Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 08 September 2017

HET Beras dan Kebijakan yang Baik (KHUDORI)

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita memenuhi janjinya: menerbitkan aturan perberasan, menyusul pencabutan Permendag No 47/2017 yang mengatur harga eceran tertinggi beras. Jika di aturan lama HET berlaku buat semua jenis beras, beleid baru membedakan harga berdasarkan jenis beras dan wilayah edar.

Beras dibagi tiga: medium, premium, dan khusus. Wilayah dibagi dua: sentra produksi dan sentra konsumsi. Ditetapkan 24 Agustus, aturan berlaku 1 September. Pelaku usaha nyaris tak punya waktu menyesuaikan diri. Padahal, ini berlaku nasional, di pasar tradisional dan modern.

Harga eceran tertinggi (HET) beras medium di sentra produksi ditetapkan Rp 9.450 per kilogram, sedangkan di sentra konsumen Rp 9.950-Rp10.250/kg, bergantung ongkos transportasi. HET beras premium di sentra produksi dipatok Rp 12.800/kg, sedangkan di sentra konsumen Rp 13.300-Rp13.600/kg, bergantung ongkos transportasi. HET beras khusus tak diatur. Jawa, Lampung, Sumsel, Bali, NTB, dan Sulawesi ditetapkan sebagai sentra produksi. Sisanya adalah wilayah sentra konsumsi.

"Membaca" HET

Bagaimana kita membaca HET ini? Pertama, dalam konteks stabilisasi harga beras, sejatinya HET merupakan instrumen pemerintah, bukan peranti langsung untuk mengatur pelaku usaha. HET batas harga perlu tidaknya pemerintah mengintervensi pasar. Ketika harga melampaui persentase tertentu dari HET, ini sinyal bagi pemerintah turun ke pasar buat melakukan intervensi. Salah satunya menggelar operasi pasar agar harga kembali ke "normal" atau di bawah HET. Tujuannya, daya beli terjaga dan inflasi terkendali.

Karena itu, dalam konteks stabilisasi harga beras, HET tidak berdiri sendiri. HET pelengkap pelbagai instrumen stabilisasi: cadangan, pengaturan ekspor dan impor, serta harga dasar.

HET tidak bisa diandalkan jadi instrumen stabilisasi apabila tak ada cadangan beras yang setiap saat bisa digerakkan untuk mengoreksi kegagalan pasar. Agar cadangan aman, penyerapan beras dari produksi domestik harus dioptimalkan. Di sinilah perlu instrumen harga dasar, yang dalam terminologi Inpres No 15/2015, disebut harga pembelian pemerintah (HPP). HPP adalah perisai agar petani tidak merugi. Ketika harga gabah/beras jatuh di bawah HPP, negara lewat Bulog hadir membeli produksi petani. Ketika cadangan belum cukup, bisa diisi dari impor yang dilakukan di luar musim panen. Sekarang ini tidak jelas kaitan HET dengan cadangan beras dan instrumen lainnya.

Kedua, perlukah mengatur HET beras premium? Beras, seperti komoditas lain, dapat diproses lebih lanjut guna mendapat nilai tambah. Proses itu butuh investasi, teknologi, dan tenaga, yang ujung-ujungnya memperbesar ongkos produksi. Karena itu, harga jualnya lebih mahal. Segmen yang dibidik pengolah beras premium adalah warga berduit. Mereka ini rela merogoh kocek lebih dalam jika ada produsen yang, misalnya, mampu mengolah beras agar mengandung antioksidan, cocok buat diabetes dan jadi obat awet muda. Mengapa negara mesti sibuk mengurus konsumen tajir yang berdaya beli tak terbatas. Bukankah mereka membeli nilai tambah dan eksklusivitas?

UUD 1945 mengamanatkan negara menyantuni kaum fakir miskin dan anak telantar (Pasal 34 Ayat 1) agar beroleh penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 Ayat 2), bukan mengurus gaya hidup kaum tajir. HET dibuat agar harga beras terjangkau oleh rata-rata daya beli masyarakat. Kalau konsisten dengan latar itu, konsumen yang hendak disasar sudah jelas: kaum miskin. Karena itu, HET seharusnya hanya mengatur jenis beras medium untuk segmen warga kebanyakan, bukan konsumen tajir. Dengan cara ini, beleid HET tidak menutup peluang bagi para inovator untuk meningkatkan nilai tambah beras jadi premium. Apa pun inovasinya.

Ketiga, yang dibutuhkan bukan HET, melainkan pemerintah perlu memiliki cadangan beras premium. Ini didasari pertumbuhan permintaan beras premium yang mencapai 11 persen per tahun, sementara permintaan beras medium 9 persen/tahun (Krishnamurti, 2015). Pesatnya urbanisasi membuat pangsa konsumen kota kini mencapai 56 persen dari total konsumen beras. Logis kiranya dinamika pasar perberasan, termasuk naik-turunnya harga beras, kini lebih banyak ditentukan oleh beras kualitas premium, bukan medium.

Menjadi masalah karena cadangan beras pemerintah (CBP) hanya dalam jenis medium. Selain jumlahnya kecil, hanya 0,35 juta ton-setara tiga hari kebutuhan-efektivitas CBP kualitas medium sebagai instrumen stabilisasi amat rendah. Jadi, CBP diperbesar jadi 1,5 juta ton. Ini diisi beras premium. Selain operasi pasar, CBP bisa dipakai buat beragam programfood for work, ekspor, program anti-kemiskinan dan bantuan internasional.

Keempat, penetapan HET potensial merugikan petani. Untuk bisa menjual beras medium Rp 9.450/kg, harga gabah maksimal sekitar Rp 4.000/kg. Padahal, di pasar saat ini sulit menemui harga gabah Rp 4.000/kg. Agar bisa menjual beras sesuai HET, pedagang dan penggilingan padi akan menahan pembelian gabah atau menekan petani agar harga turun. Jika harga jatuh di bawah Rp 4.000/kg, petani tekor karena ongkos produksi padi rata-rata Rp 4.199/kg. Jika ini terjadi di banyak tempat dan dalam jumlah besar, Bulog pasti kewalahan menyerap surplus produksi. Kepada siapa petani minta tolong? Penggilingan padi kecil juga terancam tutup karena tak bisa melakukan efisiensi.

Buang egosektoral

Di luar itu, HET membuat petani enggan berinovasi dan memproduksi padi berkualitas. Ini karena HET tidak mengakomodasi dan membuka peluang petani mendapatkan nilai lebih dari inovasi yang dilakukan. HET memaksa pedagang dan penggilingan padi memperlakukan sama petani yang memproduksi padi berkualitas dengan yang tidak.

Lalu, apa gunanya subsidi pupuk Rp 31,2 triliun dan subsidi benih Rp 1,3 triliun jika inovasi tak dihargai? Berbeda halnya jika HET mengakomodasi penciptaan nilai tambah beras dalam bentuk tidak ada pengaturan HET beras premium. Nilai tambah itu pasti akan membawa spill over ke petani dalam bentuk harga beli gabah lebih tinggi.

Kasus HET beras kembali menyadarkan perlunya pemangku kepentingan untuk berhati-hati, membuang jauh-jauh egosektoral dengan menimbang semua sisi, dan melibatkan para pihak untuk membuahkan kebijakan yang baik dan kredibel. Kebijakan yang baik tentu juga didasarkan pada data yang baik dan bisa dipertanggungjawabkan. Ini penting karena ujung dari semua ini kredibilitas pemerintah yang menjadi taruhan.

Jika kebijakan yang dibuat memicu pro-kontra, yang kemudian berujung pada pencabutan kebijakan, kepercayaan publik kepada pemerintah akan tergerus. Sebaliknya, kebijakan yang baik bukan hanya mendorong ekonomi, melainkan juga mempertebal kepercayaan publik.

Disadari atau tidak, beleid HET beras masih jauh dari idealitas itu semua. HET beras bukan hanya berpotensi mendemotivasi petani, melainkan juga menciptakan sikap fatalistik yang membuat kebijakan semakin sulit diefektifkan. Inilah yang disebutsindroma price overhang, kondisi di mana harga yang ditetapkan terus menggantung karena tidak pernah bisa ditegakkan.

KHUDORI

PEGIAT ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 8 September 2017, di halaman 7 dengan judul "HET Beras dan Kebijakan yang Baik".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger