Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 09 September 2017

Hoaks dan Peluang Demokrasi (EDUARDUS LEMANTO)

Belakangan ini media, baik cetak maupun daring (online), disesaki oleh berita mengenai Saracen; produsen dan sindikat penyebar ujaran kebencian dan berita bohong (hoaks), khususnya lewat media-media daring, media sosial, dan jejaring komunikasi lainnya. 

Sasaran dari berita-berita itu tentu terfokus pada kecaman keras terhadap sindikat tersebut dan terhadap aktor-aktor tersembunyi di baliknya. Namun, jika kita masuk lebih jauh, terdapat sisi lain dari hoaks.

Hoaks dalam dunia yang terdigitalisasi (digitalized world) merupakan sesuatu yang tak terelakkan. Itu simtom normal, apalagi pemanfaatannya bagi dunia politik yang memang selalu tidak pernah steril dari, mengutip istilah Castle (The Power of Identity, 1997), politik pacuan kuda (horse race politics); yakni sebuah permainan ambisi tak berakhir, manuver kasar dan halus, strategi dan counter-strategy. Jika ia fenomena normal, lalu harus bagaimana menyikapinya?

Politik sumber masalah

Dari sudut pandang itu, Saracen atau hoaks tak selalu bersisi buruk kendati kita tahu bahwa isinya berita bohong dan ujaran- ujaran kebencian, umpatan berwatak suku-agama-ras-antargolongan (SARA), dan seterusnya. Mengapa? Sebab, ia bukanlah penyebab dan sumber kekacauan politik (political chaos) dan kekacauan sosial (social chaos). Saracen dan hoaks sebagian besar adalah gejala-gejala luaran dari akar masalah, yakni politik itu sendiri.

Sumber masalahnya terletak pada kelakuan pelaku politik, baik partai politik maupun politisi. Karena Saracen dan hoaks adalah efek-efek samping dari kelakuan buruk politisi, maka kedudukannya justru harus dianggap penting karena kemunculan mereka merupakan alarm keras. Ia berisi peringatan serius bahwa perpolitikan bangsa ini sesungguhnya sedang sakit parah. Sakit politik berwujud krisis parah eksistensi parpol-parpol.

Pemakaian dan pemanfaatan Saracen dan hoaks dalam politik merupakan ekspresi diri parpol- parpol dan politisi secara eksplisit tentang kondisi pemburukan diri mereka masing-masing. Parpol-parpol mengalami kekurangan kader-kader bermutu. Buntutnya, feodalisme dalam partai justru diperkuat.

Cara mengukurnya bisa dibidik dari kelakuan parpol-parpol dalam mengusung kandidat, baik dalam pemilihan gubernur, pemilihan anggota legislatif, maupun pemilihan presiden dan wakil presiden.

Feodalisme itu dalam wujud paling mendasar tampak dalam proses pengusungan kader-kader pada kontestasi pilkada, pemilu legislatif, ataupun pilpres dengan tak memperhitungkan mutu; integritas, kualitas, dan akseptabilitas kader, selain disokong atas dasar jejaring kepentingan eksklusif (link of exclusive interest), baik kepentingan perorangan maupun kelompok-kelompok sempit. Kita tak sukar menemukan contohnya di lapangan.

Sementara, politisi mengalami retrogresi diri; kondisi pemburukan dan penurunan kualitas diri karena berpolitik semata- mata untuk tujuan mendapat kekuasaan, sembari menyepak ke pinggir perihal kebaikan publik. Alhasil, Saracen dan hoaks dipungut sebagai satu-satunya cara untuk memenangkan kontestasi dengan menebar gosip, umpatan, caci maki, dan pembunuhan karakter (character assassination) bagi lawan-lawan bermutu.

Celakanya, instrumentalisasi Saracen dan hoaks itu menjadi jalan instan memenangkan pertarungan dan dianggap tepat sasaran karena target pasarnya adalah masyarakat emosional (emotional society); masyarakat yang menyerap berita secara cepat kilat dan spontan, tanpa pencernaan dan tanpa filterisasi yang matang, obyektif, dan tanpa verifikasi, pun tak memakai akal sehat.

Peluang demokrasi

Dari sisi itu, saracen dan hoaks perlu dipandang dari aspek evaluatifnya. Maksudnya, arus deras berita bohong dan gosip-gosip murahan politik mesti dipakai sebagai bahan evaluasi, yakni pemeriksaan kembali elemen-elemen penting demokrasi, khususnya eksistensi parpol-parpol dan kelakuan politisi. Kedudukan kedua elemen ini sangat penting, menimbang maju-mundurnya atau berkualitas-tidak berkualitasnya politik sangat tergantung dari cara mereka berperilaku.

Dengan demikian, fenomena Saracen dan sindikat produsen hoaks itu perlu dibaca sebagai peluang bagi bangsa ini untuk merombak dua hal sekaligus; reformasi politik (parpol dan politisi) sekaligus transformasi masyarakat, dari masyarakat gosip ke masyarakat literatur. Sebagaimana politik adalah sumber masalah, maka proses kurasi kekacauan politik harus dirujuk pada proses penyehatan politik itu sendiri.

Bisa juga dibaca secara terbalik bahwa produksi dan pemesanan berita hoaks oleh parpol-parpol atau politisi yang berkepentingan adalah simbol kekalahan demokrasi semu; demokrasi yang semata bermain pada level pencitraan.

Artinya, kemunculan dan pemakaian Saracen justru menjadi pertanda bahwa dalam demokrasi bangsa ini sudah mulai bertumbuh kader-kader politisi dan para pemimpin yang berkualitas, yang hanya bisa dikalahkan dengan penebaran hoaks untuk tujuan pembunuhan karakter.

Tugas utama negara adalah bagaimana menyemai tunas-tunas pemimpin yang baik tersebut. Orang-orang baik dan konstruktif harus dilindungi, bukan dengan cara mematikan ruang informasi digital, melainkan dengan menguatkan kultur literasi pada masyarakat; membuka mata masyarakat untuk terus berpolitik dengan mengedepankan prinsip obyektivitas; menilai dan memilih para pemimpin yang berintegritas, berkapasitas, dan berakhlak manusiawi.

Dengan cara ini pula, parpol- parpol dan politisi ditantang untuk berubah. Mata parpol didorong untuk mulai terbuka bahwa tantangan yang dihadapinya di masa kini bukan lagi pada "permainan-permainan politik tua" yang berwajah feodalistik itu. Namun, ia sudah bergeser pada kualitas figur-figur yang diusung. Lalu, kompetisi politik bukan lagi pada kuatnya jejaring kekuasaan (link of power). Tetapi jualannya pada kualitas kader-kader pemimpin.

Jadi, Saracen atau berita hoaks sesungguhnya bukanlah sebuah persoalan yang menakutkan. Namun, ia menjadi titik awal untuk sebuah proses perubahan ke arah yang baik. Hoaks itu bukan sebab. Namun, ia akibat. Penyebabnya tetap bersumber pada perilaku politik, baik parpol maupun politisi.

Fenomena ini hanya bisa dihanguskan jika parpol dan politisi memakainya sebagai alat evaluasi dan peluang untuk berubah, dari partai feodal ke partai demokratis; dan jika masyarakat berubah dari masyarakat emosional ke masyarakat rasional.

EDUARDUS LEMANTO

Alumnus Program Magister Filsafat STF Driyarkara

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 September 2017, di halaman 7 dengan judul "Hoaks dan Peluang Demokrasi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger