerdekaan, atau mengucap sumpah bersetia pada kepentingan bangsa; tetapi mengapa nilai-nilai fundamental itu terpental begitu mencoba masuk dalam keruwetan politik kita?

Demikian banyak nilai dan kearifan yang dicampakkan bukanlah lantaran relevansinya berkurang dalam periode sekarang, melainkan karena tak lagi sesuai dengan kepentingan lain yang dibela oleh obsesi politik kita. Ideologi dan nilai-nilai arif tak lagi menjadi fondasi yang menghidupi politik, tetapi politik itu sendirilah yang menjadi syarat yang mengizinkan seberapa jauh nilai harus dibela. Kekuasaan menjelma sebagai pencabut nyawa dan penentu usia relevansi ideologi.

Ketika elite politik seperti kehabisan semangat dalam mencari nilai-nilai baik dalam dirinya, publik tak boleh tertular dan harus terus mempertahankan kewarasan akal sehat. Sikap bermanja-manja dan percobaan dalam menggerogoti penegakan hukum adalah tanda bahwa akal sehat telah hilang.

RENDY PAHRUN WADIPALAPA, PENGAJAR PADA FISIP UNIVERSITAS AIRLANGGA, SURABAYA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Obsesi Kuasa dan Kekeringan Nilai".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger