Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 08 September 2017

Gubernur DIY Perempuan (DJOHERMANSYAH DJOHAN)

Tanggal 10 Oktober 2017 masa jabatan Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta akan berakhir.

Beliau telah memangku jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sejak 1998 tanpa terputus (19 tahun), sejak usia 52 tahun hingga kini berusia 71 tahun. Memang ini dibolehkan UU. Jabatan Gubernur DIY tidak dibatasi dua periode seperti di daerah lain. Bahkan, Sultan Hamengku Buwono IX menjabat Gubernur DIY sampai 43 tahun (1945-1988). Hanya saja, setiap lima tahun sekali dilakukan penetapan oleh DPRD.

Belakangan, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan tanggal 31 Agustus 2017 Nomor 88/PUU-XIV/2016 telah membatalkan ketentuan Pasal 18 Ayat (1) Huruf m UU No 13/2012 tentang Keistimewaan DIY. Inti dari putusan tersebut:   perempuan dapat menjadi gubernur DIY. Pertanyaannya sekarang, kapan DIY bisa punya gubernur perempuan? Tampaknya tidak gampang. Jalan ke sana masih cukup panjang.

Isu sultan perempuan

Ketika membahas RUU Keistimewaan DIY, lima tahun lalu, tidak pernah ada isu sultan perempuan. Isu utamanya adalah soal penetapan Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam yang bertakhta sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY versus pemilihan langsung oleh rakyat. Pemerintahan SBY yang mendukung pemilihan langsung, karena tekanan publik yang kuat, akhirnya mengalah.

Lalu, pada 30 Agustus 2012 diketoklah palu oleh DPR bahwa pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY lewat penetapan. Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam yang bertakhta ditetapkan oleh DPRD DIY masing-masing sebagai gubernur dan wakil gubernur. Tentu saja setelah proses verifikasi persyaratan. Bahkan, setelah DPRD mendengar pemaparan visi, misi, dan program calon gubernur.

Karena itu, tidak pernah ada perdebatan soal syarat calon gubernur dan calon wakil gubernur yang harus menyerahkan daftar riwayat hidup istri, sesuai Pasal 18 Ayat (1) Huruf m di atas. Malah yang sempat mencuat isu Pasal 18 Ayat (1) Huruf n tentang larangan calon menjadi anggota parpol karena berpotensi bertentangan dengan HAM. Namun, karena Sultan Hamengku Buwono X menerima, isu itu pun reda.

Pembuat UU Keistimewaan DIY No 13/2012 yang sangat memperhatikan usulan pihak Yogyakarta jelas sekali berasumsi Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah laki-laki sesuai sejarah keraton selama ini. Sejak Hamengku Buwono I naik takhta pada 1755 hingga Hamengku Buwono X dinobatkan tahun 1989, semua sultan laki-laki.

Oleh karena itu, pada Pasal 1 Angka 4 dimasukkan pengertian bahwa  kesultanan adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah, yang disebut Sultan Hamengku Buwono. Dari gelar tersebut jelas sekali bahwa sultan maskulin, bukan feminin. Mengapa? Sebab, dia adalah khalifatullah atau pemimpin agama (Islam).

Perempuan sebagai sultan

Perempuan sebagai gubernur di DIY sudah dibukakan pintunya oleh MK dengan menyatakan Pasal 18 Ayat (1) Huruf m tidak punya kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan UUD 1945. Lalu, dalam kaitan ini, bagaimana dengan perempuan sebagai sultan? Sebab, di Provinsi DIY, perempuan untuk dapat menjadi gubernur harus berposisi sebagai sultan yang bertakhta. Artinya, dia mesti naik takhta dulu dan bergelar Sultan Hamengku Buwono sesuai ketentuan UU No 13/2012.

Untuk bisa naik takhta, pilihannya ada dua. Pertama, Sultan lengser keprabon. Kedua,sultan mangkat. Namun, pilihan yang "apik" Sultan Hamengku Buwonolengser keprabon, seperti kasus Hamengku Buwono VII. Kemudian, sultan perempuan dinobatkan dan dilantik sebagai Gubernur DIY melanjutkan sisa masa jabatan.

Kalau gelar sultan tetap Hamengku Buwono, berarti sudah sesuai dengan UU Keistimewaan DIY. Namun, kalau gelarnya berubah menjadi Sri Sultan Hamengku Bawono, suksesi bisa terganjal karena UU No 13/2012 harus direvisi dahulu, khususnya Pasal 1 Angka 4.

Ditilik dari segi waktu, pelantikan Gubernur DIY periode 2017-2022 tinggal sebulan. Lebih dari itu, proses pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY oleh DPRD telah selesai, tinggal menunggu terbitnya keputusan presiden. Jadi, gubernur DIY yang bakal dilantik oleh Presiden Joko Widodo bulan Oktober mendatang masih tetap Sultan Hamengku Buwono X dan wakilnya Paku Alam.

Kapan lalu gubernur DIY dari perempuan? Waktunya bergantung pada berapa lama revisi terbatas UU No 13/2012 bisa selesai. Utamanya, mengganti nama kebesaran raja dari Sultan Hamengku Buwono menjadi Sri Sultan Hamengku Bawono serta perubahan atribut yang menyertai gelar raja, termasuk menghapus Pasal 18 Ayat (1) Huruf m yang telah dibatalkan MK.

Selain itu, faktor yang juga memengaruhi kehadiran gubernur DIY perempuan adalah penerimaan saudara laki-laki Sultan Hamengku Buwono X dan tokoh-tokoh masyarakat, khususnya ulama, terhadap perubahan paugeran(peraturan di lingkungan kasultanan) terkait sultan perempuan. Untuk itu, kepiawaian Sultan Hamengku Buwono X bermusyawarah-mufakat dan mengelola konflik sangat menentukan mulus tidaknya suksesi.

UU No 13/2012 sendiri sudah membuka ruang bagi reformasi keraton melalui pengaturan Pasal 43 Huruf a dan b, yang isinya mengamanahkan kepada Sultan Hamengku Buwono untuk melakukan penyempurnaan dan penyesuaianpaugeran sesuai perkembangan zaman, dengan mengumumkannya kepada masyarakat. Filosofinya: takhta untuk rakyat. Kita doakan yang terbaik untuk DIY: Yogya memang istimewa!

DJOHERMANSYAHDJOHAN

KETUA PANJA PEMERINTAH RUU KDIY/DIRJEN OTONOMI DAERAH KEMENDAGRI RI 2010-2014

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Gubernur DIY Perempuan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger