Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 15 September 2017

Bangsa Memikir (LIMAS SUTANTO)

Ujaran kebencian gampang menyebar dan berpengaruh karena manusia secara alamiah memiliki keadaan psikis, yang oleh Melanie Klein disebut "posisi paranoid skizoid".

Dalam kondisi tersebut, orang menghayati dunia di luar dirinya (orang-orang lain dan lingkungan) sebagai "obyek-obyek yang buruk", yang harus diwaspadai, dijauhkan, ditolak, dipisahkan dari dirinya, bahkan dirusak dan dimusnahkan. Obyek-obyek buruk perlu terus dicurigai sebagai pihak yang setiap saat dapat merenggut hidup dan kebaikan diri.

Posisi paranoid skizoid menjadi tanah subur alamiah bagi diterima dan dianggap berlakunya setiap ujaran kebencian. Ia pun menjadi pembenar bagi sikap dan tindakan membenci, menolak, dan iri terhadap pihak lain, yang kemudian mengesahkan pemisahan diri dari liyan. Maka, tatkala dunia hari kini diresapi teknologi informasi dan komunikasi yang memasar sampai ke seluruh penjuru, setiap lontaran kekerasan ujaran mudah beranak pinak dan meresapkan pengaruh dahsyat yang bersifat sangat massal.

Efek massal inilah yang secara alamiah menempatkan proses memproduksi ujaran kebencian yang sistematis dan terus-menerus sebagai senjata berpolitik, peranti merebut kekuasaan, instrumen buat membentuk dan menggalang opini publik yang menyesatkan tetapi menguntungkan diri, dan alat menjatuhkan lawan. Ketika kegiatan memproduksi ujaran kebencian laku untuk berpolitik, niscayalah ia terangkat menjadi pekerjaan yang mendatangkan upah.

Bergantung pengasuhan

Berawal dari gagasan Freud tentang "naluri mati" yang kemudian dipadu dengan pengalaman saksama melaksanakan psikoanalisis untuk anak-anak, Melanie Klein meyakini posisi paranoid skizoid selalu saja menandai keadaan kejiwaan manusia sejak lahir hingga usia 6 bulan. Namun, pada saat umur anak mencapai setengah tahun itu, seiring akumulasi pengalaman anak mendapatkan pengasuhan konsisten yang ramah dan menyenangkan, ia mulai dapat mengembangkan penghayatan yang lebih luas dan terpadu atas hidup yang melibatkan dirinya, orang- orang lain, dan dunia.

Si anak kini belajar mengalami betapa ketiga anggota kehidupan itu ada dalam sebuah keterhubungan dan kesatuan. Pada saat inilah anak mulai dapat menghayati penyesalan dan rasa bersalah atas sikap dan tindakan paranoid skizoid-nya yang merusak orang-orang lain dan dunia secara kejam dan keras. Ia mulai bisa merasa sedih, dapat bermawas diri, mengembangkan rasa belas kasihan, menumbuhkan sikap dan tindakan lembut terhadap orang-orang lain, yang pada periode kehidupan sebelumnya telanjur ia jadikan sasaran sikap dan tindakan paranoidskizoid-nya. Klein menyebut keadaan psikis yang baru ini sebagai "posisi depresif".

Pergeseran dari posisi paranoid skizoid ke depresif menandai ditinggalkannya sikap dan tindakan mencurigai, menolak, dan mengasingkan orang-orang lain dan dunia. Sekaligus mengawali pengembangan sikap dan tindakan berbelas kasih dan berempati kepada orang lain dan dunia, menolong dan merawat mereka, disertai penghayatan rasa bersalah dan keinginan mereparasi kerusakan yang telanjur diterjadikan. Kehadiran posisi depresif itu juga memungkinkan manusia bermawas diri, mengakui kesalahan, serta memperbaiki kekeliruan dan kekurangan.

Kehadiran posisi depresif yang menyusuli posisi paranoid skizoid yang lebih primitif itu seperti menjadikan manusia sebagai makhluk dengan spektrum kemungkinan kejiwaan yang lengkap: ia rentan untuk membenci dan merusak, tetapi ia pun berpotensi mengasihi dan mengayomi. Kendati uraian Klein semula hanya menyangkut kehidupan usia awal, tetapi psikoanalis itu kemudian juga meyakini bahwa sesungguhnya kedua posisi psikis itu dibawa manusia sampai akhir hayatnya; pergeseran-pergeseran dari posisi paranoid skizoid ke posisi depresif. Juga kebalikannya: dari posisi depresif kembali ke posisi paranoid skizoid pun menandai hidup jiwani manusia di sepanjang usianya.

Mengasuh anak bangsa

Hikmah penting bagi bangsa hari ini yang terbilang sudah diharubirukan oleh efek ujaran kebencian masif adalah betapa pentingnya menjagai agar posisi paranoid skizoid tak diingarbingarkan. Kapan pun, jika ada upaya menggelitik-gelitik, merangsang, mengobarkan posisi paranoid skizoid, hamparan anggota bangsa akan memasuki kerentanan untuk saling curiga dan baku membenci, bahkan saling meniadakan.

Maka, sama sekali tidak berlebih apabila dikatakan bahwa kegiatan memproduksi ujaran kebencian secara sistematis dan masif sungguh mengancam dan membahayakan hidupnya bangsa. Aktivitas seperti itu benar-benar dapat menghancurkan masyarakat dan bangsa.

Namun, hikmah penting lain adalah betapa sesungguhnya tiap warga bangsa dapat diasuh dan dididik untuk bertumbuh kembang menjadi insan yang dapat mengasihi dan menghormati orang-orang lain dan dunia. Juga dididik mampu berempati kepada liyan, bahkan bisa merawat hidup orang lain, melindungi mereka yang lemah, bersikap lembut dan ramah terhadap pihak- pihak lain, sekaligus mampu bermawas diri.

Manusia sebagai makhluk yang tak hanya memiliki bawaan posisi paranoid skizoid, tetapi juga posisi depresif, sungguh membawa kemungkinan yang luas bagi dirinya untuk diasuh dan dididik menjadi orang yang berbudi pekerti luhur dan beradab. Pada perspektif luas, tetapi mendasar, dapat dikatakan, apabila pemerintah dan negara selalu tekun dan konsisten mengasuh setiap warga bangsa dengan ramah, adil, dan baik, memperlakukan mereka dengan manusiawi dan penuh pengertian, serta memberikan kemungkinan yang luas bagi mereka untuk menjadi makin sejahtera, maka bangsa akan dapat menjalani hidup dalam kebaikan, kedamaian, dan persatuan yang andal.

Terbetik gagasan terusan yang disampaikan psikoanalis brilian bernama Wilfred Bion. Berdasarkan pengalaman melakukan psikoanalisis secara saksama untuk pasien-pasien dengan gangguan jiwa berat (psikosis), Bion menegaskan bahwa pergeseran dari posisi paranoid skizoid ke posisi depresif terjadi seiring bertumbuhkembangnya kegiatan berpikir manusia. Yang Bion maksudkan dengan kegiatan memikir adalah menghadapi dan mengolah kenyataan dengan menghubung-hubungkannya dengan sebanyak mungkin unsur yang sesungguhnya terdapat di dalam dan di sekitar kenyataan itu.

Manusia yang memikir adalah insan yang belajar melihat setiap peristiwa tidak sebagai sebuah ketunggalan dalam ruang hampa. Namun, sebagai suatu pengalaman yang berada dalam keterhubungan dengan banyak hal lain di sekitarnya. Maka, manusia yang memikir tak akan termakan informasi yang picik, sempit, sepihak, sepenggal, dan sedikit. Ia akan mengecek kabar dan menaksir orang lain dengan menghimpun data yang lebih banyak dan luas sebelum menyimpulkan dan meyakini penilaian.

Barangkali gagasan Bion ini dapat mengilhamkan betapa penting memikir secara luas dan integratif; betapa memikir itu mengintegrasikan, menyatupadukan, bukan menyempitkan, mengucilkan, mengasingkan, apalagi memecah belah.

LIMAS SUTANTO

PSIKIATER, TINGGAL DI MALANG

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Bangsa Memikir".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger