Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 12 September 2017

Keniscayaan Bineka Pangan (ADHI S LUKMAN)

Pesan kebinekaan Indonesia dipertontonkan dalam upacara peringatan detik-detik Proklamasi Kemerdekaan baru-baru ini.

Ini pertama kalinya Presiden Jokowi beserta undangan hadir dengan keragaman pakaian adat Indonesia. Pesan keberagaman itu juga relevan guna mewujudkan kebinekaan pangan untuk ketahanan pangan Indonesia. Sumber daya pangan lokal  sangat beragam. Banyak yang bisa digali dari pangan lokal, yang biasa disebut kearifan lokal. Namun sayang, dengan perkembangan zaman, cadangan pangan nasional (CPN) sering diartikan penyeragaman ketersediaan pangan pokok beras. Beras jadi benda keramat yang dijaga dengan sangat berlebih, bahkan sering dipolitisasi, seolah beras segalanya.

UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012 Pasal 23 Ayat 1 menyatakan, "Dalam mewujudkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan dan Ketahanan Pangan, Pemerintah menetapkan CPN." Selanjutnya, Pasal 27 menyatakan, "Pemerintah menetapkan Cadangan Pangan Pemerintah dan Cadangan Pangan Pemerintah Daerah." Ditegaskan lagi dalam Pasal 29 Ayat 1, "Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa menetapkan jenis dan jumlah Cadangan Pangan sesuai kebutuhan konsumsi masyarakat setempat."

Jelas ditulis bahwa keragaman dan kearifan pangan lokal menjadi kekuatan ketahanan pangan, pemda, bahkan desa pun bisa menentukan jenis dan jumlahnya. Namun, sampai saat ini belum satu pemda pun yang menetapkannya. Semua masih terpusat dengan kebijakan pemerintah pusat yang menentukan CPN berupa beras. Padahal, banyak pangan, seperti sagu, jagung, dan singkong, sudah menjadi pangan pokok sejak zaman nenek moyang. Dampaknya, beras menjadi komoditas sentralistik yang kadang perlu dikelola dengan biaya yang mahal dan sering memberikan kesan sakral. Kita lupa punya kekayaan alam lain yang perlu mendapat perhatian juga.

Cadangan pangan

Kebijakan pangan sudah waktunya didefinisikan ulang, khususnya terkait cadangan pangan, agar keragaman pangan lokal bisa ikut berkontribusi dalam ketahanan pangan. Hal yang perlu segera dilakukan, pertama, pemerintah pusat mendorong dan menetapkan bahwa pemda sampai desa wajib menentukan jenis cadangan pangan daerah (CPD) serta melaporkannya kepada pemerintah pusat. Selanjutnya, pemerintah pusat menetapkan CPN berbasis daerah.

Kedua, mewajibkan pemda memetakan potensi CPD, baik jumlah, jenis, maupun area yang bisa dijadikan CPN, serta memetakan kebutuhan konsumsi masyarakatnya. Dengan demikian, pemerintah pusat punya basis data akurat yang bisa dipakai jika dibutuhkan untuk saling membantu kebutuhan antardaerah, keperluan darurat bencana, bantuan kelaparan, bahkan untuk stabilisasi harga sesuai amanat UU. Artinya, pemerintah menguasai sumber daya yang bisa dipakai mengendalikan kebutuhan dan stabilisasi pangan pokok.

Ketiga, sesuai UU Pangan Pasal 33, pemerintah perlu merealisasikan cadangan pangan masyarakat (CPM), di mana masyarakat punya hak dan kesempatan seluas-luasnya dalam mewujudkannya. Demikian juga pemerintah memfasilitasi pengembangan CPM sesuai kearifan lokal. Sesuai Pasal 26 disebutkan, pemerintah dapat mengembangkan kemitraan dengan pelaku usaha pangan, perguruan tinggi, dan masyarakat dalam pengembangan CPN. Pelaku usaha bersama akademisi bisa berinovasi menggali potensi kearifan lokal untuk mewujudkan CPN.

Inovasi juga dilakukan untuk membuat nilai tambah produk pangan lokal sehingga bermanfaat bagi masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah. Produk pangan dengan indikasi geografis sangat berpotensi menjadi produk CPM bernilai tambah dan sering diminati konsumen karena punya keunggulan tertentu. Inovasi produk pangan olahan bernuansa kebinekaan pangan lokal akan menambah diversifikasi dan diferensiasi produk sehingga memberikan nilai tambah dan memperkuat daya saing di pasar global.

Betapa indahnya jika pasal ini bisa diwujudkan melalui kerja sama pemerintah dengan semua pemangku kepentingan sehingga target pemerintah mengamankan CPN, stabilisasi harga, dan ketahanan pangan bisa direalisasikan dengan damai tanpa adanya keterpaksaan sehingga demokrasi ekonomi bisa terwujud dalam memperkuat ekonomi nasional serta memperkuat ketahanan pangan.

Keempat, penguatan lembaga yang mengelola cadangan pangan sangat diperlukan, baik di tingkat pusat maupun daerah, sesuai dengan amanat UU Pangan Pasal 126-129. Lembaga ini (apa pun namanya, Badan Pangan Nasional/Bapanas atau lainnya) harus segera diwujudkan sehingga kebijakan pangan bisa terintegrasi dengan baik. Dengan integrasi yang baik, peran serta semua pemangku kepentingan bisa ditampung dan disalurkan menuju ketahanan pangan yang kuat.

Kelima, setelah terbentuknya Bapanas, lembaga ini melakukan evaluasi serta sinkronisasi kebijakan pangan nasional dan melakukan rekomendasi perubahan agar bisa mewujudkan ketahanan pangan berbasis demokrasi yang sehat, berkearifan lokal, dan kepentingan nasional yang kuat.

ADHI S LUKMANKETUA UMUM GABUNGAN PENGUSAHA MAKANAN DAN MINUMAN SELURUH INDONESIA; ANGGOTA POKJA AHLI DEWAN KETAHANAN PANGAN INDONESIA; PRAKTISI INDUSTRI PANGAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Keniscayaan Bineka Pangan"

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger