Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 08 September 2017

Diplomasi Kemanusiaan Indonesia di Myanmar (ANNISA GITA SRIKANDINI)

Sejak konflik di Rakhine mengalami ekskalasi pada tahun lalu, Indonesia telah secara aktif melakukan pendekatan diplomasi kemanusiaan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana agar diplomasi kemanusiaan ini dapat dilakukan secara efektif?

Diplomasi kemanusiaan banyak dilihat dalam literatur akademik sebagai bagian dari upaya untuk melakukan negosiasi demi mendapatkan akses terhadap masyarakat yang terdampak krisis (Minear, Smith, Ed, 2007). Diplomasi ini dianggap berbeda dengan jenis diplomasi lain, seperti diplomasi perdagangan, keamanan, dan lingkungan, mengingat diplomasi kemanusiaan lebih bersifat ad hoc. Ini berarti bahwa praktik diplomasi kemanusiaan terikat pada konteks sebuah krisis, yang terjadi dalam rentang waktu tertentu, serta pada teritorial tertentu pula.

Mereka yang terlibat dalam diplomasi ini dituntut untuk mampu menjangkau publik yang lebih luas. Bahkan, jika dimungkinkan, pihak-pihak yang dilibatkan di dalamnya dapat memobilisasi media untuk mengumpulkan opini publik demi mendapatkan tujuan kemanusiaan (Mills, 2005 & Minear, Smith, Ed, 2007).

Keberhasilan diplomasi kemanusiaan kemudian ditentukan oleh banyak hal. Lembaga Inter-Agency Standing Committee (IASC) yang menjadi mekanisme koordinasi antara organisasi PBB dan lembaga-lembaga kemanusiaan dunia menentukan empat hal yang menjadi parameter sebuah keberhasilan diplomasi kemanusiaan.

Pertama, komitmen pembuat kebijakan dan pemimpin negara untuk lebih mengutamakan kepentingan masyarakat rentan yang terkena dampak krisis. Kedua, akses kemanusiaan yang lebih luas. Ketiga, pemahaman yang kuat dalam memobilisasi sumber daya. Keempat, fasilitasi  terhadap partnershipbagi masyarakat yang terkena dampak.

Beberapa langkah terukur kemudian dapat dilakukan untuk memperkuat diplomasi kemanusiaan yang dilakukan Indonesia.

Penguatan diplomasi kemanusiaan Indonesia

Pertama, komitmen Pemerintah Myanmar yang lemah dalam merespons krisis kemanusiaan tidak hanya terjadi kali ini terhadap pengungsi Rohingya. Pada 2008, saat bencana topan Nargis menghantam negara tersebut, Pemerintah Myanmar dikritik secara luas oleh dunia internasional akibat menutup akses kemanusiaannya.

Posisi Pemerintah Myanmar ini kemudian berubah setelah tekanan yang diberikan dunia internasional. Hal ini juga didorong oleh tingkat kepercayaan Pemerintah Myanmar terhadap proposal bantuan yang diberikan ASEAN kepada negara tersebut.

Sejak momentum Nargis, Pemerintah Myanmar kemudian menjadi lebih inklusif terhadap keikutsertaan lembaga nonnegara, baik nasional maupun internasional. Setidaknya, hingga 2010, sebanyak 170 organisasi- termasuk PBB-bekerja di Myanmar dan terjadi peningkatan jumlah staf yang bekerja di organisasi kemanusiaan internasional di negara ini dari 3.500 orang pada 2005 menjadi 10.000 orang tahun 2009 (Pedersen, 2012).

Berangkat dari rekam jejak Pemerintah Myanmar ini, kita patut optimistis bahwa pemberian akses kemanusiaan pada krisis di Rakhine bukan sesuatu yang mustahil. Argumen yang menyatakan bahwa krisis Nargisdan Rakhine memiliki karakteristik yang berbeda, mengingat aspek politis yang kuat di kasus Rakhine, sepertinya dapat pula diperdebatkan. Krisis Nargistelah secara nyata menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah terhadap semua warganya, bahkan terhadap etnis Burmese yang paling banyak menjadi korban di krisis Nargis.

Kedua, upaya untuk mengubah posisi Pemerintah Myanmar dapat dilakukan oleh semua aktor diplomasi multitrack. Upaya ini terutama harus dilakukan dengan mengedepankan semangat "penyelesaian bersama". Riset mengenai advokasi di Myanmar menunjukkan bahwa strategi pendekatan terbaik kepada Pemerintah Myanmar dilakukan dengan metode komunikasi tidak langsung.

Kompleksitas masalah ditambah lemahnya komitmen politik dalam merespons krisis terkadang menjadikan Pemerintah Myanmar sebagai sasaran tembak untuk disalahkan. Hal ini dapat menjadi kontraproduktif bagi upaya diplomasi kemanusiaan di Myanmar.

Sebagai negara yang lebih dari tiga dekade berada di bawah kepemimpinan militer, negara menjadi pusat dari proses pembuatan keputusan. Hal ini membuat proses masukan kebijakan dari luar aktor negara ataupun dari negara lain menjadi hal yang sensitif. Diplomasi dan advokasi akan lebih efektif jika dilakukan dengan cara subtle tanpa menyalahkan dan mempermalukan (not blaming and not shaming).

Ketiga, dalam upaya memobilisasi sumber daya, kerja sama dengan organisasi kemanusiaan lain di Myanmar menjadi langkah yang strategis. Hal ini bisa dilakukan dalam kerangka platform kerja sama yang mengedepankan proses pertukaran informasi dan pengetahuan.

Pengalaman saat proses pemulihan dan rehabilitasi setelah krisis Nargis,ASEAN membentuk Tripartite Groupdi mana ASEAN, Pemerintah Myanmar, dan PBB bekerja bersama dalam satu koordinasi. Penggunaan platform ini tidak hanya berkontribusi bagi upaya penyaluran bantuan kemanusiaan secara lebih efektif dan efisien, tetapi juga meningkatkan posisi tawar terhadap Pemerintah Myanmar.

Diplomasi kemanusiaan menuntut proses yang cepat mengingat eskalasi konflik dan krisis yang dapat berubah sewaktu- waktu di lapangan. Kepercayaan Pemerintah Myanmar yang diikuti dengan langkah strategis melalui sinergi banyak pihak menjadi kunci keberhasilan diplomasi kemanusiaan.

 ANNISA GITA SRIKANDINI

PENGAJAR DI JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL UGM; KANDIDAT PHD DI UNIVERSITAS WAGENINGEN, BELANDA, DENGAN DISERTASI "POLITICS OF DISASTER RISK GOVERNANCE IN INDONESIA AND MYANMAR"

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Diplomasi Kemanusiaan Indonesia di Myanmar".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger