Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 09 September 2017

Kepemimpinan (GINANDJAR KARTASASMITA)

Setiap kali datang perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus, ada empat perasaan yang menyertainya. Sukacita, haru, prihatin, dan harapan. Pada saat-saat itu kita juga mengenang jasa para pemimpin pada masa sebelum dan awal kemerdekaan, masa panjang dan penuh pergolakan.  

Pada masa-masa menentukan itu, tampil pemimpin kaliber besar seperti Tjokroaminoto, Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka, Otto Iskandardinata, Supomo, M Yamin, Hasyim Asy'ari, Abdoel Moeis, Ki Bagus Hadikusumo, M Natsir, dan Sudirman. Para tokoh pergerakan itu berasal dari latar belakang berbeda, tetapi dipersatukan oleh kesamaan cita-cita perjuangan.  Karakter kuat para pemimpin itu terbentuk dalam perjuangan melawan penjajah. Mereka tampil sebagai pemimpin pergerakan pada usia muda sehingga tidak berlebihan jika dikatakan cikal bakal negeri dibentuk oleh para pemuda.

Mereka pejuang yang bukan hanya memiliki idealisme, melainkan juga intelektual, tecermin dalam pidato dan tulisan mereka. Sumpah Pemuda dan Pancasila, meski dengan rumusan singkat dan sederhana, adalah karya intelektual yang besar yang hingga kini dan sampai akhir zaman menjadi pedoman perjalanan dan kehidupan bangsa kita. UUD 1945 merupakan karya kolektif yang monumental.

Pemimpin yang tepat

Bangsa Indonesia tidak dapat mengharapkan selalu dapat memperoleh pemimpin yang besar seperti Bung Karno dan Bung Hatta, yang mempunyai kapasitas individu dan kualitas kepemimpinan yang luar biasa dan tampil bersama dengan peran yang historis dan teramat menentukan dalam perjalanan bangsa. Namun, dari beliau-beliau itu, kita dapat belajar mengenai bagaimana sosok pemimpin bangsa yang tepat untuk masanya. Tantangan bagi kita sekarang adalah mencari pemimpin yang tepat untuk masa sekarang dan ke depan.

Renungan ini dirangsang pandangan dua tokoh intelektual yang kebetulan saya kenal. Kishore Mahbubani (dekan pada Lee Kuan Yew School of Public Policy di National University of Singapore) dan Klaus Schwab (pendiri dan Ketua World Economic Forum, penulis buku The Fourth Industrial Revolution) mencoba menjawab  pertanyaan apa yang membuat seseorang menjadi seorang pemimpin besar (what makes a great leader)? Bagi Mahbubani, karakter kepemimpinan mencakup compassion(kepedulian), canniness (kecerdikan), dancourage (keberanian). Sementara Schwab karakternya mencakup heart (hati), brain(kecerdasan), muscle (kekuatan), nerve(ketangguhan), dan soul (nurani). 

Kedua penulis ini menyebut beberapa pemimpin dengan karakter berbeda. Misalnya, Justin Trudeau, Perdana Menteri Kanada, memiliki empati yang tinggi dan komitmen menolong rakyat kecil. Masuk dalam kategori ini Nelson Mandela dan Mahatma Gandhi. Pemimpin kontemporer yang menonjol kecerdasannya, menurut mereka, adalah Xi Jinping dan Narendra Modi. Keduanya berhasil beradaptasi dengan perkembangan teknologi (khususnya teknologi informasi dan komunikasi/TIK) yang mengubah pola kehidupan manusia dengan pesat sekali. Mereka menempatkan Angela Merkel sebagai pemimpin yang memiliki keberanian yang ditunjukkan dengan menerima jutaan pengungsi yang datang dari masyarakat dengan budaya yang sangat berbeda. Langkah Merkel ini mendapatkan tantangan keras, tetapi ia konsisten melaksanakannya.

Yang menarik, mereka menempatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama dengan Angela Merkel. Presiden Jokowi disebut memiliki keberanian karena berupaya melawan dengan sepenuh hati kelompok-kelompok radikal dan populis di negaranya. Walaupun mendapatkan banyak tantangan karena dianggap tidak demokratis, Presiden Jokowi tegas dengan sikap untuk membubarkan kelompok Hizbut Tahrir Indonesia karena jelas-jelas bertentangan dengan ideologi Pancasila. Pengakuan dunia luar atas kepemimpinan Jokowi itu telah mengilhami saya untuk menulis artikel ini.

Apa yang dapat dipelajari dari pandangan Mahbubani dan Schwab? Pertama, pemimpin muncul dari zaman apa saja karena memang tidak ada yang disebut sebagai zaman normal. Setiap masa memiliki pergolakan dan tantangan sendiri. Indonesia, yang saat ini sudah berusia 72 tahun, tentunya berbeda dengan ketika negeri masih berupa gagasan dan awal pembentukannya, demikian pula kepemimpinan yang dibutuhkan.

Kedua, kita sebetulnya sudah berada pada jalan yang benar. Keyakinan itu diperkuat oleh data dari Gallup World Poll 2017 mengenai urutan negara dengan kepercayaan publik yang menempatkan Indonesia pada posisi teratas bersama Swiss. Hasil hampir serupa diperlihatkan oleh pengukuran yang dilakukan Edelman Trust Baromoter 2017, yang menempatkan Indonesia pada posisi kedua setelah India, dalam pengukuran atas 28 negara.

Namun, kita juga memerlukan pemimpin yang mumpuni di daerah, di sektor bisnis, partai politik, dan masyarakat sipil. Pemimpin di daerah memiliki peran yang cukup penting sebagai konsekuensi kebijakan desentralisasi. Walaupun saya merasa prihatin dengan banyaknya kepala daerah yang terkena kasus hukum, masih ada kepala daerah yang membanggakan dan muncul nama-nama seperti Nurdin Abdullah, Dedi Mulyadi, Ridwan Kamil, Emil Dardak, dan Tri Rismaharini yang dapat sedikit mengobati kekecewaan. Sayangnya, jumlah ini masih sedikit dibandingkan dengan kepala daerah yang gagal dan bahkan tersangkut hukum.

Pemimpin modern

Masalah utama yang kita hadapi sekarang adalah keadilan sosial. Untuk mencapai keadilan sosial tentu tak mudah. Ada banyak kesenjangan di negeri ini, mulai dari ekonomi, akses politik, hingga digital. Mengenai hal yang disebut terakhir, pemimpin harus jeli melihat karakter demografis penduduk yang saat ini banyak berasal dari kategori generasi Z atau milenial. Walaupun kelihatannya tidak terlalu peduli, mereka, dengan berbagai gawai di tangannya, mampu menyerap informasi lebih banyak.

Itu artinya mereka mampu merekam lebih banyak fakta. Rekaman inilah yang akan mereka ingat, olah, jadikan pangkal tolak pikiran dan tindakan serta wariskan ke depan. Tentunya kita tidak menginginkan rekaman tersebut menunjukkan bangsa ini berjalan di tempat atau maju merangkak, padahal bangsa-bangsa lain kemajuannya melompat-lompat.  

Memang masyarakat yang makin canggih, tuntutan kepada pemimpinnya akan kian canggih pula. Karena masa depan sangat padat teknologi, seorang pemimpin tak boleh merasa asing terhadap kemajuan ilmu dan teknologi. Hal ini tak berarti seorang pemimpin harus seorang ilmuwan (scientist). Yang lebih penting seorang pemimpin harus memiliki apresiasi terhadap ilmu pengetahuan dan peran teknologi sebagai unsur sangat pokok dalam membentuk kehidupan masa depan.

 Singkatnya, kepemimpinan modern, di samping memiliki sifat-sifat "tradisional" yang melambangkan nilai-nilai dan moral kepemimpinan bangsanya, juga harus merupakan sosok modern. Pemimpin yang demikian adalah yang memiliki jiwa kerakyatan-di dalamnya terangkum nilai-nilai demokrasi dan keadilan-tetapi juga seorang yang memiliki wawasan, inovatif, dan rasional. Ia harus mampu memahami masalah-masalah yang kompleks dan mampu menemukan pemecahan atas masalah-masalah yang kompleks itu tanpa menimbulkan masalah baru. Ia bukan hanya harus berani mengambil risiko, melainkan juga mampu menghitung risiko.

Bagaimana bisa menemukan pemimpin serupa itu, itu suatu persoalan yang harus bisa dijawab. Acap kali dikatakan pemimpin adalah cerminan masyarakatnya (you deserve your leader) atau pemimpin adalah "produk budaya" masyarakatnya. Sering dikatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan. Namun, sebenarnya kepemimpinan bisa dibentuk. Maka, sungguh penting menanam lahan yang subur dari sejak dini untuk menumbuhkan bibit-bibit kepemimpinan seperti yang dikehendaki.

Di sini peran pendidikan nasional teramat penting, baik yang diselenggarakan di sekolah, dalam masyarakat, maupun di lingkungan keluarga. Melalui sistem pendidikan akan tampil dan ditempa pemimpin-pemimpin masa depan. Oleh karena itu, kualitas pendidikan menentukan pula kualitas pemimpin masa depan.

 GINANDJAR KARTASASMITA

Guru Besar Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo, Jepang

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Kepemimpinan"

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger