Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 15 September 2017

Berhaji di Era "Selfie" (FATHORRAHMAN GHUFRON)

Perjalanan ibadah haji tak sekadar menguraikan ekspresi peribadatan yang larut dalam keheningan batin, keasyikmasyukan dalam percakapan ilahiah, dan juga gundah gulana jiwa yang disesaki oleh aneka penyesalan yang ditumpahkan dalam linangan air mata. Namun, kini ada sebuah repertoar yang nyaris tak luput dari laku ibadah apa pun yang banyak dilakukan oleh jemaah haji, yaitu selfie alias berswafoto.

Seakan-akan berswafoto menjelma sebuah ritus penting yang melengkapi berbagai prasyarat perjalanan ibadah haji, baik yang bersifat rukun, wajib, maupun sunah. Tidak terlalu berlebihan jika di kalangan pesantren ada selorohan yang menyitir pentingnya selfie: "masuklah dalam dunia selfie secara total".

Dalam posisi ini, dunia selfie menjadi penuntun sebuah tapak tilas yang merekam aneka kegiatan jemaah haji di sejumlah tempat yang diyakini memiliki sensasional sejarah ataupun emosional diri. Berbagai rasa kekaguman, ampunan, harapan, dan ekspresi lainnya yang sangat impresionistis seperti dicampuradukkan.

Dunia "selfie"

Secara sosiologis, selfie yang hadir seiring tumbuhnya kecanggihan teknologi digital dan disertai menjamurnya generasi milenial yang at home dengan telepon pintar menjadi sebuah cara untuk merepresentasikan diri dalam dunia nyata yang disinggahi. Lalu, hasil dari representasi itu ada yang hanya dibagi kepada orang terdekat dan ada yang disebarkan ke dunia maya dengan berbagai kanalnya.

Popularitas dunia selfie, yang sejak akhir tahun 2010 digandrungi jutaan orang, menggugah tim pembuat kamus Oxford untuk menjadikan selfie sebagai word of the year pada 2013. Dalam penjelasan kamus Oxford, selfie merupakan tindakan foto yang diambil diri sendiri lalu dibagikan kepada berbagai pihak lain. Proses penyebaran hasil selfie ini tentu melahirkan aneka macam persepsi dan definisi perihal aktivitas yang tengah dilakoni. Konsekuensinya, akan banyak komentar yang saling bersahutan di dinding dunia maya untuk merespons berbagai cuplikan selfie yang sudah diunggah dan diketahui banyak orang.

Apalagi ketika dunia selfie berjalin erat dengan perjalanan ibadah haji yang dibagi ke media sosial oleh pelakunya.. Tentu berbagai komentar akan menyeruak. Mulai dari komentar bernada positif yang memberikan apresiasi sambil berharap bisa didoakan di Tanah Suci hingga komentar bernada nyinyir yang menyelipkan beragam kritik bahwa ibadah haji sejatinya dilaksanakan dalam suasana sunyi dan tanpa riuh demonstrasi diri di media sosial.

Merujuk pada pandangan Rabian Syahbana dalam buku Selfie, disebutkan bahwa selfie dalam setiap fitrahnya memang mendedahkan dua wajah yang saling berkelindan, yaitu wajah positif dan negatif yang merangsang setiap orang yang melihat akan memberikan komentar yang beriringan. Termasuk perihal ibadah haji, di mana segenap aktivitasnya diliput oleh pelakunya melalui dunia selfie.

Dalam kaitan ini, lepas dari beragam interpretasi tentang praktik selfie dalam ibadah haji, patut dimaklumi bahwa inilah sebuah hiper-realitas-meminjam istilah Yasraf A Piliang-yang mampu menarik siapa pun untuk sekadar berbagai cerita dan kenikmatan tentang dunia suka yang dialami melalui selfie. Dengan berbagai perantinya, selfiebenar-benar menjadi "surga" tersendiri yang menawarkan beragam kemasygulan sebuah gaya- tak terkecuali gaya ibadah haji-yang penuh pesona.

Repertoar "selfie"

Ada beraneka cara yang dilakukan jemaah haji untuk mengekspresikan praktik peribadatannya yang berjalin kelindan dengan dunia selfie. Ada yang menyempatkan diri untuk berswafoto di setiap celah waktu sebelum dan sesudah shalat di Masjid Nabawi (Madinah) ataupun Masjidil Haram (Mekkah). Apalagi jika posisi shalatnya berada di tempat khusus yang diyakini sebagai tempat mustajabah. Sebutlah seperti Raudlah di Masjid Nabawi ataupun di Multazam dan pelataran Kabah di Masjidil Haram. Seakan-akan selfiemenjadi rukun yang kesekian di setiap pelaksanaan ibadah, yang jika tidak dilakukan terasa kurang sempurna.

Demikian pula ketika melakukan tawaf dan sai di Masjidil Haram. Di sela-sela tawaf dengan memutari Kabah tujuh kali, banyak yang menyempatkan diri untuk berswafoto dan menjadikannya sebagai momentum tersendiri. Lalu, seusai tawaf, jemaah haji melakukan sai dengan berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah tujuh kali pula. Tentu, tak ketinggalan selfie pun menjadi suplemen aktivitas untuk memenuhi suasana psikologisnya. Seakan-akan selfiedijadikan sebagai saksi bersejarah bagi dirinya ataupun orang lain tentang sebuah kisah Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail yang menjadi peletak dasar pelaksanaan ibadah haji.

Ketika memasuki inti perjalanan ibadah haji yang berlangsung di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armina), selfiepun menjadi penyela di setiap rangkaian ibadahnya. Ibadah wukuf di Mina, mabit di Muzdalifah dan Mina, serta melempar jumrah yang dilakukan sebanyak tiga kali di Jamarat. Banyak anggota jemaah haji, lebih-lebih dari Indonesia, yang tak menyisakan berbagai celah kosong dengan jepretan kamera.

Sebagai sebuah memori, laku selfie di sejumlah tempat sesungguhnya menjadi kewajaran yang hampir dialami siapa pun. Sebab, disadari atau tidak, saat ini dunia kita sudah benar-benar dilingkupi oleh realitas baru. Kecanggihan digital menyuguhkan media representasi baru yang serba cepat dan menyediakan aneka cara untuk menyalurkan ekspresi kita di sebuah tempat yang penuh sensasi.

Semuanya berpulang pada diri kita yang melakukan selfie dan pihak lain yang melihat repertoar selfie yang diunggah di berbagai laman media sosial. Apabila yang melakukan selfie tebersit niat- sekecil apa pun-untuk pamer dan menihilkan kebesaran dan keagungan Tuhan yang ditunjukkan melalui berbagai tempat di Mekkah dan Madinah, sesungguhnya dirinya akan menjadi "budak selfie" yang tanpanya seolah hidup tak berarti. Sebab, secara psikologis, merujuk pandangan Jim Carey, "dalam dunia selfie kebutuhan untuk merasa diterima atau dilihat akan membuatmu tak terlihat di dunia ini".

Namun, apabila selfie diniatkan sebagai penanda kenikmatan yang lazim disyukuri dan ber-selfie semata-mata untuk meningkatkan ekspresi peribadatan serta untuk berbagi hikmah dan i'tibar kepada pihak lain agar sama-sama belajar untuk meningkatkan kualitas diri di hadapan Tuhan, dan bukan yang lain, selfie akan menjadi salah satu maqashid yang dapat mendekatkan diri dengan Allah. Meskipun, tingkat kontrol hati untuk meredam ego-narsistiknya sangat sulit dan cenderung bersifat fluktuatif.

Semoga jemaah haji kita yang ber-selfie-ria itu tetap diniatkan untuk ibadah agar tidak mengurangi kekhusyukan menjalankan ibadah haji.

FATHORRAHMAN GHUFRON

WAKIL KATIB SYURIYAH PWNU DAN PENGURUS LPPM UNIVERSITAS NU (UNU) YOGYAKARTA, DOSEN FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SUNAN KALIJAGA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 15 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Berhaji di Era "Selfie"".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger