Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 18 September 2017

Buku, Tokoh, dan Penerbit (SUTEJO)

Di Hari Aksara Internasional, 8 September lalu, menarik mengaitkannya dengan berita Kompas (6/9), yakni tentang optimisme industri perbukuan yang menjanjikan di masa depan. Sebuah penanda kehidupan literasi.

Optimisme itu diungkapkan oleh Deputi Bidang Pemasaran Badan Ekonomi Kreatif Joshua Simandjuntak. Pertama, industri penerbitan termasuk lima terbesar dari 16 subsektor industri kreatif sehingga perlu terus didorong kualitasnya. Kedua, penerbit buku perlu memastikan kontennya bermutu, menarik, dan mampu memanfaatkan strategi pemasaran global. Jika pesan ini terealisasi, maka akan mendorong penguatan budaya literasi yang telah dicanangkan.

 Jauh sebelum Gerakan Literasi Sekolah (GLS) diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gramedia telah memelopori dengan menerbitkanBukuku Kakiku (2004). Buku menarik yang dieditori oleh St Sularto, diprakatai Jakob Oetama, dan "dikatapengantari" Fuad Hassan itu begitu inspiratif.

 Buku itu meresonansikan ingatan pada dua hal. Pertama, fenomena boomingbuku Harry Potter jilid I, yang jika dibanding kejadian di Taiwan, Thailand, dan Australia sungguh berbeda. Ilustrasi ketimpangan budaya literasi itu ditulis oleh Jakob Oetama. Ia berkesimpulan begini, "Kita disadarkan, dibandingkan dengan rasio penduduknya, jumlah tiras buku yang terbit di negeri kita lebih rendah bukan saja dibandingkan Jepang atau negara-negara industri Barat, melainkan juga India, bahkan juga lebih rendah daripada sesama negara Asia Tenggara." (2004:vii-viii).

 Kedua, filosofi buku sebagai kaki, yang dieksplorasikan oleh Sindhunata, kemudian dijadikan judul buku. Sungguh tidaklah sederhana. Filosofi itu melingkar-lingkar di tataran filsafat, sastra, kesadaran, psikologi-sosial, peradaban, kebudayaan, sejarah, bahkan-yang paling substil-lingkaran spiritual-perenial yang transenden (2004: 337-353). Sebuah tamasya spiritual yang indah dan menggugah.

 Tetapi, kemudian kita jengah ketika menjejaki kaki literasi di negeri ini. Saya ikut empati atas keprihatinan Taufiq Ismail tentang lemahnya budaya literasi di Indonesia, sebagaimana diberitakan dalam separuh halaman Kompas dengan judul "'Horison' dan Gerakan Sastra di Sekolah" (15/9/2003, hal 34). Sebuah realita ironis ketika itu, ketika Taufiq menghadap Mendikbud Wardiman Djojonegoro, justru dijawab untuk membuktikan pernyataan keprihatinannya dengan dasar angka-angka (data).

Saat itulah, tantangan itu dibuktikan Taufiq dengan melakukan riset sederhana, snapshot (potret sesaat), untuk menangkap gejala yang muncul ke permukaan.  Snapshot itu diarahkan seputar kewajiban membaca buku sastra, bimbingan menulis, dan pengajaran sastra di SMA tempat mereka belajar. Hasilnya? Tentu saja mencemaskan.

Fajar literasi

 Di era Mendikbud Anies Baswedan, ada fajar literasi yang menjanjikan, yakni program GLS yang pokok inspirasinya: (i) target pembelajaran berbasis literasi dengan kewajiban membaca buku non-teks pelajaran 6 buku (SD), 12 buku (SMP), dan 18 buku (SMA/SMK); (ii) dibentuknya tim literasi sekolah (TLS) yang bertanggung jawab atas operasionalisasi GLS; (iii) kewajiban 15 menit sebelum pelajaran untuk membaca buku non-pelajaran berikut kegiatan pengiringnya; dan (iv) integrasi GLS dengan penumbuhan budi pekerti.

 Buku desain GLS sendiri baru Januari 2016 ditandatangani. Dari desain GLS itu, dapat dimengerti posisi kemampuan literasi kita di peringkat ke-2 dari bawah (PISA, 2012) dari 65 negara peserta dan peringkat ke-4 dari bawah (riset PIRLS, 2011) dari 48 negara peserta di satu sisi, dan di sisi lain bagaimana desain dan tahapan penting itu berorientasi memajukan budaya literasi di Indonesia. Bahkan, kecerdasan literasi yang diimpikan tak saja pada tataran literasi dini (early literacy), literasi dasar (basic literacy), literasi perpustakaan (library literacy), juga literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy), dan literasi visual (visual literacy).

 Meski Mendikbud ganti, GLS tidak boleh henti. Jadikan GLS sebagai gerakan nasional yang perlu didukung semua pihak: pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat. Ini sebuah tonggak perubahan besar dan mendasar untuk memajukan budaya literasi. Satu poin terpenting adalah kewajiban membaca selama 15 menit sebelum kegiatan belajar dimulai. Apabila Jepang hanya memprogramkan 10 menit membaca di awal pelajaran bisa seperti sekarang ini, jika bangsa ini konsisten melakukannya, maka tentu lebih dahsyat hasilnya..

 Belajar dari Jepang, yang melaksanakan pembiasaan 10 menit membaca sebelum pembelajaran sejak sekitar 35 tahun lalu (era 1980-an), tak mengherankan jika kini Jepang tercatat sebagai negara dengan tingkat akselerasi peradaban ilmu paling depan. Hebatnya, kebijakan itu mendapatkan dukungan penuh orangtua dan masyarakat yang dikenal sangat fanatik. Meski mendapatkan banyak kritik dari ahli pendidikan karena terlalu behavioristik karena faktor reward danpunishment sebagai pengiringnya. Tak heran, bangsa Jepang dalam bukuSpiritual Reading karya Raghib As-Sirjani dituliskan sebagai negara dengan tingkat konsumsi buku paling tinggi di dunia dengan 40 buku per orang dalam setahun. Sementara Eropa rata-rata 10 buku, Arab rata-rata 20 lembar, dan Indonesia belum diketahui (2007:78).

 Kembali pada inspirasi Bukuku Kakiku, kado berarti dari Grame- dia di Hari Buku Nasional 2004 yang bertemakan "Dengan Buku Menuju Indonesia Baru", maka ada hal inspiratif yang menarik dikemukakan meski ini terjadi 12 tahun yang lalu. Buku berisi 22 artikel inspiratif dari orang-orang inspiratif, saksi peradaban dan kebudayaan Indo- nesia, yang menuangkan pengalamannya bergulat mesra bersama buku. Mereka rata-rata tergerak, terinspirasi, berubah, dan terakselerasi hidupnya lewat buku.

 Mereka itu di antaranya Ajip Rosidi, Ariel Haryanto, Azyumardi Azra, Benjamin Mangkoedilaga, Budi Darma, Daoed Joesoef, Franz Magnis-Suseno, Meilani Budianta, Mochtar Pabottinggi, Sudhamek AWS, Sindhunata, Yohanes Surya, dan Taufik Abdullah. Sebuah keteladanan dalam berliterasi yang menarik untuk dicatat dalam sejarah kebudayaan negeri ini. Juga sebuah harmonisasi keteladanan penerbit buku dan tokoh literasi untuk dijadikan cermin inspirasi di satu sisi dan di sisi lain pentingnya memanfaatkan momentum "fajar literasi" yang telah diagendakan bangsa Indonesia.

Akhirnya

 Untuk menghidupkan GLS, tak boleh melupakan inspirasi pergulatan tokoh-tokoh itu dalam berliterasi di kancah nasional dan internasional. Hidup sesungguhnya hanyalah peniruan berulang dari yang telah terjadi, kemudian dimodifikasi-kreasikan sesuai dengan tuntutan waktu.

 Di sinilah, maka GLS justru penting untuk diakselerasikan dalam mendorong kemajuan bangsa. Tinggal lagi konsistensi Kemendikbud dalam merealisasikannya. Jangan sampai justru adagium "ganti menteri ganti pula kebijakannya" mengalami pembenaran empirik.

 Kita tunggu saja action Mendikbud untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar berbasis budaya literasi.

SUTEJO

PENDIRI "SEKOLAH LITERASI GRATIS" STKIP PGRI PONOROGO

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 18 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Buku, Tokoh, dan Penerbit".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger