Dari sudut pandang hukum kesehatan, Asosiasi Dosen Hukum Kesehatan Indonesia ingin urung rembuk, khususnya dalam menyikapi aspek hukum dari rangkaian peristiwa yang berdimensi pelayanan kesehatan
Keputusan bahwa bayi Debora harus dirawat di pediatric intensive care unit(PICU) adalah keputusan dokter jaga yang dilakukan secara profesional dan mandiri, semata-mata untuk kepentingan kesehatan pasien. Seharusnya dalam institusi pelayanan medik seperti rumah sakit (RS), keputusan tertinggi menyangkut kepentingan kesehatan pasien adalah keputusan medik oleh dokter. Sayangnya, di rumah sakit ini, keputusan dokter sebagai pelaksana dan penanggung jawab layanan medis dapat dengan mudah dianulir oleh keputusan staf lain nonmedik.
Di sini jelas ada benturan antara kepentingan bisnis rumah sakit dan kepentingan penyelamatan pasien. Dalam kasus ini, secara sosiologis-filosofis, rumah sakit secara sengaja melupakan fungsi sosialnya. Lihat Pasal 53 Ayat 3 UU No 36/2009 tentang Kesehatan, yang secara jelas menyatakan bahwa pelaksanaan pelayanan kesehatan harus mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibandingkan kepentingan lain.
Keputusan staf nonmedik rumah sakit yang mengharuskan pembayaran uang muka untuk perawatan PICU memberi makna bagi kita bahwa ada hal-hal yang perlu didalami. Pertama, petugas administrasi keuangan yang bertugas jaga malam berani mengambil putusan seperti ini karena ada prosedur manajemen seperti itu. Ada bagan prosedur yang dijalankan dengan patuh oleh petugas administrasi jaga malam. Logika lurus menuntun kita untuk berpikir bahwa ini adalah kebijakan rumah sakit dan bukan putusan personal.
Kedua, petugas administrasi keuangan rumah sakit beranggapan bahwa penanganan pasien bayi Debora di ruang PICU bukanlah bagian dari penanganan darurat, melainkan merupakan tindakan medik lanjut. Berarti ia tidak tunduk pada Pasal 33 Perpres No 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan, yang mengharuskan pasien darurat ditolong tanpa ditarik uang muka. Ini adalah kekeliruan kebijakan rumah sakit yang sebetulnya berdimensi pidana, seperti diatur Pasal 190 UU No 36/2009 tentang Kesehatan
Ketiga, merujuk pasien yang status klinisnya belum stabil ke rumah sakit lain adalah tindakan keliru karena berpotensi mengancam kematian di perjalanan.
Penyelidikan komprehensif
Perlu didalami apakah ada kebijakan RS yang dipanuti karyawannya yang tidak mendukung kewajiban RS memberikan pelayanan kepada pasien gawat darurat serta pembayaran oleh kantor BPJS kepada peserta BPJS yang meminta pertolongan darurat di fasilitas kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS. Apabila benar ada kebijakan seperti itu, otoritas bidang kesehatan harus mengambil langkah koreksi yang membangun.
Membuka rahasia pasien, dalam keadaan apa pun, juga tidak dibolehkan, seperti menyampaikan informasi ada penyakit penyerta pada bayi Debora. Pasal 57 Ayat 1 UU Kesehatan berbunyi: "Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan". Kerahasiaan pasien juga diatur dalam UU Praktik Kedokteran dan UU Rumah Sakit.
Agar menjadi pembelajaran bersama, ke depan kiranya perlu dilakukan penyelidikan komprehensif apakah dalam kasus ini ada unsur tindak pidana atas pelanggaran Pasal 190 UU No 36/2009 tentang Kesehatan dan Pasal 304 KUHP mengenai pembiaran atau meninggalkan orang yang wajib ditolong.
Dalam Pasal 190 Ayat 1 UU Kesehatan disebutkan bahwa: "Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 Ayat 2 atau Pasal 85 Ayat 2 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)."
Dalam Ayat 2 disebut : "... dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."
Pasal 304 KUHP juga telah mengatur hal ini bahwa "Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Selain itu, diatur juga tentang ganti rugi dalam Pasal 58 Ayat 1 UU Kesehatan: "Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya."
Kini kita semua dalam penantian: apa yang akan dilakukan otoritas kesehatan terhadap kasus-kasus seperti ini? Masihkah kita berkelit bahwa anak bangsa banyak mati sia-sia karena sistem pelayanan kesehatan kita masih belum dikelola secara profesional dan mengedepankan aspek kemanusiaan ketimbang aspek bisnis.? Mestikah kita harus tanya pada rumput yang bergoyang?
M NASSER
KETUA ASOSIASI DOSEN HUKUM KESEHATAN INDONESIA
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Catatan Hukum Kesehatan Kasus Bayi Debora".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar